Orasi Ilmiah di Universitas Saburai Lampung, Prof Rokhmin: Indonesia Defisit Pemimpin Bangsa yang Kompeten
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Bidang Kelautan dan Perikanan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri menyebut, Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara dan bangsa yang maju, adil, makmur dan berdaulat.
Hal tersebut disampaikan Prof Rokhmin dalam orasi ilmiah dalam acara wisuda program Magister dan Sarjana Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai, Bandar Lampung yang mengangkat tema 'Mempersiapkan Alumni Universitas Saburai Dalam Menghadapi Tantangan Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0. di Universitas Saburai, Senin (23/10/2023).
Dalam kesempatan itu, Prof Rokhmin mengatakan, modal dasar pembangunan yang pertama adalah besarnya jumlah penduduk, yang mencapai 278 juta orang merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022. Jumlah tersebut merupakan terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat.
"Besarnya jumlah penduduk berarti Indonesia memiliki potensi pasar domestik yang luar biasa besar. Selain itu, selama kurun waktu 2020 sampai 2032 Indonesia mengalami ‘Bonus Demografi’ (Demographic Dividend), dimana jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) melebihi jumlah penduduk berusia tidak produktif," kata dia, Senin (23/10/2023).
Prof Rokhmin menambahkan apabila pemerintah mampu mengelola ‘Bonus Demografi’ itu secara cerdas dan benar, dengan meningkatkan kualitas (kapasitas inovasi, etos kerja, dan akhlak) SDM nya, dan menciptakan lapangan kerja yang mensejahterakan. Maka, ini bakal meningkatkan produktivitas, daya saing, dan pertumbuhan ekonomi inklusif.
"Sehingga dapat menjadikan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. Sebaliknya, bila pemerintah gagal memanfaatkan hal tersebut, maka Indonesia bakal terjebak sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income trap), alias akan gagal menjadi bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat," imbuhnya.
Kemudian, modal dasar kedua adalah berupa kekayaan SDA yang sangat besar, baik SDA terbarukan seperti hutan, lahan pertanian, peternakan, perikanan, dan keanekaragam hayati maupun SDA tidak terbarukan yang meliputi minyak dan gas, batubara, nikel, tembaga, emas, bauksit, bijih besi, pasir besi, mangan, mineral tanah jarang (rare earth) dan lainnya.
Beragam jenis SDA itu kata Prof Tokhmin tersebar di wilayah laut dan daratan, dari Sabang hingga Merauke, dan dari Pulau Miangas sampai P. Rote. Kekayaan SDA yang melimpah itu mestinya menjadikan Indonesia sebagai produsen (supplier) utama berbagai jenis komoditas dan produk di dunia.
"Mulai dari produk pangan dan minuman, sandang (tekstil, garmen atau pakaian, sepatu, dan jenis pakaian lainnya), perumahan dan bangunan, farmasi dan obat-obatan (kesehatan), elektronik, otomotif, mesin dan peralatan transportasi, teknologi informasi dan digital, bioteknologi sampai nanoteknologi," sambungnya.
Lalu modal dasar ketiga adalah berupa posisi geopolitik dan geoekonomi yang sangat strategis. Indonesia yang terletak di antara Samudera Pasifik dan Hindia, dan di antara Benua Asia dan Australia, menempatkannya di jantung Rantai Pasok Global (Global Supply Chain) atau perdagangan global.
Dimana, sekitar 45 persen dari seluruh komoditas, produk, dan barang yang diperdagangkan di dunia, dengan nilai rata-rata 15 triliun dolar AS per tahun diangkut (ditransportasikan) oleh ribuan kapal melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dan wilayah laut Indonesia lainnya (Lampiran-3) (UNCTAD, 2018).
"Posisi geoekonomi yang sangat strategis ini harusnya dijadikan peluang bagi Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor barang dan jasa (goods and services) utama di dunia, sehingga menghasilkan neraca perdagangan yang positif (surplus) secara berkelanjutan. Sayangnya, sejak 2010 hingga 2019 neraca perdagangan RI justru negatif," ujarnya.
