• Senin, 02 Juni 2025

Utang Negara Tembus Rp7.855,53 Triliun, Bengkak Tiga Kali Lipat Selama Sembilan Tahun

Kamis, 26 Oktober 2023 - 16.23 WIB
141

Ilustrasi. Foto: Kompas.com

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Utang pemerintah Indonesia makin membengkak dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir era kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi).

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah senilai Rp7.855,53 triliun per Juli 2023. Jumlah tersebut naik tiga kali lipat lebih atau naik sebesar Rp5.246,75 triliun sejak awal Jokowi menjabat sebagai presiden di tahun 2014 dengan utang pemerintah saat itu Rp2.608,78 triliun.

Sepanjang Januari-Juli 2023 (year-to-date/ytd), pemerintah telah menarik utang baru sebesar Rp194,9 triliun. Kemenkeu memperkirakan outlook pembiayaan utang tersebut akan lebih rendah dari target APBN senilai Rp696,3 triliun, menjadi Rp406,4 triliun yang akan digunakan untuk menutup defisit APBN sebesar 2,28 persen terhadap PDB.

Artinya, hingga sisa akhir 2023, terdapat potensi utang yang akan ditarik sebesar Rp211,5 triliun. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan total utang pemerintah akan tembus Rp8.000 triliun pada awal tahun depan.

Presiden Jokowi merencakan penarikan utang baru sebesar Rp648,1 triliun pada tahun 2024. Utang ini akan menjadi warisan presiden karena pada Oktober 2024 juga akan berakhir jabatannya.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, pada era Pemerintahan Jokowi yang dimulai sejak 2014, utang pemerintah baru tercatat sebanyak Rp2.608,78 triliun, lalu di tahun 2015 utang tersebut meningkat menjadi Rp3.165,13 triliun.

Peningkatan utang tersebut masih berlanjut pada tahun berikutnya, dimana tercatat Rp3.706,52 triliun di 2016 dan masih terus melonjak di tahun 2017 menjadi Rp3.938,70 triliun.

Tidak berhenti sampai disitu, Pemerintahan Jokowi yang tersisa dua tahun lagi pada periode pertama dia menjabat, utang pemerintah masih terus meningkat di tahun 2018 sebesar Rp4.418,30 triliun dan pada tahun 2019 sebanyak Rp4.779,28 triliun.

Kemudian, di tahun berikutnya pada 2020 utang pemerintah semakin melonjak hingga menembus Rp6.074,56 triliun dan kembali meningkat di 2021 menjadi Rp6.625,43 triliun. Di tahun 2022 utang pemerintah menjadi Rp7.554,25 triliun.

Sementara itu, besaran utang pemerintah pada era Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan era Jokowi. Hal itu terbukti dari utang yang tercatat pada tahun 2007 hanya sebesar Rp1.389,41 triliun dan pada tahun selanjutnya 2008 tercatat naik menjadi Rp1.636,74 triliun.

Meski terjadi peningkatan, di tahun 2009 utang pemerintah tersebut malah menurun menjadi Rp1.590,66 triliun dan kembali sedikit meningkat di tahun 2010 menjadi Rp1.676,85 triliun.

Tidak hanya itu, utang pemerintah mengalami peningkatan kembali pada tahun 2011 menjadi sebesar Rp1.803,49 triliun, lalu tahun 2012 kembali tercatat naik Rp1.977,71 triliun, dan pada 2013 menembus Rp2.375,50 triliun.

Adapun pada tahun terakhirnya SBY menjabat sebagai presiden, total utang pemerintah Indonesia hanya tercatat sebesar Rp2.608,78 triliun, artinya angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan utang pemerintah di era Jokowi.

Menanggapi hal itu, Pengamat Ekonomi Central for Urban and Regional Studies (CURS), Erwin Oktavianto mengatakan hal ini menjadi dilema lantaran pembangunan yang dilakukan pemerintah Jokowi mengunakan uang dari utang. Dan hasil pembangunan pun dianggap belum mampu memperkecil nilai untang negara.

“Karena pembangunan yang ada saat ini belum banyak termanfaatkan yang akhirnya belum menjadi keuntungan besar bagi pemerintah sendiri, malah memunculkan defisit anggaran. Cara menutupnya dengan berhutang lagi,” kata dia, Kamis (26/10).

Erwin menilai tata kelola keuangan pemerintah saat ini masih kurang baik. Dimana pendapatan dari hasil pembangnan belum masif yang kemudian berdampak kepada neraca keuangan tidak berimbang, banyak pengeluaran dibandingkan pendapatan, sehingga neraca keuangannya negatif.

“Sampai sekarang betul (tata kelola keuangan pemerintah kurang baik). Karena perkiraan dasarnya, ketika pemerintah membangun lalu menghasilkan keuntungan maka bangunan tersebut akan dijual yang mana marginnya akan diperoleh pemerintah dan sisanya untuk membayar utang,” ucapnya.

Menurut Erwin besarnya utang negara saat ini kemungkinan disebabkan projek jangka panjang yang harusnya pembangunannya dilakukan secara kontinyu namun dipercepat.

“Seperti pembangunan tol, kawasan industri yang sekarang sudah terbangun, perencanaan TPA regional sekarang sudah dikerjasamakan. Ini projek yang membutuhkan waktu lama untuk direalisasikan supaya anggaran stabil, tapi dipercepat dengan cara peminjaman uang,” katanya.

Erwin menaggap bahwa utang negara akan terus berlanjut jika pendapatan nasional belum meningkat dari berbagai aspek, baik dari BUMN, hingga hasil pembangunan yang sudah dilakukan.

“Indonesia sudah memiliki semuanya seperti infrastruktur yang dimiliki oleh negara-negara maju, artinya secara umum sudah memiliki pondasi dasar yang kuat untuk menjadi negara maju, tinggal bagaimana cara mengoperasionalkannya agar semua yang dibangun bisa berdampak pada peningkatan ekonomi nasional,” tuturnya.

Dia berharap pemerintah kedepan selain mempertimbangkan pembangunan tetapi juga memperhatikan kesehatan keuangan negara.

“Agar beban-bebannya bisa diturunkan. Ketika beban utang turun dan investasi naik, maka harapannya terjadi pertumbuhan ekonomi yang signifikan,” ujarnya. (*)