• Selasa, 26 November 2024

Mahasiswa Tak Lagi Diwajibkan Buat Skripsi, Begini Aturan Terbarunya

Selasa, 29 Agustus 2023 - 20.23 WIB
241

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim tidak mewajibkan skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa sarjana (S1), jika program studi sarjana atau sarjana terapan sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek.

Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023, tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

“Standar Nasional Pendidikan Tinggi kini menjadi lebih sederhana. Penyederhanaan pengaturan terjadi pada (1) lingkup standar; (2) standar kompetensi lulusan; dan (3) standar proses pembelajaran dan penilaian, sehingga perguruan tinggi dapat menjadi lebih fokus pada peningkatan mutu tridharma perguruan tinggi,” kata Mendikbudristek melalui keterangan tertulisnya yang diterima Kupastuntas.co, Selasa (29/8).

Ia menerangkan, Permendikbudristek ini memberikan otonomi lebih kepada perguruan tinggi. Salah satunya, soal standar kompetensi lulusan yang tidak lagi dijabarkan secara rinci dan kaku. Misalnya saja tugas akhir dapat berbentuk prototipe, proyek, atau bentuk lainnya, tidak hanya skripsi, tesis, atau disertasi.

“Penyederhanaan tugas akhir ini akan meningkatkan mutu lulusan. Jika program studi sarjana atau sarjana terapan sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk lain yang sejenis, maka tugas akhir dapat dihapus atau tidak lagi bersifat wajib,” jelas dia.

Sementara itu, lanjut dia, mahasiswa program magister atau magister terapan dan doktor atau doktor terapan wajib diberikan tugas akhir namun tidak perlu diterbitkan di jurnal. Berbagai opsi tersedia bagi perguruan tinggi untuk menentukan penilaian terhadap mahasiswa.

Nadiem menjelaskan, seharusnya setiap kepala prodi punya kemerdekaan untuk menentukan bagaimana cara pihaknya mengukur standar capaian kelulusan mereka. Untuk itu, kini standar terkait capaian lulusan ini tidak dijabarkan secara rinci lagi di Standar Nasional Pendidikan tinggi.

"Perguruan tinggi dapat merumuskan kompetensi sikap dan keterampilan secara terintegrasi," ucapnya.

Ia menuturkan, pada aturan sebelumnya, kompetensi sikap dan pengetahuan dijabarkan terpisah dan secara rinci. Untuk itu, mahasiswa sarjana dan sarjana terapan itu wajib membuat skripsi. Mahasiswa magister pun wajib menerbitkan makalah di jurnal ilmiah terakreditasi, sementara doktor wajib menerbitkan makalah di jurnal internasional bereputasi.

"Tetapi di dunia sekarang, ada berbagai macam cara untuk menunjukkan kemampuan atau kompetensi lulusan kita. Bapak-bapak dan Ibu-ibu di sini sudah mengetahui bahwa ini mulai aneh, kebijakan ini, legacy (sebelumnya) ini. Karena ada berbagai macam program, prodi, yang mungkin cara kita menunjukkan kemampuan kompetensinya dengan cara lain," imbuhnya.

Nadiem mencontohkan, kompetensi seseorang di bidang technical tidak lantas tepat diukur dengan penulisan karya ilmiah. Ia menjelaskan, Kemendikbudristek pun meresponsnya dengan perbaikan Standar Nasional Pendidikan Tinggi dengan sifat framework (kerangka). Harapannya, tiap prodi dapat lebih leluasa menentukan syarat kompetensi lulusan lewat skripsi ataupun bentuk lainnya.

"Dalam akademik juga sama. Misalnya kemampuan orang dalam konservasi lingkungan, apakah yang mau kita tes itu kemampuan mereka menulis atau skripsi secara scientific? Atau yang mau kita tes adalah kemampuan dia mengimplementasi project di lapangan? Ini harusnya bukan Kemendikbudristek yang menentukan," katanya.

Terkait akreditasi, Menteri Nadiem menjelaskan, Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 mengatur status akreditasi yang disederhanakan. Selain itu, jika dulu biaya akreditasi program studi oleh LAM dibebankan pada perguruan tinggi, kini pemerintah menanggung biaya akreditasi wajib, baik yang dilakukan BAN-PT maupun LAM. Jadi sekarang beban finansial perguruan tinggi dikurangi.

“Selain itu, sebelumnya, proses akreditasi dilakukan terhadap masing-masing program studi, sehingga permintaan data pada level fakultas/perguruan tinggi dilakukan berulang. Sekarang, proses akreditasi program-program studi dapat dilaksanakan bersama pada tingkat pengelola program studi. Jadi, kita pangkas juga beban administrasi perguruan tinggi,” paparnya. (*)