Prof Rokhmin menegaskan, artinya nilai total impor lebih besar ketimbang total nilai ekspor Indonesia. Dengan perkataan lain, bangsa Indonesia lebih sebagai konsumen dan pengimpor ketimbang sebagai produsen dan pengekspor, sehingga hal tersebut yang harus dilakukan perubahan agar Indonesia menjadi negara produsen dan pengekspor.
Namun dalam mencapai hal tersebut ada berbagai tantangan pembangunan yang dihadapi Indonesia. Sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, alhamdulillah kita bangsa Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami perbaikan di hampir semua bidang kehidupan. Salah satu nya yakni turunya angka kemiskinan dari tahun ke tahun.
"Jika pada 1945 – 1955 sekitar 70 persen rakyat Indonesia masih miskin, pada 1970 jumlah rakyat miskin menurun menjadi 60 persen. Pada 2004 tingkat kemiskinan turun lagi menjadi 16 persen, tahun 2014 menjadi 12 persen, dan tahun 2019 tinggal 9,2 persen, tahun 2021 karena Covid tingkat kemiskinan meningkat lagi jadi 10,2 persen," jelasnya.
Kemudian, per Maret 2023 kemiskinan tinggal 9,4 persen atau 26 juta orang (BPS, 2023). Besaran ekonomi atau PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia saat ini mencapai 1,3 triliun dolar AS atau terbesar ke-16 di dunia (World Bank, 2023), namun jika dibagi dengan jumlah penduduk 278 Juta maka pendapatan nasional kotor Indonesia baru mencapai 4.580 dolar AS per kapita.
"Artinya, hingga saat ini status pembangunan dan kemakmuran Indonesia masih sebagai negara berpendapatan-menengah atas (upper-middle income country). Belum sebagai negara makmur (high-income country) dengan GNI per kapita di atas 13.845 dolar AS (World Bank, 2023)," terangnya.
Sementara, negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura yang potensi pembangunan jauh lebih kecil, tingkat kemakmuran sudah jauh melampaui bangsa Indonesia. Bahkan Singapura dan Brunei Darussalam sudah dinobatkan sebagai negara makmur, dengan GNI per kapita 67.200 dolar AS dan 31,410 dolar AS.
Sementara itu, tingkat kemajuan bangsa Indonesia, yang diukur atas dasar kapasitas IPTEK (UNESCO, 2014), masih berada di kelas-3 (technology-adaptor country), belum sebagai negara maju (technology-innovator country) atau kelas-1. Technology-adaptor country adalah negara yang sekitar 70 persen kebutuhan teknologinya berasal dari impor, bukan dari hasil karya (inovasi) bangsa sendiri.
Sebaliknya, negara maju (technology-innovator country) adalah negara yang lebih dari 70 persen kebutuhan teknologinya dipenuhi oleh hasil karya bangsanya sendiri, bukan dari impor. Indonesia pun dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan pembangunan. Mulai dari rendahnya pertumbuhan ekonomi (rata-rata dibawah 7 persen per tahun), tingginya angka kemiskinan, ketimpangan ekonomi.
Disparitas pembangunan antar wilayah, deindustrialisasi, kerusakan SDA (Sumber Daya Alam) dan lingkungan, sampai stunting, gizi buruk, dan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Garis kemiskinan sebesar Rp580.000 per orang per bulan, per Maret 2023 jumlah penduduk miskin sebesar 26,16 juta orang atau 9,4 persen jumlah penduduk Indonesia.
"Tetapi, atas dasar garis kemiskinan internasional sebesar 3,2 dolar AS/orang/hari atau 96 dolar AS (Rp 1.440.000)/orang/bulan, jumlah orang miskin Indonesia mencapai 111 juta orang atau 40 persen jumlah penduduk. Dalam hal ketimpangan ekonomi, Indonesia merupakan negara terburuk ketiga di dunia, dimana 1 persen penduduk terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 46 persen total kekayaan negara," imbuhnya.
Permasalahan bangsa lainnya yang tak kalah rumit adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5 persen total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 56 persen total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).
Akibatnya, Pulau Jawa mengalami beban ekologis yang sangat berat, dengan luas tutupan hutan kurang dari 15 persen total luas lahannya. Padahal, untuk suatu pulau bisa berkelanjutan (sustainable), bila luas tutupan hutannya minimal 30 persen total luas lahan (Odum, 1976; Clark, 1989).
