• Sabtu, 07 Juni 2025

Dua Periode Pemerintahan Presiden Jokowi, Utang Pemerintah Bertambah Rp 5.246 Triliun

Jumat, 27 Oktober 2023 - 08.33 WIB
240

Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), utang pemerintah bertambah menjadi Rp5.246 triliun. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, hingga Juli 2023 hutang pemerintah sebesar Rp7.855,53 triliun.

Jumlah tersebut naik tiga kali lipat lebih dihitung sejak awal Jokowi menjabat sebagai presiden di tahun 2014. Saat itu hutang pemerintah tercatat senilai Rp2.608,78 triliun.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, pada era pemerintahan Jokowi yang dimulai sejak Oktober 2014, hutang pemerintah tercatat hanya sebesar Rp2.608,78 triliun. Lalu, di tahun 2015 hutang meningkat menjadi Rp3.165,13 triliun.

Peningkatan hutang berlanjut pada tahun berikutnya yakni 2016 sebesar Rp3.706,52 triliun, dan terus melonjak di tahun 2017 menjadi Rp3.938,70 triliun.

Tidak berhenti sampai disitu, pemerintahan Jokowi yang tersisa dua tahun lagi pada periode pertama dia menjabat, hutang pemerintah terus meningkat di tahun 2018 sebesar Rp4.418,30 triliun dan pada tahun 2019 sebanyak Rp4.779,28 triliun.

Kemudian, di tahun berikutnya pada 2020 hutang pemerintah semakin melonjak hingga menembus Rp6.074,56 triliun, dan kembali meningkat di 2021 menjadi Rp6.625,43 triliun. Di tahun 2022 hutang pemerintah naik menjadi Rp7.554,25 triliun.

Baca juga : 

Sepanjang Januari-Juli 2023 (year-to-date), pemerintah telah menarik hutang baru sebesar Rp194,9 triliun. Kemenkeu memperkirakan outlook pembiayaan hutang tersebut akan lebih rendah dari target APBN senilai Rp696,3 triliun, menjadi Rp406,4 triliun yang akan digunakan untuk menutup defisit APBN sebesar 2,28 persen terhadap PDB.

Artinya, hingga sisa akhir 2023, terdapat potensi hutang yang akan ditarik sebesar Rp211,5 triliun. Dengan demikian, diproyeksikan total hutang pemerintah akan tembus Rp8.000 triliun pada awal tahun 2024.

Presiden Jokowi merencanakan menarik hutang baru sebesar Rp648,1 triliun pada tahun 2024. Hutang ini akan akan menjadi warisan presiden berikutnya yang harus dibayar.

Sebagai perbandingan, besaran hutang pemerintah pada era Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan era Presiden Jokowi. Hal itu terbukti dari hutang yang tercatat pada tahun 2007 hanya sebesar Rp1.389,41 triliun dan pada tahun selanjutnya 2008 naik menjadi Rp1.636,74 triliun.

Pada tahun 2009, hutang pemerintah turun menjadi Rp1.590,66 triliun dan kembali sedikit meningkat di tahun 2010 menjadi Rp1.676,85 triliun.

Hutang pemerintah mengalami peningkatan kembali pada tahun 2011 menjadi sebesar Rp1.803,49 triliun. Lalu, tahun 2012 naik menjadi Rp1.977,71 triliun. Pada tahun 2013, hutang pemerintah menembus Rp2.375,50 triliun.

Pada tahun terakhirnya SBY menjabat sebagai presiden, total hutang pemerintah Indonesia tercatat sebesar Rp2.608,78 triliun. Artinya angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan hutang pemerintah di era Presiden Jokowi.

Dimintai tanggapannya, Pengamat Ekonomi dari Central for Urban and Regional Studies (CURS), Erwin Oktavianto mengatakan, hutang semakin bertambah karena pembangunan khususnya infrastruktur yang dilakukan pemerintahan Jokowi menggunakan uang dari hutang. Dan hasil pembangunan pun dianggap belum mampu memperkecil nilai hutang negara.

“Karena pembangunan yang ada saat ini belum banyak termanfaatkan, yang akhirnya belum menjadi keuntungan besar bagi pemerintah sendiri. Malah memunculkan defisit anggaran. Cara menutupnya dengan berhutang lagi,” kata Erwin, Kamis (26/10/2023).

Erwin menilai, tata kelola keuangan pemerintah saat ini masih kurang baik. Dimana pendapatan dari hasil pembangunan belum masif yang kemudian berdampak kepada neraca keuangan tidak berimbang, banyak pengeluaran dibandingkan pendapatan, sehingga neraca keuangannya negatif.

“Sampai sekarang betul (tata kelola keuangan pemerintah kurang baik). Karena perkiraan dasarnya, ketika pemerintah membangun lalu menghasilkan keuntungan maka hasil pembangunan tersebut akan dijual yang mana marginnya akan diperoleh pemerintah dan sisanya untuk membayar hutang,” ucapnya.

Menurut Erwin, besarnya hutang negara saat ini kemungkinan disebabkan proyek jangka panjang yang seharusnya pembangunannya dilakukan secara kontinyu namun dipercepat.

“Seperti pembangunan tol, kawasan industri yang sekarang sudah terbangun, perencanaan TPA regional sekarang sudah dikerjasamakan. Ini proyek yang membutuhkan waktu lama untuk direalisasikan supaya anggaran stabil, tapi malah dipercepat dengan cara peminjaman uang,” katanya.

Erwin mengatakan, hutang negara akan terus berlanjut jika pendapatan nasional belum meningkat dari berbagai aspek, baik dari BUMN hingga hasil pembangunan yang sudah dilakukan.

“Indonesia sudah memiliki semuanya seperti infrastruktur yang dimiliki oleh negara-negara maju. Artinya secara umum sudah memiliki pondasi dasar yang kuat untuk menjadi negara maju, tinggal bagaimana cara mengoperasionalkannya agar semua yang dibangun bisa berdampak pada peningkatan ekonomi nasional,” tuturnya.

Erwin berharap, pemerintahan ke depan selain mempertimbangkan pembangunan, tetapi juga memperhatikan kesehatan keuangan negara.

“Agar beban-bebannya bisa diturunkan. Ketika beban hutang turun dan investasi naik, maka harapannya terjadi pertumbuhan ekonomi yang signifikan,” ujarnya. (*) 

Artikel ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas Edisi Jumat, 27 Oktober 2023 dengan judul "Hutang Pemerintah Bertambah 5.246 Triliun"