• Sabtu, 21 Desember 2024

Mantan Ketua MK Anwar Usman Dilaporkan ke Ombudsman RI

Kamis, 09 November 2023 - 15.39 WIB
183

Mantan Ketua MK Anwar Usman Dilaporkan ke Ombudsman RI. Foto: kompas.com

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dilaporkan ke Ombudsman Republik Indonesia karena tidak menyusun aturan banding dan majelis banding dari putusan Majelis Etik MK (MKMK).

Laporan disampaikan oleh Koordinator Perekat Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus dan rekan-rekannya, pada Kamis (9/11/2023). 

Petrus menilai, Anwar Usman yang sebelumnya menjabat Ketua MK melakukan perbuatan melawan hukum dan maladministrasi karena memperkecil upaya masyarakat yang merasa keberatan atas putusan MKMK.

"Kami anggap ini kelalaian Anwar Usman dalam rangka untuk menutupi, mengurangi, memperkecil, menghambat hak masyarakat termasuk kami-kami ini," kata Petrus, di gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, seperti dikutip Kompas.com, Kamis (9/11/2023). 

Adapun ketentuan mengenai MKMK merujuk pada Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang diterbitkan pada Februari 2023. 

Petrus dan koleganya mengaku keberatan dengan putusan MKMK yang dibentuk oleh Anwar Usman. Sebab, majelis etik yang dipimpin mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie itu tidak memberhentikan dengan tidak hormat Anwar Usman dari hakim konstitusi.

Padahal, Anwar Usman dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran etik berat karena membujuk hakim konstitusi lain dalam memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. 

Merujuk pada aturan MKMK yang dibuat oleh Anwar Usman sendiri, hukuman sanksi oleh MKMK ada tiga tingkat yakni, teguran lisan, peringatan tertulis, dan pemberhentian dengan tidak hormat jika terbukti melakukan pelanggaran berat. 

"Perekat Nusantara dan TPDI merasa dirugikan akibat putusan kemarin, karena tuntutan TPDI dan Perekat Nusantara adalah memberhentikan tidak dengan hormat Anwar Usman dari kedudukannya sebagai hakim konstitusi," ujar Petrus.

Petrus berujar, jika Anwar Usman saat menyusun Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 itu mencantumkan ketentuan mengenai mekanisme banding dan membentuk majelis banding, maka masyarakat tidak akan merasa terhalangi. 

Selain itu, kata dia, Anwar Usman sendiri juga memiliki kesempatan mengajukan banding atas putusan MKMK yang mencopotnya dari jabatan Ketua MK. 

"Termasuk dia sendiri (terdampak) jadi senjata makan tuan. Dia merasa sekarang dia ngomong di berbagai media, dia merasa dirugikan, dia difitnah, tetapi dia hanya bisa omong-omong di media karena dia sendiri tidak bisa banding," tuturnya.

Sebagai informasi, putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengatur syarat batas usia capres dan cawapres, yakni seseorang yang belum berusia 40 tahun bisa mencalonkan diri sebagai selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum. 

Berkat putusan itu, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi bakal cawapres, berbekal jabatan Wali Kota Solo yang hampir diemban selama hampir tiga tahun. Putusan MK itu menjadi sorotan dan dinilai sarat konflik kepentingan hingga akhirnya dibentuk MKMK guna mendalami adanya pelanggaran etik dari hakim konstitusi.

Salah satu dugaan pelanggaran etik yang disidangkan MKMK adalah perkara paman Gibran, Anwar Usman. Ia merupakan adik ipar Jokowi. Dalam putusan MKMK, Anwar Usman dinilai terbukti melobi hakim lain. Tanpa kehadiran Anwar Usman dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) perkara nomor 29, 51, dan 55/PUU-XXI/2023 pada 18 September 2023, mayoritas hakim menolak ikut campur masalah batas usia capres-cawapres. 

Lalu, menyatakan batas usia capres-cawapres adalah kewenangan pembuat kebijakan. Namun, ketika RPH untuk perkara 90/PUU-XXI/2023, Anwar Usman hadir.

MKMK menyebut, Anwar hadir untuk memutus perkara ini karena tiga perkara sebelumnya ditolak tanpa kehadiran dirinya. "Hakim Terlapor dalam penanganan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terbukti melakukan upaya membujuk sesama rekan hakim untuk menentukan sikap dalam putusan karena alasan politik pribadi Hakim Terlapor," tulis putusan MKMK. (*)