• Jumat, 18 Oktober 2024

Hearing DPRD Bandar Lampung Bahas Proyek Superblok di Eks Hutan Kota Ricuh, Masyarakat Marah PT HKKB Tidak Hadir

Jumat, 19 Januari 2024 - 08.07 WIB
129

Suasana rapat dengar pendapat di DPRD Bandar Lampung sempat memanas lantaran masyarakat marah atas ketidakhadiran pihak perusahaan PT HKKB. Foto: Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Rapat dengar pendapat (RDP) membahas pembangunan perumahan dan ruko di eks hutan kota yang digelar di ruang lobby DPRD Bandar Lampung berlangsung ricuh. Masyarakat marah karena PT Hasil Karya Kita Bersama (HKKB) selaku pengembang tidak hadir.

Dalam rapat yang dimulai sekitar pukul 13.30 WIB itu dihadiri Badan Pertanahan Nasional (BPN), Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim), Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Bandar Lampung, LSM Laskar Lampung, Satpol PP dan perwakilan masyarakat dari tiga kelurahan yakni Wad Dadi dan Way Dadi Baru, Kecamatan Sukarame serta Kelurahan Way Halim, Kecamatan Way Halim Permai.

Suasana rapat mulai memanas saat pengembang perumahan dan ruko di eks hutan kota yakni PT HKKB tidak hadir. Perwakilan masyarakat dan LSM Laskar Lampung marah dan melakukan protes dengan tidak hadirnya PT HKKB.

Bahkan, perwakilan masyarakat dan LSM Laskar Lampung berteriak dan marah kepada Komisi DPRD Lampung dengan tidak hadirnya pihak perusahaan. Mereka langsung minta DPRD untuk merekomendasikan menghentikan pembangunan dan menutup lokasi eks hutan kota.

LSM Laskar Lampung, Syarif Husin mewakili masyarakat mengatakan, tidak hadirnya PT HKKB membuktikan bahwa pihak perusahaan merasa melakukan kesalahan dalam pembangunan tersebut.

“Tidak hadirnya PT HKKB membuktikan bahwa perusahaan telah melakukan kesalahan dalam pembangunan perumahan dan ruko di eks hutan kota tersebut. Kalau mereka benar kenapa tidak berani datang di rapat ini,” tegas Syarif.  

Ia mengatakan, pembangunan perumahan dan ruko di eks hutan kota menyalahi aturan karena belum memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Seharusnya, lanjut dia, perusahaan belum bisa melakukan aktivitas pekerjaan sebelum mengantongi amdal.

Karena suasana semakin memanas, Ketua Komisi I DPRD Bandar Lampung, Sidik Effendi yang memimpin RDP langsung menutup rapat dan akan dilanjutkan minggu depan.  

"Saya rasa pembahasan kita menjadi hal yang percuma jika pihak perusahaan tidak menghadiri pertemuan ini. Untuk itu rapat kami tutup akan akan digelar kembali pada hari Kamis pekan depan," kata Sidik Effendi, Kamis (18/1/2024).

Sidik mengatakan, Komisi I belum bisa memberikan rekomendasi karena pihak perusahaan belum hadir dan memberikan keterangan terkait pembangunan di eks hutan kota.

“Namun, jika Kamis pekan depan pihak perusahaan juga tidak hadir maka akan langsung diputuskan pada hari itu juga. Semestinya perusahaan hadir dan memberikan keterangan sehingga bisa jelas seperti apa duduk persoalannya,” jelasnya.

Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung menyebut pembangunan perumahan dan ruko di eks hutan kota di pinggir kanan-kiri Jalan Soekarno-Hatta telah melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Karena hingga kini belum memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri mengatakan, sejak dulu pihaknya sudah menolak adanya alih fungsi lahan hutan kota yang dilakukan oleh pihak swasta. Karena jumlah ruang terbuka hijau (RTH) di Bandar Lampung saat ini sangat minim.

“Adanya rencana pembangunan perumahan dan ruko di eks hutan kota oleh PT Hasil Karya Kita Bersama (HKKB) adalah sebuah kemunduran dalam paradigma pembangunan. Pemkot Bandar Lampung melihat kepentingan ekonomi atau bisnis di atas segalanya dengan mengesampingkan persoalan lingkungan hidup,” kata Irfan, Selasa (16/1/2024).

Ia mengungkapkan, proyek pembangunan tersebut akan menjadi salah satu potensi pengrusakan lingkungan hidup terutama untuk ruang terbuka hijau dan ini bisa menjadi bencana bagi warga sekitar.

