• Senin, 23 Desember 2024

Kenaikan Harga BBM Dinilai Menambah Beban Masyarakat dan Turunkan Aktivitas Ekonomi

Rabu, 31 Agustus 2022 - 20.21 WIB
349

Pengamat Ekonomi Universitas Lampung (Unila), Usep Syaifuddin. Foto: Dok

Sri

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pemerintah berencana akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya BBM jenis Pertalite dan Solar Subsidi. Informasi yang beredar, harga Pertalite akan naik menjadi Rp10.000 per liter dari sebelumnya Rp7.650 per liter. Dan harga solar akan naik menjadi Rp7.200 per liter dari sebelumnya Rp5.150 per liter. 

Pengamat Ekonomi Universitas Lampung (Unila), Usep Syaifuddin menilai, kenaikan harga BBM subsidi untuk saat ini dirasa belum tepat.

"Kebijakan yang beresiko, karena akan menambah beban masyarakat khususnya masyarakat berpenghasilan rendah," ujar Syaifuddin, saat dikonfirmasi, Rabu (31/8/2022).

Selanjutnya kata dia, semua sama-sama tahu bahwa BBM ini adalah komoditas yang punya dampak pengganda. Hal itu jelasnya, jika harga BBM naik akan banyak harga-harga komoditas lain yang akan naik, sehingga akan memicu inflasi.

"Dampak yang paling utama tentu daya beli masyarakat akan turun. Itu satu keniscayaan," katanya.

Menurutnya, jika pemerintah beralasan karena BBM sudah terlalu berat itu bisa dipahami. Akan tetapi, apakah menaikkan harga BBM bersubsidi itu memang sudah solusi yang tepat dan tidak ada jalan alternatif lain.

"Ditengah belum pulihnya ekonomi masyarakat khususnya kelas berpenghasilan rendah akibat dampak pandemi covid-19 selama 2 tahun lebih," ungkapnya.

Syaifuddin berpendapat, sebetulnya ada kesan yang bahasanya pencitraan. Karena terangnya, ketika BBM subsidi dinaikkan hal yang sama juga beban rakyat dinaikkan, lalu dikasih bantuan tunai untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

"Beban BBM subsidinya berkurang karena harga dinaikan tapi uangnya ini diberikan dalam bentuk bantuan langsung tunai. Terus ngapain, ini kan cuman mindahi cost aja, beban APBD ini kan gak berkurang. Sementara ini menjadi pemicu kegaduhan di masyarakat karena kenaikan BBM seperti ini," tegasnya.

Ia pun menilai, membengkaknya subsidi BBM ini memang karena tidak tepatnya sasaran yang arti lainnya juga salah.

"Contohnya LCDC mobil murah itu kan negara gak dapet apa-apa baik dari pajak kecil yang masuk. Dulu, konsepnya LCDC itu tidak boleh mengkonsumsi BBM subsidi, tapi kenyataannya enggak dilaksanakan akhirnya populasi LCDC meningkat lagi mengonsumsi BBM subsidi. Sehingga beban APBN tambah berat," ungkap akademisi Unila itu.

Hal senada juga disampaikan, Pengamat Ekonomi Unila Asrian Hendi Caya, mengatakan pertalite dan solar merupakan kebutuhan masyarakat, maka kenaikan kedua BBM tersebut akan berdampak pada mobilitas orang dan barang.

"Pada ujungnya berdampak pada harga-harga lainnya. Kenaikan harga akan berdampak pada daya beli masyarakat, yang selanjutnya menurunkan aktivitas ekonomi," katanya.

Asrian mengaku, ekonomi yang baru saja mau mulai pulih akibat pandemi dengan pelonggaran aktivitas masyarakat. Namun saat ini menghadapi tantangan karena kenaikan biaya akibat naiknya harga BBM.

"BBM merupakan komoditas strategis karena dampaknya yang luas pada aktivis sosial dan ekonomi. Artinya dorongan untuk percepatan pemulihan akan mendapat tantangan dengan beban ekonomi akibat kenaikan BBM. Begitu juga dengan semangat bangkit lebih kuat akan terkendala dengan menurunnya aktivis ekonomi karena beban biaya akibat kenaikan BBM," tandasnya. (*)