• Rabu, 30 April 2025

Bawaslu Petakan Empat Indikator Politisasi SARA Pemilu

Kamis, 07 Desember 2023 - 14.42 WIB
65

Acara Scientic Comitte and The Goverment Council of the GNEJ 2023 Closing event, di Savoy Homan Rabu (6/12/2023).

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyebut politisasi identitas Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) rawan terjadi pada masa kampanye Pemilu 2024. Hal itu disampaikan anggota Bawaslu Lolly Suhenty saat hadiri Scientic Comitte and The Goverment Council of the GNEJ 2023 Closing event, di Savoy Homan Rabu (6/12/2023).

Menurut Lolly di Indonesia, ada empat indikator politisasi identitas, yaitu kampanye sarat SARA di media sosial, kampanye sarat SARA di tempat umum, penolakan calon kandidat berbasis SARA, dan kekerasan berbasis SARA.

"Apabila saling provokasi dan intimidasi tidak dikelola dengan baik, maka dinamika konflik akan berkembang dengan cepat dan menjadi sangat brutal dan bisa berakhir bentrok antar kelompok atau kerusuhan massal berkepanjangan," kata Lolly.

Lolly menegaskan, menghadapi permasalahan tersebut Bawaslu terus berupaya mencari solusi untuk mencegah terjadinya politisasi SARA pesta demokrasi lima tahunan itu. Diantaranya melakukan kolaborasi dengan banyak pihak.

Kolaborasi yang dilakukan berupa penyusunan bank data terkait kasus politisasi identitas, lengkap dengan karakteristik dan sebarannya sebagai kajian ilmiah, sebagai landasan pengambilan kebijakan pencegahan ke depan.

"Bawaslu juga melakukan pendidikan pemilih secara masif dengan melibatkan tokoh masyarakat, organisasi pemberdayaan masyarakat, FKUB, media online/offline dan seluruh elemen masyarakat," tuturnya.

Selain itu, Bawaslu melakukan kerjasama dengan berbagai pihak seperti Kemenkominfo, TNI, Polri, Dewan Pers dan Platform Media Sosial untuk mencegah kampanye identitas dan provokasi di media sosial dan media massa lainnya.

"Saat ini kami intens melakukan patroli pengawasan siber yang Intensif untuk mencegah potensi berkembangnya politisasi identitas," jelasnya.

Anggota Bawaslu Totok Hariyono menyampaikan ada berbagai macam pintu penegakan hukum pemilu di Indonesia dalam rangka melindungi hak konstitusonal warga negara Indonesia untuk menegakkan demokrasi.

"Di Indonesia ada berjenjang orang yang mencari keadilan pemilu, ada yang lewat Bawaslu, tapi kalau ada pelanggaran administrasi pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) mereka bisa mencari pintu keadilan lewat Mahkamah Agung (MA)," imbuhnya.

Ia menambahkan jika ada pelanggaran pidana pemilu, maka Bawaslu akan bekerja sama dalam satu pintu dengan kejaksaan, kepolisian dalam wadah Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu).

Dari sisi penyelenggara ada lembaga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bisa memproses dan menyelesaikan pelanggaran etika dari penyelenggara pemilu.

Pelanggaran terhadap etik, akan mendapatkan sanksi etik yang tentu lebih berat dari pada sangsi badan dan harta.

"Karena sangsi etik itu sama dengan sangsi moral kemanusiaan. Orang boleh dihukum badannya, hartanya, tapi kalau dihukum etik, maka hukum kemanusiaannya lebih berat dari hukum badan dan harta. Itu adalah DKPP kalau ada pelanggaran etik penyelenggara pemilu," kata Totok.

Ditempat yang sama, Ketua Bawaslu Lampung Iskardo P. Panggar mengatakan kesempatan tersebut merupakan tempat atau wadah untuk melakukan pertukaran Inovasi, kreasi, dan strategi dalam pengawasan pemilu.

"Ada perbedaan kejadian pemilu di indonesia dan belahan dunia ini, ada pula yang sama, melalui forum tersebut Bawaslu bertukar pikiran. Kita bisa belajar dari negara lain, dan mungkin bisa diterapkan di indonesia khususnya di Lampung maupun sebaliknya," singkatnya. (*)

Editor :