Hearing DPRD Bandar Lampung Bahas Proyek Superblok di Eks Hutan Kota Ricuh, Masyarakat Marah PT HKKB Tidak Hadir
Kupastuntas.co, Bandar
Lampung - Rapat dengar pendapat (RDP) membahas pembangunan perumahan dan ruko
di eks hutan kota yang digelar di ruang lobby DPRD Bandar Lampung berlangsung
ricuh. Masyarakat marah karena PT Hasil Karya Kita Bersama (HKKB) selaku
pengembang tidak hadir.
Dalam rapat yang
dimulai sekitar pukul 13.30 WIB itu dihadiri Badan Pertanahan Nasional (BPN),
Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim), Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Bandar Lampung, LSM
Laskar Lampung, Satpol PP dan perwakilan masyarakat dari tiga kelurahan yakni
Wad Dadi dan Way Dadi Baru, Kecamatan Sukarame serta Kelurahan Way Halim,
Kecamatan Way Halim Permai.
Suasana rapat mulai
memanas saat pengembang perumahan dan ruko di eks hutan kota yakni PT HKKB
tidak hadir. Perwakilan masyarakat dan LSM Laskar Lampung marah dan melakukan
protes dengan tidak hadirnya PT HKKB.
Bahkan, perwakilan
masyarakat dan LSM Laskar Lampung berteriak dan marah kepada Komisi DPRD
Lampung dengan tidak hadirnya pihak perusahaan. Mereka langsung minta DPRD
untuk merekomendasikan menghentikan pembangunan dan menutup lokasi eks hutan
kota.
LSM Laskar Lampung,
Syarif Husin mewakili masyarakat mengatakan, tidak hadirnya PT HKKB membuktikan
bahwa pihak perusahaan merasa melakukan kesalahan dalam pembangunan tersebut.
“Tidak hadirnya PT
HKKB membuktikan bahwa perusahaan telah melakukan kesalahan dalam pembangunan
perumahan dan ruko di eks hutan kota tersebut. Kalau mereka benar kenapa tidak
berani datang di rapat ini,” tegas Syarif.
Ia mengatakan,
pembangunan perumahan dan ruko di eks hutan kota menyalahi aturan karena belum
memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Seharusnya, lanjut dia,
perusahaan belum bisa melakukan aktivitas pekerjaan sebelum mengantongi amdal.
Karena suasana semakin
memanas, Ketua Komisi I DPRD Bandar Lampung, Sidik Effendi yang memimpin RDP
langsung menutup rapat dan akan dilanjutkan minggu depan.
"Saya rasa
pembahasan kita menjadi hal yang percuma jika pihak perusahaan tidak menghadiri
pertemuan ini. Untuk itu rapat kami tutup akan akan digelar kembali pada hari
Kamis pekan depan," kata Sidik Effendi, Kamis (18/1/2024).
Sidik mengatakan,
Komisi I belum bisa memberikan rekomendasi karena pihak perusahaan belum hadir
dan memberikan keterangan terkait pembangunan di eks hutan kota.
“Namun, jika Kamis
pekan depan pihak perusahaan juga tidak hadir maka akan langsung diputuskan
pada hari itu juga. Semestinya perusahaan hadir dan memberikan keterangan
sehingga bisa jelas seperti apa duduk persoalannya,” jelasnya.
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) Lampung menyebut pembangunan perumahan dan ruko di eks hutan kota di
pinggir kanan-kiri Jalan Soekarno-Hatta telah melanggar Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Karena hingga
kini belum memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Direktur Walhi Lampung,
Irfan Tri Musri mengatakan, sejak dulu pihaknya sudah menolak adanya alih
fungsi lahan hutan kota yang dilakukan oleh pihak swasta. Karena jumlah ruang
terbuka hijau (RTH) di Bandar Lampung saat ini sangat minim.
“Adanya rencana
pembangunan perumahan dan ruko di eks hutan kota oleh PT Hasil Karya Kita
Bersama (HKKB) adalah sebuah kemunduran dalam paradigma pembangunan. Pemkot
Bandar Lampung melihat kepentingan ekonomi atau bisnis di atas segalanya dengan
mengesampingkan persoalan lingkungan hidup,” kata Irfan, Selasa (16/1/2024).
Ia mengungkapkan, proyek
pembangunan tersebut akan menjadi salah satu potensi pengrusakan lingkungan
hidup terutama untuk ruang terbuka hijau dan ini bisa menjadi bencana bagi
warga sekitar.
"Bencana yang
berpotensi besar terjadi adalah banjir dan polusi akibat adanya pembangunan di
lahan bekas hutan kota itu," jelasnya.
Ia menyarankan kepada
Pemkot Bandar Lampung menyegel lokasi tersebut agar tidak ada aktivitas
lanjutan dan harus ada papan peringatan.
“Karena pembangunan itu
belum ada izin lingkungannya termasuk Amdal. Dan ini adalah pelanggaran
terhadap Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Kita juga minta pemkot untuk bisa mengupayakan agar tidak
dibangun lagi," tegasnya.
