• Jumat, 22 November 2024

Kompleksitas Lahan Gambut Kabupaten Mesuji, Konflik Agraria dan Potensi Ekonomi, Oleh: Ir. Septa Riadi, S.TP, MM, M.Si

Minggu, 18 Juni 2023 - 11.35 WIB
386

Putra daerah Mesuji dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB University. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Mesuji - Kabupaten Mesuji merupakan salah satu kabupaten yang terletak di bagian paling utara provinsi Lampung yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Laut Jawa. Sejarah Kabupaten Mesuji dimulai semenjak abad ke 18, dan saat itu kampug tua Mesuji hanya terdiri dari 8 perkampungan saja yang memeprsatukan diri menjadi sebuah marga Mesuji, karena terletak di tepian sungai Mesuji.

Seiring dengan berjalannya waktu, marga Mesuji merupakan bagian dari Kabupaten Lampung Utara dan pada tahun 1997 menjadi bagian Kabupaten Tulang Bawang dan pada akhirnya pada tahun 2008 memisahan menjadi kabupaten yang mandiri.

luas wilayah kabupaten Mesuji 2.184 KM² yang terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan dan 75 desa, dengan mayoritas daerah berupa dataran rendah. Secara geografis wilayah Kabupaten Mesuji terletak antara 5° - 6° lintang selatan dan 106°- 107° bujur timur, yang terletak antara dua sungai besar yaitu Sungai 27 Mesuji dan Sungai Buaya yang bermuara di laut Jawa.

Kawasan lindung di Kabupaten Mesuji mayoritas terdiri dari Kawasan sempadan sungai dan rawa gambut. Kawasan sekitar rawa berupa kawasan sepanjang perairan dengan jarak 200 meter dari titik pasang tertinggi, yang berada di Kecamatan Mesuji, Kecamatan Mesuji Timur dan Kecamatan Rawajitu Utara dengan luas kurang lebih 20.973 Ha.

Selain itu terdapat Kawasan hutan produksi yaitu Kawasan hutan tanam industri (HTI) terdapat di Register 45 Sungai Buaya di Kecamatan Way Serdang dan Mesuji Timur, seluruhnya merupakan kawasan HTI seluas 42.762 Ha. Kemudian hutan rakyat seluas 2600 hektar.

Kawasan peruntukan pertanian di Kabupaten Mesuji berupa pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Sebagian besar penggunaan lahan untuk kawasan pertanian adalah berupa pertanian tanaman pangan.

Sedangkan untuk kawasan strategis kabupaten direncanakan kawasan berikut : Kawasan KTM Mesuji yang berada pada Mesuji Timur dengan kegiatan penunjang minapolitan dan Agropolitan, Kota Agropolitan, Wisata Agro, Pertanian lahan pangan sebagai lumbung padi dan hortikultura, serta perdagangan.

Kawasan Kota Bahari Wiralaga dengan kegiatan yang terdiri dari perikanan, pusat perdagangan jasa dan pelayanan publik, industri pengolahan hasil serta perkebunan. Dan Kawasan Minapolitan Rawajitu Utara sebagai kegiatan minapolitan serta pusat perdagangan dan jasa.

Salah satu yang banyak terekspose dari konflik Mesuji adalah konflik agraria yang terus berlangsung dari tahun ke tahun. Konflik agraria merupakan sebuah perselisihan yang terjadi dalam sengketa tanah. Konflik agraria di kabupaten Mesuji terjadi sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1940 pemerintah kolonial menunjuk kawasan register 45 menjadi kawasan Hutan Tanam Industri (HTI) dan kelompok hutan yang ada di dalamnya terdapat masyarakat adat dinyatakan menjadi hutan larangan Sungai Buaya.

Pengukuran tapal batas tersebut diikuti dengan kegiatan penggusuran wilayah kawasan hutan register 45 dimana dalam proses penggusuran tersebut melibatkan tim tata batas tingkat II Lampung Utara. Hal ini memberikan dampak dan permasalahan terkait batasan kawasan HTI register 45 dimana dalam perluasan kawasan tersebut terdapat lahan masyarakat adat Talang Batu seluas 7000 Ha dan lahan seluas 2.600 Ha milik masyarakat adat Talang Batin.

Masyarakat adat tersebut merupakan masyarakat yang sudah ada dan mendiami kawasan hutan sejak tahun 1917-1918, masyarakat yang merasa lahan mereka diklaim oleh pihak perusahaan melalui SK yang dikeluarkan Menhut tidak terima dan masyarakat melakukan tuntutan kepada pemerintah untuk pengembalian lahan yang di klaim oleh perusahaan perkebunan.

Pemerintah menerima tuntutan masyarakat mengenai pengembalian lahan, tetapi tidak memenuhi tuntutan dari masyarakat, pemerintah hanya mengabulkan 2.300 Ha dari tuntutan pengembalian seluruh lahan yang di klaim oleh perushaan (ridho, 2016).

Konflik agraria mulai muncul ketika kedua masyarakat adat tersebut mengklaim lahan yang di garap dan di kelola perusahaan perkebunanan tersebut merupakan lahan milik masyarakat adat.

