• Minggu, 19 Oktober 2025

Rustam Fachri Mandayun: Wartawan Jangan Halu Jadi Aparat Penegak Hukum

Selasa, 18 Juli 2023 - 19.00 WIB
185

Anggota kelompok kerja pada Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Rustam Fachri Mandayun (paling kanan) saat menjadi penguji UKW di Provinsi Lampung. Foto: Handika/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Lampung Selatan - Anggota kelompok kerja pada Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Rustam Fachri Mandayun mengutarakan keprihatinannya terkait maraknya media dan wartawan yang berpenampilan seolah-olah menjadi bagian resmi dari lembaga atau aparatur negara.

Rustam sapaan akrabnya mengatakan, media-media yang seperti itu dipastikan belum terdata atau terverifikasi di Dewan Pers.

"Memang belakangan ini, marak media maupun wartawan yang penampilannya seakan-akan dan seolah-olah sengaja ditekankan, bagian resmi dari lembaga atau aparatur  negara," mengutip tulisan Rustam pada indonesiana.id, Selasa (18/7/2023).

Rustam menceritakan, pernah salah seorang pengawas penyelenggara Uji Kompetensi Wartawan (UKW) mengingatkan seorang peserta yang datang mengenakan pakaian seragam terpasang lambang dan emblem mirip kesatuan Polisi Republik Indonesia untuk mengganti pakaiannya.

"Sebetulnya, dalam  peraturan pelaksanaan UKW yang berlaku sampai dengan ujian digelar, tidak ada larangan resmi menggunakan pakaian yang penuh tanda yang mirip-mirip petugas kepolisian atau aparat negara  tersebut. Namun rupanya si pengawas risih melihat ketidaklaziman itu. Mencolok dan nggegirisi, menakutkan,  kata orang Jawa. Sementara peserta lain menggunakan pakaian 'sipil' yang rapi dan sopan saja," sambung Rustam.

Lalu, Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakkan Etika Dewan Pers juga pernah melakukan mediasi atas aduan seorang Kepala Desa karena merasa terintimidasi didatangi oleh wartawan menggunakan mobil berlambang dan singkatan mirip petugas kepolisian.

"Istilah anak sekarang, si wartawan dan medianya halu (halusinasi), yang artinya kurang lebih 'seakan-akan menjadi' aparat penegak hukum," timpal Rustam.

Wartawan itu, berseragam dengan warna dan lambang mirip kesatuan atau lembaga negara, dilengkapi bendera merah putih. Pada badan mobil berwarna abu-abu ditulisi wartawan reaksi cepat, media singkatan KPK, Tipikor dan lambang mirip kesatuan Polri.

"Maka penampakan 'garang' ini membingungkan dan mengintimidasi masyarakat, termasuk si Kepala Desa," lanjut Rustam.

Mulanya, perusahaan pers, baik cetak, elektronik, dan siber, mewajibkan wartawan berikut kru berseragam agar rapi, sopan dan mudah dikenali di tempat tugasnya.

"Mereka terlihat lebih profesional.  Rupanya upaya merapikan penampilan wartawan atau jurnalis, yang umumnya tampil santai seadanya, dimanfaatkan secara berlebihan oleh sekelompok wartawan untuk tujuan yang berbeda. Yakni untuk mengintimidasi, menakut-nakutilah paling tidak," cetus Rustam.

Selain itu, banyak tampilan media siber memakai lambang dan singkatan menyerupai lembaga negara. Bahkan, ada media yang nekad menggunakan nama majalahumaspolisi.id. Padahal, media itu bukan bagian dari Humas Polri.

“Kami ingin menjadi media yang menyampaikan informasi kepada aparat penegak hukum, polisi agar kasus-kasus yang kami tulis dilanjutkan dengan penyelidikan dan seterusnya,” ujar Rustam menirukan jawaban si penanggungjawab media.

"Pastilah dia belum pernah ikut Uji Kompetensi Wartawan. Dia belum tahu, kalau dia sebetulnya belum banyak tahu tentang posisi dan peran pers," tegas Rustam.

Rustam menyatakan, Dewan Pers jauh-jauh hari telah mengeluarkan seruan perihal penggunaan nama penerbitan pers yang menggunakan nama atau yang menyerupai nama lembaga pemerintahan, lembaga penegak hukum atau nama LSM. Nama-nama seperti, Suratkabar KPK, BUSER, BIN, dan ICW.

"Yakni melalui Seruan Dewan Pers Nomor 01/ Seruan-DP/ I/ 2014 tentang Penggunaan Nama Penerbitan Pers, yang dikeluarkan pada 30 Januari 2014," urainya.

Dewan Pers menilai, terus Rustam, pemakaian nama-nama itu bisa menyebabkan kesalahpahaman di masyarakat dan berpotensi disalahgunakan.

"Bahkan, Dewan Pers menerima sejumlah pengaduan tentang penyalahgunaan profesi wartawan oleh penerbitan pers yang menggunakan nama mirip dengan nama lembaga-lembaga dimaksud," sebutnya.

Namun, anjuran tersebut tidak berlaku untuk penerbitan atau media internal yang resmi dikelola oleh lembaga pemerintahan, lembaga penegak hukum, lembaga sosial atau lembaga publik bersangkutan.

"Maka, bisa dipahami jika pada suatu ketika seorang kenalan saya yang mencoba memverifikasi medianya ke Dewan Pers, tidak bisa didata atau diverifikasi oleh Dewan Pers. Ketika saya tanya apa nama medianya, dia menyebutkan nama yang asosiatif dengan kepolisian, pastilah dia diminta oleh Komisi Pendataan -  perusahaan pers di Dewan Pers untuk mengubah nama medianya agar bisa diverifikasi, dan mungkin belum dilakukan," rinci Rustam.   

Melalui sosialisasi rambu-rambu hukum dan administratif tentang penggunaan simbol, logo dan nama media mirip-mirip lembaga negara yang bisa mengelabui masyarakat, diharapkan masyarakat pers menyadari hal itu untuk menghindari urusan dengan hukum.

"Dengan demikian, kecemasan masyarakat terhadap adanya penyimpangan-penyimpangan kerja jurnalistik pun jadi berkurang," harap Rustam.

"Perusahaan pers dan wartawannya harus semakin profesional dan meluruskan kembali niatnya terjun ke dunia jurnalistik, yakni utamanya untuk memberi informasi yang  mencerdaskan pembaca. Bukan untuk halu-haluan," tandas Rustam. (*)

Video KUPAS TV : Anak Tak Diterima Sekolah Dekat Rumah, Puluhan Warga Kota Gajah Pertanyakan Sistem Zonasi