Rustam Fachri Mandayun: Wartawan Jangan Halu Jadi Aparat Penegak Hukum

Anggota kelompok kerja pada Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Rustam Fachri Mandayun (paling kanan) saat menjadi penguji UKW di Provinsi Lampung. Foto: Handika/Kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Lampung Selatan - Anggota kelompok kerja
pada Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Rustam Fachri
Mandayun mengutarakan keprihatinannya terkait maraknya media dan wartawan yang
berpenampilan seolah-olah menjadi bagian resmi dari lembaga atau aparatur
negara.
Rustam sapaan akrabnya mengatakan, media-media yang
seperti itu dipastikan belum terdata atau terverifikasi di Dewan Pers.
"Memang belakangan ini, marak media maupun wartawan
yang penampilannya seakan-akan dan seolah-olah sengaja ditekankan, bagian resmi
dari lembaga atau aparatur negara," mengutip tulisan Rustam
pada indonesiana.id, Selasa (18/7/2023).
Rustam menceritakan, pernah salah seorang pengawas
penyelenggara Uji Kompetensi Wartawan (UKW) mengingatkan seorang peserta yang
datang mengenakan pakaian seragam terpasang lambang dan emblem mirip
kesatuan Polisi Republik Indonesia untuk mengganti pakaiannya.
"Sebetulnya, dalam peraturan pelaksanaan
UKW yang berlaku sampai dengan ujian digelar, tidak ada larangan resmi
menggunakan pakaian yang penuh tanda yang mirip-mirip petugas kepolisian atau
aparat negara tersebut. Namun rupanya si pengawas risih melihat
ketidaklaziman itu. Mencolok dan nggegirisi, menakutkan, kata
orang Jawa. Sementara peserta lain menggunakan pakaian 'sipil' yang rapi dan
sopan saja," sambung Rustam.
Lalu, Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakkan Etika
Dewan Pers juga pernah melakukan mediasi atas aduan seorang Kepala Desa karena
merasa terintimidasi didatangi oleh wartawan menggunakan mobil berlambang dan
singkatan mirip petugas kepolisian.
"Istilah anak sekarang, si wartawan dan
medianya halu (halusinasi), yang artinya kurang lebih 'seakan-akan menjadi'
aparat penegak hukum," timpal Rustam.
Wartawan itu, berseragam dengan warna dan lambang mirip
kesatuan atau lembaga negara, dilengkapi bendera merah putih. Pada badan mobil
berwarna abu-abu ditulisi wartawan reaksi cepat, media singkatan KPK, Tipikor
dan lambang mirip kesatuan Polri.
"Maka penampakan 'garang' ini membingungkan dan
mengintimidasi masyarakat, termasuk si Kepala Desa," lanjut Rustam.
Mulanya, perusahaan pers, baik cetak, elektronik, dan
siber, mewajibkan wartawan berikut kru berseragam agar rapi, sopan dan
mudah dikenali di tempat tugasnya.
"Mereka terlihat lebih profesional. Rupanya
upaya merapikan penampilan wartawan atau jurnalis, yang umumnya tampil santai
seadanya, dimanfaatkan secara berlebihan oleh sekelompok wartawan untuk tujuan
yang berbeda. Yakni untuk mengintimidasi, menakut-nakutilah paling tidak,"
cetus Rustam.
Selain itu, banyak tampilan media siber memakai lambang
dan singkatan menyerupai lembaga negara. Bahkan, ada media yang nekad
menggunakan nama majalahumaspolisi.id. Padahal, media itu bukan bagian dari
Humas Polri.
“Kami ingin menjadi media yang menyampaikan informasi
kepada aparat penegak hukum, polisi agar kasus-kasus yang kami tulis
dilanjutkan dengan penyelidikan dan seterusnya,” ujar Rustam menirukan jawaban
si penanggungjawab media.
"Pastilah dia belum pernah ikut Uji Kompetensi
Wartawan. Dia belum tahu, kalau dia sebetulnya belum banyak tahu tentang posisi
dan peran pers," tegas Rustam.
Rustam menyatakan, Dewan Pers jauh-jauh hari telah
mengeluarkan seruan perihal penggunaan nama penerbitan pers yang
menggunakan nama atau yang menyerupai nama lembaga pemerintahan, lembaga
penegak hukum atau nama LSM. Nama-nama seperti, Suratkabar KPK, BUSER, BIN, dan
ICW.
"Yakni melalui Seruan Dewan Pers Nomor 01/ Seruan-DP/
I/ 2014 tentang Penggunaan Nama Penerbitan Pers, yang dikeluarkan pada 30
Januari 2014," urainya.
Dewan Pers menilai, terus Rustam, pemakaian nama-nama itu
bisa menyebabkan kesalahpahaman di masyarakat dan berpotensi disalahgunakan.
"Bahkan, Dewan Pers menerima sejumlah pengaduan
tentang penyalahgunaan profesi wartawan oleh penerbitan pers yang menggunakan
nama mirip dengan nama lembaga-lembaga dimaksud," sebutnya.
Namun, anjuran tersebut tidak berlaku untuk penerbitan
atau media internal yang resmi dikelola oleh lembaga pemerintahan, lembaga
penegak hukum, lembaga sosial atau lembaga publik bersangkutan.
"Maka, bisa dipahami jika pada suatu ketika seorang
kenalan saya yang mencoba memverifikasi medianya ke Dewan Pers, tidak bisa didata
atau diverifikasi oleh Dewan Pers. Ketika saya tanya apa nama medianya, dia
menyebutkan nama yang asosiatif dengan kepolisian, pastilah dia diminta oleh
Komisi Pendataan - perusahaan pers di Dewan Pers untuk mengubah nama
medianya agar bisa diverifikasi, dan mungkin belum dilakukan," rinci
Rustam.
Melalui sosialisasi rambu-rambu hukum dan
administratif tentang penggunaan simbol, logo dan nama media mirip-mirip
lembaga negara yang bisa mengelabui masyarakat, diharapkan masyarakat pers
menyadari hal itu untuk menghindari urusan dengan hukum.
"Dengan demikian, kecemasan masyarakat terhadap
adanya penyimpangan-penyimpangan kerja jurnalistik pun jadi berkurang,"
harap Rustam.
"Perusahaan pers dan wartawannya harus semakin profesional dan meluruskan kembali niatnya terjun ke dunia jurnalistik, yakni utamanya untuk memberi informasi yang mencerdaskan pembaca. Bukan untuk halu-haluan," tandas Rustam. (*)
Video KUPAS TV : Anak Tak Diterima Sekolah Dekat Rumah, Puluhan Warga Kota Gajah Pertanyakan Sistem Zonasi
Berita Lainnya
-
Pasar Murah di Sidomulyo Diserbu Warga, Pemkab Lampung Selatan Jaga Daya Beli di Tengah Tekanan Ekonomi
Minggu, 19 Oktober 2025 -
Pagar PT Kaloper Terlalu Maju, Royani Akhirnya Dapat Keadilan Lewat Mediasi Tim Penegakan Perda
Kamis, 16 Oktober 2025 -
Lantik 18 Pejabat di Lampung Selatan, Bupati Egi Tegaskan Jabatan Adalah Amanah
Kamis, 16 Oktober 2025 -
Polisi Bekuk Residivis Curanmor Usai Curi Motor Nelayan di Sidomulyo Lamsel
Kamis, 16 Oktober 2025