"Bencana yang berpotensi besar terjadi adalah banjir dan polusi akibat adanya pembangunan di lahan bekas hutan kota itu," jelasnya.

Ia menyarankan kepada Pemkot Bandar Lampung menyegel lokasi tersebut agar tidak ada aktivitas lanjutan dan harus ada papan peringatan.

“Karena pembangunan itu belum ada izin lingkungannya termasuk Amdal. Dan ini adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kita juga minta pemkot untuk bisa mengupayakan agar tidak dibangun lagi," tegasnya.

Ia pun minta Pemkot bisa mengembalikan lahan tersebut menjadi taman hutan kota seperti sedia kala. Mengacu pada UU No. 32/2009 tersebut, dalam Pasal 22 ayat (1) disebutkan setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal.

Lalu, dalam Pasal 109 disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).

Selain itu, dalam Pasal 91 ayat (1) juga disebutkan masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Masyarakat yang berada di tiga kelurahan di sekitar lokasi pembangunan pun terancam mengalami tragedi kemanusiaan dengan adanya penggundulan eks hutan kota.

Ancaman tragedi kemanusiaan dimungkinan terjadi karena PT HKKB telah melakukan penebangan ratusan pohon sehingga telah menghilangkan produksi oksigen sekitar 1.800 ton.

“Penebangan ratusan pohon di eks hutan kota itu akan sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat sekitar. Karena dalam satu hektar kawasan penghijauan menghasilkan sedikitnya 200 ton oksigen yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kalau saat ini ada 9 hektar lahan yang digunduli, berarti perusahaan itu telah menghilangkan produksi sekitar 1.800 ton oksigen,” kata pengamat lingkungan Universitas Lampung, Slamet Budi Yuwono, Selasa (16/1/2024).

Selain itu, lanjut Slamet, hilangnya ratusan pohon penghijauan di kawasan kiri-kanan flyover Sultan Agung-Korpri dan samping kanan serta depan Transmart Lampung itu juga mengakibatkan tidak terserapnya 4.500 ton CO2 (karbon dioksida).

“Karena dalam satu hektar pohon penghijauan itu punya kemampuan menyerap sebanyak 500 ton CO2. Polusi udara dari kendaraan bermotor yang lalu lalang atau aktivitas industri yang ada di sekitar wilayah itu saat ini tidak bisa lagi terserap. Masyarakat sekitar benar-benar terancam mengalami tragedi kemanusiaan akibat pembabatan kawasan ruang terbuka hijau tersebut,” jelasnya.

Menurutnya, keberadaan pohon-pohon yang telah berusia di atas 5 tahun di eks hutan kota yang kini sudah ditebang sangat penting bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Karena memiliki fungsi melindungi erosi, menyerap polutan, dan menghasilkan oksigen.

Slamet menerangkan, masyarakat mengalami kerugian materiil dan immateriil dengan dibabatnya eks hutan kota. Kerugian materiil bisa dihitung dengan dengan harga oksigen di rumah sakit.

“Kalau mau dikonversi ke rupiah untuk jumlah kerugian secara materiilnya, bisa dihitung dari harga oksigen di rumah sakit dikalikan dengan hilangnya pasokan 1.800 ton oksigen. Yang lebih parah adalah adalah kerugian immaterial, ini tidak bisa dihitung karena menyangkut kehidupan masyarakat,” paparnya.

Slamet mendukung sikap masyarakat sekitar yang menolak pembangunan perumahan dan ruko di eks hutan kota karena belum memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

“Saya mengapresiasi apa yang menjadi sikap masyarakat setempat. Karena memang aturannya begitu, sebuah perusahaan harus mengajukan Amdal sebelumnya melakukan kegiatan di lapangan. Harus ada izin lingkungan dulu, dalam hal ini Amdal, baru boleh ada kegiatan di lapangan. Jangan dibalik-balik,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, masyarakat setempat berhak mengajukan class action terutama terkait kejahatan lingkungan. Sehingga nantinya bisa terungkap siapa yang memberi izin lokasi, termasuk pemberi izin atau pelaku penebangan atas pohon penghijauan itu.

“Persoalan ini memang harus disikapi dengan serius, karena ruang terbuka hijau di Bandar Lampung sekarang memang sudah tidak sesuai ketentuan perundang-undangan yang mewajibkan setiap kabupaten/kota memiliki RTH 30 persen dari luas wilayahnya,” imbuhnya. (*)

Berita ini telah terbit di SKH Kupas Tuntas edisi Jumat 19 Januari 2024 dengan judul “RDP DPRD Bahas Pembangunan Perumahan-Ruko di Eks Hutan Kota Ricuh