Perampasan lahan oleh pemerintah dan perusahaan perkebunan tersebut membuat masyarakat yang menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, terusir dari tempat tinggalnya. Padahal, bagi mereka tanah adalah syarat keberlanjutan kehidupan. Karena hal tersebut masyarakat kembali menuntut pengembalian tanah adat pada masa pasca reformasi 1998 (Astuti, n.d.).

Akan tetapi penuntutan kembali hak-hak atas tanah oleh masyarakat adat ini direspon tindakan represif atau penolakan.

Ironisnya perusahaan dan pemerintah menuduh masyarakat desa tersebut sebagai perambah hutan. Gubernur Lampung melayangkan surat No. 522/1240/01/2004 mengenai klaim lahan kawasan hutan register 45 sebagai kawasan hutan larangan milik pemerintah pada 29 Juli 2004 silam.

Pemerintah menganggap bahwa sebagian kawasan hutan produksi Sungai Buaya merupakan lahan pemerintah. Kemudian pada bulan Maret tahun 2010 desa Talang Batu di gusur oleh Pasukan Pengaman Masyarakat (PAM) Swakarsa perusahaan bersama dengan Brimob.

Rumah-rumah masyarakat di robohkan dengan alat-alat berat. pada mulanya semua berjalan lancar namu pada penggusuran di bulan berikutnya yaitu bulan November 2010 terjadi kericuhan 3 dimana Tim Gabungan Perlindungan Hutan Provinsi Lampung terlibat baku hantam oleh masyarakat sekitar hingga menelan korban jiwa (Mahmudi, 2014).

Permasalahan di Mesuji semakin rumit ketika terbentuk perkampungan baru yang disebut perkampungan moro-moro di area kawasan HTI register 45. Pada tahun 1996-1997 para pendatang mendatangi kawasan tersebut dan mulai menebangi tanaman sengon dan tanaman hutan industry lainnya hingga kawasan tersebut gundul.

Kemudain di tahun 1999 masyarakat semakin banyak berdatangan ke kawasan tersebut dan mulai mendirikan bangunan-bangunan 4 yang berasal dari  berbagai daerah. Kemudain tanah di daerah tersebut di kapling-kapling dan di bagi sesame mereka (Rasyidi, 2017).

Konflik agararia khsusnya di Mesuji sendiri tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan PT Silva saja akan tetapi pada kisaran tahun 2010 dan 2011 Mesuji sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja mengingat terjadi konflik perebutan tanah dibeberapa titik dalam satu kawasan dan melibatkan pihak lain seperti kasus PT Barat Selatan Makmur Investindo dengan masyarakat Kangunan Dalam, Sri Tanjung, dan Nipah Kuning.

Konflik tersebut tidak jauh berbeda dengan konflik yang terjadi antara PT Silva dengan masyarakat desa Talang Batu, Pelita Jaya, dan Moro moro yang membuat situasi di Mesuji pada saat itu menjadi bersitegang dengan adanya konflik Vertikal perebutan lahan (Mukmin, 2016).

Konflik yang telah berlangsung lama hingga belasan tahun tersebut telah menimbulkan berbagai dampak seperti halnya kekerasan, penggususran dan pengabaian hak-hak konstitusional warga Negara terutama bagi masyarakat Desa Moro-moro yang merupakan entitas masyarakat yang mengalami pengabaian hak-hak konstitusionalnya, yang pada akhirnya berdampak signifikan bagi kehidupan mereka.

Disisi lain, ratusan ribu penduduk Mesuji yang lain, yang terletak di ujung-ujung sungai Mesuji dan anak-anak sungainya berkutat memperbaiki keadaan perekonomiannya dengan menjadi petani dan pekebun.

Puluhan desa yang yang terletak di kecamatan Mesuji, Rawa Jitu Utara, Tanjung Raya, dan Mesuji Timur bisa dianggap sebagai daerah daerah terpencil di Kabupaten Mesuji. Mereka berjuang dengan minimnya akses transportasi darat yang sangat sulit. Dikarekan lahan rawa gambut, jalan yang dibangun pemerintah sangat sulit bisa bertahan lama.

Sedangkan komoditas yang mereka hasilkan harus dijual ketempat lain yang akan berdampak pada turunnya harga. Bahkan beberpa komoditas yang mudah rusak seperti padi , harus segera sampai ketempat pengeringan di hari yang sama untuk mencegah penurunan kualitas yang berdampak pada turunnya harga dengan drastis.

Yang sekali lagi akan sangat sulit dilakukan karena jalanan yang rusak. Multiplier effect dari jalan yang rusak ini juga mengakibatkan harga faktor produksi seperti bahan bakar, bibit, pupuk dan obat obatan menjadi lebih mahal, sekali lagi petani menjadi pihak yang paling dikorbankan.

Kedua gambaran diatas , baik dari sisi konflik agraria dan juga keadaan sosial ekonomi petani di Kabuaten Mesuji menunjukkan kompleksitas yang luar biasa sulit untuk diurai. Terkadang menyelesaikan suatu masalah akan menyebabkan permasalahan di sudut yang lain.

Penyelesaian konflik seprti ini harus didekati dengan pendekatan transdisiplin yang holistic dan melibatkan seluruh aktor dan faktor dan melibatkan local wisdom yang ada, juga pranata adat yang telah terbentuk ratusan tahun sebelumnya. Semoga kedamaian dan pertumbuhan ekonomi di lahan rawa gambut Mesuji bisa terwujud. Amin.. (*)