• Rabu, 30 April 2025

Bertemu INI dan IPPAT, Direktur AKBU KPK Aminudin: PPAT dan Notaris Rawan Terlibat Suap, Gratifikasi dan Pemerasan

Kamis, 05 Oktober 2023 - 17.54 WIB
117

Direktorat AKBU KPK saat menerima audiensi INI dan IPPAT, di Gedung KPK Merah, Jalan Kuningan Persada, Jakarta, Kamis (5/10/2023). Foto: Dok.KPK

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Direktorat Antikorupsi Badan Usaha (AKBU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima audiensi Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), membahas isu pengguna jasa pada sektor pertanahan di Gedung KPK Merah, Jalan Kuningan Persada, Jakarta, Kamis (5/10/2023).

Dalam pertemuan itu, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan menyebut dua isu terkait layanan sektor pertanahan yaitu akses pengguna layanan pertanahan secara langsung rendah dan waktu penyelesaiannya melebihi SLA (Service Level Agreement).

"Dari kajian KPK, ada dua isu yang mengemuka pada pengguna jasa pada sektor pertanahan. Pertama pengguna layanan pertanahan secara langsung rendah karena mayoritas lebih memilih menggunakan kuasa. Semakin banyak pengurusan pakai kuasa, artinya masyarakat semakin takut datang ke BPN sehingga datangnya ke notaris," kata Pahala.

"Yang kedua, penyelesaian layanan pertanahan melebihi SLA dan terdapat perbedaan perlakuan  pemberian layanan pertanahan kepada pengguna langsung yang melalui kuasa,” lanjutnya.

"KPK akan menyampaikan ke ATRBPN hal-hal yang tadi disampaikan, dan jika memang dibutuhkan diskusi lebih dalam terkait pembuatan atau perubahan regulasi, KPK siap dilibatkan,” timpalnya.

Direktur AKBU KPK, Aminudin mengatakan, tindak pidana korupsi suap masih menjadi yang paling banyak terjadi, yaitu 904 kasus berdasarkan data penanganan KPK 2004 sampai 2022. Sedangkan pelakunya paling banyak dari kalangan pebisnis atau kalangan swasta. 

Aminudin menyebut, ada 3 jenis tindak pidana korupsi yang mungkin melibatkan PPAT dan notaris yaitu suap, gratifikasi dan pemerasan.

"Ini tiga jenis korupsi yang kemungkinan paling sering ditemukan bapak ibu sekalian saat melakukan tugas di lapangan. Suap terjadi saat ada kesepakatan antara pemberi dan penerima, keduanya bisa jadi tersangka atau dipidanakan,” ujar Aminudin.

"Gratifikasi biasanya posisi si pejabat atau ASN dalam kondisi pasif. Sedangkan pemerasan, ASN atau pejabat negara yang aktif memaksa bapak ibu untuk memberikan sesuatu dalam pengurusan,” tanbahnya.

Ketua Bidang Organisasi INI, Taufik, menyoroti waktu layanan pertanahan yang belum transparan. Menurutnya, saat ini waktu pengambilan berkas lebih lama dari sebelumnya.

"Dulu pengurusan tujuh hari saya sudah dihubungi kantor pertanahan untuk mengambil berkas yang telah selesai. Saat ini, waktu pengurusan tujuh hari saya lihat sudah selesai, tapi tidak bisa diambil. Diambilnya baru tiga bulan selanjutnya,” ungkapnya.

Taufik juga merespon pengurusan pertanahan secara online yang justru lebih rumit karena akses yang sulit dan lebih banyak berkas yang harus dipersiapkan.

Beberapa persoalan ikut dibahas dalam pertemuan ini, seperti roya (pencoretan pada buku tanah hak tanggungan karena hak tanggungan telah hapus) dimana secara hukum yang seharusnya bisa dilaporkan secara bersamaan atau sekaligus, namun saat ini pendaftaran dilakukan terputus. 

Selanjutnya tentang validasi harga tanah yang ada di dinas pendapatan daerah setiap kabupaten tanpa didukung peraturan daerah. Padahal seharusnya peraturan daerah tersebut disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Sejumlah temuan dan masukan dari peserta audiensi menjadi catatan KPK untuk kemudian ditindaklanjuti dengan melibatkan lembaga terkait seperti ATRBPN, PPATK dan Kemendagri. 

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron mengatakan, tingginya kebutuhan rumah tinggal dalam 10 tahun kedepan yang tidak mampu disediakan pemerintah, dinilai menjadi peluang untuk developer maupun pengembang. Namun, situasi ini juga menjadi peluang munculnya pungli, gratifikasi dan pemerasan yang berdasarkan fakta dilakukan oleh aparatur negara.

"Kebutuhan rumah dalam 10 tahun kedepan bertambah 70 persen. Bila jumlah kepala keluarga 60 juta dan kebutuhan rumah bertambah 20 persen, maka akan ada kebutuhan 12 juta dalam 10 tahun kedepan. Artinya ada demand satu juta rumah setiap tahun," kata Ghufron. 

Ghufron mengungkapkan, salah sektor yang masih banyak suap dan gratifikasi adalah bidang pertanahan. Sebab, ketika bicara rumah di dalamnya ada sektor pertanahan.

"Dalam prosesnya bidang ini membutuhkan banyak perijinan dari negara yang tidak memiliki kepastian karena tindakan aparat yang terkait," ujar Ghufron.

Ia menerangkan, terdapat lima faktor penyebab terjadinya suap, pemerasan hingga korupsi. Diantaranya, ketidakpastian waktu dan biaya, ketidakjelasan syarat dan ketentuan prosedur, tidak transparan atau dilakukan secara tertutup, tidak akuntabel dan tidak adil. (*)