"Maka, jangan heran, di saat musim penghujan Pulau Jawa dilanda banjir dan tanah longsor dimana-mana. Sementara pada musim kemarau, Pulau Jawa mengalami kekeringan yang semakin parah. Sementara itu, potensi pembangunan berupa SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang begitu melimpah di luar Jawa, belum dimanfaatkan secara optimal atau dicuri pihak asing," terangnya.
Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 21,4 persen anak-anak kita mengalami stunting (tengkes), 17,7 persen bergizi buruk, dan 10,2 persen berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation.
Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. Padahal, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80 (UNDP, 2021). Ironisnya, dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah.
Tingginya angka kemiskinan, dan rendahnya IPM berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, tembaga, hutan, dan ikan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi. Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan lingkungan yang parah di dunia (UNEP, WWF; 2020).
Prof Rokhmin mengatakan bahwa banyak faktor yang menyebabkan Indonesia sebagai negara yang kaya SDA, tetapi belum mampu keluar dari middle-income trap dan menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat. Pada tataran praksis, Indonesia belum punya rencana pembangunan nasional yang holistik, tepat, dan benar.
"Serta diimplementasikan secara berkesinambungan. Sejak awal era Reformasi, setiap ganti Presiden, Menteri, gubernur, Bupati, dan Walikota, kebijakan dan program nya berganti pula. Jadi, kita ibarat membangun ‘istana pasir’ atau ‘tarian poco-poco’. Tidak ada kemajuan pembangunan yang akumulatif dan berkelanjutan," tegasnya.
Kemudian Etos kerja, produktivitas, daya inovasi, dan akhlak kita sebagai bangsa pun tergolong rendah. Indonesia mengalami defisit pemimpin bangsa yang capable (berkemampuan), kompeten, memiliki IMTAQ (Iman dan Taqwa) yang kokoh, berakhlak mulia, dan negarawan.
Dewasa ini, sebagian besar pemimpin bangsa sangat transaksional, ikut berbisnis, melakukan NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi), dan hanya mementingkan diri, keluarga atau kelompok nya. Mayoritas mereka menjadi pemimpin karena pencitraan diri yang dibiayai oleh oligarki melalui para ‘buzzer’ nya.
Namun, akar masalah (root cause) dari ketertinggalan bangsa kita adalah karena sejak awal Orde Baru, kita menganut sistem (paradigma) Kapitalisme (Mubyarto, 2004; Sritua Arief dan Sri-Edi Swasono, 2014) dan sejak Reformasi kita menempuh demokrasi liberal. Bukan berdasarkan pada Pancasila.
"Parahnya, kita kurang atau tidak mengambil sisi positif dari Kapitalisme, seperti kerja keras, disiplin, mencintai dan menguasai IPTEK serta inovasi. Tetapi, justru kita praktekan nilai-nilai Kapitalisme yang negatif, seperti rakus, hedonis, hanya mengejar untung sebesar-besarnya, mengeksploitasi yang lain, dan tidak mempercayai kehidupan akhirat," tegasnya.
Prof Rokhmin menambahkan sejak awal Orde Baru sampai sekarang, perekonomian sebagian besar berbasis pada eksploitasi SDA, ekspor komoditas mentah, buruh murah, dan investasi asing.
"Akibatnya, keuntungan ekonomi dari berbagai kegiatan pembangunan, investasi, dan bisnis kebanyakan lari ke Jakarta atau negara-negara asal investor asing. Negara dan rakyat Indonesia hanya menikmati sebagian kecil keuntungan ekonomi itu atau ‘remah-remah’ nya saja," pungkasnya. (*)
Berita Lainnya
-
Cerita Pj Gubernur Samsudin Pernah Digunduli hingga Dicubit Guru Sewaktu Sekolah
Senin, 25 November 2024 -
Bea Cukai Lampung Gagalkan Penyelundupan 60.883 Benih Lobster di Tol Bakter
Senin, 25 November 2024 -
Pemprov Lampung Bakal Relokasi Pedagang Sekitar Masjid Al Bakrie
Senin, 25 November 2024 -
Soroti Kriminalisasi Terhadap Guru, Akademisi Unila Dorong Pembentukan Satgas Perlindungan Guru
Senin, 25 November 2024