Bawaslu Petakan Empat Indikator Politisasi SARA Pemilu

Acara Scientic Comitte and The Goverment Council of the GNEJ 2023 Closing event, di Savoy Homan Rabu (6/12/2023).
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyebut politisasi identitas Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) rawan terjadi pada masa kampanye Pemilu 2024. Hal itu disampaikan anggota Bawaslu Lolly Suhenty saat hadiri Scientic Comitte and The Goverment Council of the GNEJ 2023 Closing event, di Savoy Homan Rabu (6/12/2023).
Menurut Lolly di Indonesia, ada empat indikator politisasi
identitas, yaitu kampanye sarat SARA di media sosial, kampanye sarat SARA di
tempat umum, penolakan calon kandidat berbasis SARA, dan kekerasan berbasis
SARA.
"Apabila saling provokasi dan intimidasi tidak dikelola
dengan baik, maka dinamika konflik akan berkembang dengan cepat dan menjadi
sangat brutal dan bisa berakhir bentrok antar kelompok atau kerusuhan massal
berkepanjangan," kata Lolly.
Lolly menegaskan, menghadapi permasalahan tersebut Bawaslu
terus berupaya mencari solusi untuk mencegah terjadinya politisasi SARA pesta
demokrasi lima tahunan itu. Diantaranya melakukan kolaborasi dengan banyak
pihak.
Kolaborasi yang dilakukan berupa penyusunan bank data
terkait kasus politisasi identitas, lengkap dengan karakteristik dan sebarannya
sebagai kajian ilmiah, sebagai landasan pengambilan kebijakan pencegahan ke
depan.
"Bawaslu juga melakukan pendidikan pemilih secara masif
dengan melibatkan tokoh masyarakat, organisasi pemberdayaan masyarakat, FKUB,
media online/offline dan seluruh elemen masyarakat," tuturnya.
Selain itu, Bawaslu melakukan kerjasama dengan berbagai
pihak seperti Kemenkominfo, TNI, Polri, Dewan Pers dan Platform Media Sosial
untuk mencegah kampanye identitas dan provokasi di media sosial dan media massa
lainnya.
"Saat ini kami intens melakukan patroli pengawasan
siber yang Intensif untuk mencegah potensi berkembangnya politisasi
identitas," jelasnya.
Anggota Bawaslu Totok Hariyono menyampaikan ada berbagai
macam pintu penegakan hukum pemilu di Indonesia dalam rangka melindungi hak
konstitusonal warga negara Indonesia untuk menegakkan demokrasi.
"Di Indonesia ada berjenjang orang yang mencari
keadilan pemilu, ada yang lewat Bawaslu, tapi kalau ada pelanggaran
administrasi pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM)
mereka bisa mencari pintu keadilan lewat Mahkamah Agung (MA)," imbuhnya.
Ia menambahkan jika ada pelanggaran pidana pemilu, maka
Bawaslu akan bekerja sama dalam satu pintu dengan kejaksaan, kepolisian dalam
wadah Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu).
Dari sisi penyelenggara ada lembaga Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bisa memproses dan menyelesaikan pelanggaran
etika dari penyelenggara pemilu.
Pelanggaran terhadap etik, akan mendapatkan sanksi etik yang
tentu lebih berat dari pada sangsi badan dan harta.
"Karena sangsi etik itu sama dengan sangsi moral
kemanusiaan. Orang boleh dihukum badannya, hartanya, tapi kalau dihukum etik,
maka hukum kemanusiaannya lebih berat dari hukum badan dan harta. Itu adalah
DKPP kalau ada pelanggaran etik penyelenggara pemilu," kata Totok.
Ditempat yang sama, Ketua Bawaslu Lampung Iskardo P. Panggar
mengatakan kesempatan tersebut merupakan tempat atau wadah untuk melakukan
pertukaran Inovasi, kreasi, dan strategi dalam pengawasan pemilu.
"Ada perbedaan kejadian pemilu di indonesia dan belahan
dunia ini, ada pula yang sama, melalui forum tersebut Bawaslu bertukar pikiran.
Kita bisa belajar dari negara lain, dan mungkin bisa diterapkan di indonesia
khususnya di Lampung maupun sebaliknya," singkatnya. (*)
Berita Lainnya
-
UTBK SNBT 2025 di Itera, 219 Peserta Tak Hadir
Rabu, 30 April 2025 -
Kolaborasi Polda Lampung dan PLN Tingkatkan Pengetahuan Personel tentang Keselamatan Kelistrikan
Rabu, 30 April 2025 -
Magister Hukum Universitas Saburai Raih Akreditasi 'Baik Sekali' dari BAN-PT
Rabu, 30 April 2025 -
Keuangan PT LJU dan PT LEB Terpuruk, 20 Gaji Karyawan Belum Dibayar
Rabu, 30 April 2025