Ia pun minta Pemkot bisa
mengembalikan lahan tersebut menjadi taman hutan kota seperti sedia kala.
Mengacu pada UU No. 32/2009 tersebut, dalam Pasal 22 ayat (1) disebutkan setiap
usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib
memiliki Amdal.
Lalu, dalam Pasal 109
disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa
memiliki izin lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun
dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).
Selain itu, dalam
Pasal 91 ayat (1) juga disebutkan masyarakat berhak mengajukan gugatan
perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk
kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
Masyarakat yang berada
di tiga kelurahan di sekitar lokasi pembangunan pun terancam mengalami tragedi
kemanusiaan dengan adanya penggundulan eks hutan kota.
Ancaman tragedi
kemanusiaan dimungkinan terjadi karena PT HKKB telah melakukan penebangan
ratusan pohon sehingga telah menghilangkan produksi oksigen sekitar 1.800 ton.
“Penebangan ratusan
pohon di eks hutan kota itu akan sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat
sekitar. Karena dalam satu hektar kawasan penghijauan menghasilkan sedikitnya
200 ton oksigen yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kalau saat ini ada 9
hektar lahan yang digunduli, berarti perusahaan itu telah menghilangkan
produksi sekitar 1.800 ton oksigen,” kata pengamat lingkungan Universitas
Lampung, Slamet Budi Yuwono, Selasa (16/1/2024).
Selain itu, lanjut
Slamet, hilangnya ratusan pohon penghijauan di kawasan kiri-kanan flyover
Sultan Agung-Korpri dan samping kanan serta depan Transmart Lampung itu juga
mengakibatkan tidak terserapnya 4.500 ton CO2 (karbon dioksida).
“Karena dalam satu hektar
pohon penghijauan itu punya kemampuan menyerap sebanyak 500 ton CO2. Polusi
udara dari kendaraan bermotor yang lalu lalang atau aktivitas industri yang ada
di sekitar wilayah itu saat ini tidak bisa lagi terserap. Masyarakat sekitar
benar-benar terancam mengalami tragedi kemanusiaan akibat pembabatan kawasan
ruang terbuka hijau tersebut,” jelasnya.
Menurutnya, keberadaan
pohon-pohon yang telah berusia di atas 5 tahun di eks hutan kota yang kini
sudah ditebang sangat penting bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Karena
memiliki fungsi melindungi erosi, menyerap polutan, dan menghasilkan oksigen.
Slamet menerangkan,
masyarakat mengalami kerugian materiil dan immateriil dengan dibabatnya eks
hutan kota. Kerugian materiil bisa dihitung dengan dengan harga oksigen di
rumah sakit.
“Kalau mau dikonversi
ke rupiah untuk jumlah kerugian secara materiilnya, bisa dihitung dari harga
oksigen di rumah sakit dikalikan dengan hilangnya pasokan 1.800 ton oksigen.
Yang lebih parah adalah adalah kerugian immaterial, ini tidak bisa dihitung
karena menyangkut kehidupan masyarakat,” paparnya.
Slamet mendukung sikap
masyarakat sekitar yang menolak pembangunan perumahan dan ruko di eks hutan
kota karena belum memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
“Saya mengapresiasi
apa yang menjadi sikap masyarakat setempat. Karena memang aturannya begitu,
sebuah perusahaan harus mengajukan Amdal sebelumnya melakukan kegiatan di
lapangan. Harus ada izin lingkungan dulu, dalam hal ini Amdal, baru boleh ada
kegiatan di lapangan. Jangan dibalik-balik,” ujarnya.
Ia mengungkapkan,
masyarakat setempat berhak mengajukan class action terutama terkait kejahatan
lingkungan. Sehingga nantinya bisa terungkap siapa yang memberi izin lokasi,
termasuk pemberi izin atau pelaku penebangan atas pohon penghijauan itu.
“Persoalan ini memang
harus disikapi dengan serius, karena ruang terbuka hijau di Bandar Lampung
sekarang memang sudah tidak sesuai ketentuan perundang-undangan yang mewajibkan
setiap kabupaten/kota memiliki RTH 30 persen dari luas wilayahnya,” imbuhnya.
(*)
Berita ini telah
terbit di SKH Kupas Tuntas edisi Jumat 19 Januari 2024 dengan judul “RDP DPRD
Bahas Pembangunan Perumahan-Ruko di Eks Hutan Kota Ricuh”
Berita Lainnya
-
Jelang Libur Nataru, BPTD Lampung Temukan 53 Bus AKAP Tak Laik Jalan
Minggu, 22 Desember 2024 -
RSUD Abdul Moeloek Lampung Siagakan 300 Tenaga Kesehatan di Libur Nataru
Minggu, 22 Desember 2024 -
BI Lampung Siapkan Uang Tunai Rp 1 Triliun untuk Kebutuhan Nataru 2024-2025
Minggu, 22 Desember 2024 -
Bahas Harga Singkong, Pj Gubernur Lampung Panggil 29 Perusahaan
Minggu, 22 Desember 2024