• Selasa, 19 November 2024

Pernyataan Sikap Gabungan Kampus di Lampung: Pudarnya Keteladanan Pemimpin dan Perilaku Politik yang Tidak Beretika

Rabu, 07 Februari 2024 - 14.23 WIB
529

Para akademisi Lampung saat membacakan pernyataan sikap merespon kondisi terkini perpolitikan di Indonesia yang dianggap telah melenceng dari demokrasi, di di Fakultas Hukum Universitas Lampung, Rabu (7/2/2024). Foto: Yudha/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung – Akademisi dari sejumlah kampus di Provinsi Lampung menyatakan sikap terkait dengan iklim demokrasi Indonesia saat ini yang dianggap sudah melenceng dan tidak baik-baik saja, pernyataan itu disampaikan lewat sebuah pertemuan yang dihelat di Fakultas Hukum Universitas Lampung, Rabu (7/2/2024).

Kampus yang menyatakan sikap itu terdiri dari Universitas Lampung (Unila), Universitas Tulang Bawang (UTB), Universitas Bandar Lampung (UBL), Universitas Saburai, Universitas Malahayati, Universitas Muhammadiyah Metro, Universitas Mitra Indonesia (Umitra). Tercatat dalam pernyataan sikap itu ada 41 akademisi yang ikut andil.

Pernyataan sikap itu diwakilkan oleh Prof. Ari Darmastuti, dimana ia mengatakan bahwa warga masyarakat secara bersama-sama harus menjaga iklim demokrasi, kepentingan bersama, persatuan, kesatuan bangsa dan negara, di atas kepentingan individu, kelompok, dan golongan.

"Situasi dan kondisi terakhir telah menunjukkan gejala pudarnya keteladanan dan perilaku politik yang tak memenuhi kaidah etika, sikap demokratis dan rasa keadilan," tukasnya.

Oleh karena itu kata Prof. Ari menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Keprihatinan atas pelanggaran etika yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Sebuah sikap yang tidak berdiri di atas kepentingan masyarakat dan bangsa;

2. Pelanggaran etika tidak hanya mencoreng citra penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa, tetapi juga merugikan dan bahkan meruntuhkan hak fundamental warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil);

3. Pernyataan, sikap dan tindakan yang merusak prinsip demokrasi dan mengancam pondasi penyelenggaraan negara akan menimbulkan ketidakpercayaan mendalam dan kehilangan legitimasi dalam penyelenggaraan dan hasil pemilihan umum yang demokratis dan berkeadilan.

Prof Ari melanjutkan, sebagai akademisi perguruan tinggi, secara nurani mereka terpanggil untuk menyuarakan dan menyerukan;

1. Kebebasan berpendapat wajib dihargai dan dijunjung tinggi sebagai amanat konstitusi, sekaligus menghormati dan menghargai keragaman pilihan politik.

2. Perbedaan pilihan dan preferensi dalam pemilihan umum, adalah sesuatu yang wajar dengan tidak memberi tempat/ruang dan menolak kepada siapa saja yang melakukan kampanye hitam, menyebarluaskan pesan yang tidak benar (hoaks) dan ujaran kebencian;

3. Mengoreksi pejabat dan penyelenggara negara dan memastikan tidak terjadi lagi sikap dan perilaku yang nyata-nyata sebagai pelanggaran etika, tidak demokratis, dan tidak memenuhi rasa keadilan. Dengan demikian, dapat mengembalikan dan memulihkan kepercayaan masyarakat pada proses demokrasi yang adil, jujur, dan bermartabat;

4. Mengingatkan kepada presiden, menteri, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota, penyelenggara negara lainnya, aparatur sipil negara (ASN), dan kepala desa menjaga sikap benar-benar netral dalam pemilihan umum untuk mewujudkan keadilan dan demokrasi di Indonesia. (*)