Menapaki Upaya Mengembalikan Kejayaan Lada Lampung
Kupastuntas.co, Bandar
Lampung - Provinsi Lampung terancam kehilangan ikon tanah lada seiring dengan
produktivitas lada yang terus menurun setiap tahunnya. Kondisi semakin
diperparah dengan harga lada yang kian terpuruk, dan banyaknya pohon lada
terserang penyakit busuk pangkal batang.
Berdasarkan data
dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, produksi lada di
Provinsi Lampung terus mengalami penurunan selama tiga tahun terakhir. Pada
tahun 2019 produksi lada di Lampung sebanyak 14.730 ton. Pada tahun 2020
produksi lada menurun menjadi 14.718 ton. Dan di tahun 2021 produksi lada
menurun lagi menjadi 14.698 ton.
Data yang sama juga
tercatat pada Dinas Perkebunan Provinsi Lampung. Produksi lada di Lampung pada
tahun 2020 sebanyak 15.589 ton dengan luas tanam mencapai 45.778 hektar. Pada
2021 produksi lada di Lampung menurun menjadi 15.489 ton dengan luas tanam
tetap sama yakni 45.778 hektar.
Sejumlah petani di
Desa Gunung Sari, Kecamatan Ulubelu, Kabupaten Tanggamus mengeluhkan penurunan
harga lada yang terus terjadi setiap musim panen.
Rata-rata petani di
Kecamatan Ulubelu menanam lada atau King of Spice menggunakan sistem tumpang
sari di sela-sela tanaman kopi. Mustofa (31), petani di Ulubelu mengatakan,
saat ini harga lada hitam berkisar Rp50 ribu dan lada putih Rp60 ribu per
kilogram.
"Tahun lalu
harga lada mencapai Rp80.000 per kilogram bahkan pernah mencapai Rp100.000 per
kilogram. Saat ini menjelang panen justru harganya malah turun. Perkiraan panen
nanti di bulan September," kata Mustofa, Senin (15/8).
Mustofa
mengungkapkan, produktivitas lada di Kabupaten Tanggamus tahun ini diprediksi
akan mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
"Tahun ini
buah lada jelek tidak seperti tahun lalu. Tahun lalu saya bisa panen kurang
lebih dapat 50 kilogram. Untuk tahun ini paling cuma dapat 30 kilogram saja.
Salah satunya faktornya karena beberapa bulan kemarin curah hujan di Tanggamus
cukup tinggi," ujar Mustofa.
Petani lada
lainnya, Sarwono (40), menuturkan tanaman ladanya saat ini sedang diserang
penyakit busuk pangkal batang yang mengakibatkan hasil panen lada ikut menurun.
"Karena
beberapa bulan kemarin di sini hujan terus. Jadi habis kena hujan daun tanaman
lada jadi kuning, layu terus nggak lama kemudian mati. Kayaknya tahun ini
produksi bisa turun sampai 30 an persen," kata Sarwono.
Sarwono
mengungkapkan, ia menanam lada menggunakan sistem tumpang sari dengan tanaman
kopi. Dari lahan kopi seluas satu hektar ada sekitar 30 persen yang
ditanami pohon lada.
"Lada inikan
ditanamnya harus di lahan yang datar biar saat panen nggak sulit. Sementara di
Ulubelu ini kebunnya di dataran tinggi jadi tanaman ladanya paling cuma 30
persen. Itu ladanya ditanam di tanjar," ungkapnya.
Ia berharap kepada
pemerintah daerah dapat memberikan edukasi serta bantuan bibit lada ke petani
untuk membantu peningkatan produksi.
"Disini tidak
pernah ada penyuluhan dan bantuan bibit. Jadi kalau kita mau nanam baru kita
cuma memanfaatkan solor dari lada yang ada. Itu juga tidak tahu apakah
varietasnya bagus atau tidak," imbuhnya.
Asisten II Bidang
Perekonomian dan Pembangunan Pemprov Lampung, Kusnardi, mengatakan banyak
tanaman lada diserang penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh jamur
Patogen P. Capsici. Penyakit ini ikut mempengaruhi penurunan produktivitas lada
di Provinsi Lampung.
"Kendalanya saat ini adalah penyakit busuk pangkal, maka kita giatkan teknik sambung. Dibawahnya bisa lada liar atau melada kemudian di atas baru lada dengan tingkat produksi tinggi seperti natar 1 atau natar 2 atau varietas lainnya," kata Kusnardi.
Menurutnya, teknik
sambung tersebut memiliki beberapa kelebihan seperti pohon akan lebih cepat
berubah, hasil produksi lebih tinggi, proses pembuatan lebih cepat serta
menghasilkan pohon lada yang perdu yang tidak menjalar dan tidak memerlukan
tiang panjat.
"Dengan
penempatan teknologi lada sambung tersebut harapannya untuk kedepan ada hasil
yang lebih baik lagi dalam peningkatan produksi. Sebab lada ini berumur tiga
tahun baru bisa menghasilkan buah," terangnya.
Kusnardi
menerangkan, produksi lada terbanyak yang bagus dan masih teratur ada di
Lampung Timur, Lampung Utara, Way Kanan dan sekarang tengah dikembangkan di
Tanggamus.
Dinas Perindustrian
dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Lampung mencatat, pada tahun 2021 ekspor
lada hitam dan putih asal Lampung mencapai 11.848 ton atau senilai 41.756.825
Dolar Amerika Serikat (USD) atau Rp584.595.550.000.
Kepala Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung, Elvira Umihanni, mengungkapkan
untuk lada hitam telah di ekspor ke 27 negara, sementara untuk lada putih telah
di ekspor ke 16 negara.
"Pada tahun
2021 kemarin untuk lada hitam jumlah yang telah berhasil di ekspor seberat
9.702 ton dengan nilai 31.462.518 USD. Sementara untuk lada putih seberat 2.146
ton dengan nilai 10.294.307 USD," terang Elvira.
Lada asal Lampung
di ekspor ke negara Australia, Belgia, Canada, China, Finlandia, Prancis,
Jerman, Yunani, Hongkong, India, Italy, Jepang, Malaysia, Nepal, dan Belanda.
Selanjutnya negara
Pakistan, Polandia, Rusia, Saudi Arabia, Singapura, Spanyol, Taiwan, Thailand,
Turki, United Kingdom, Amerika Serikat dan Vietnam.
"Untuk negara
yang terbanyak menerima ekspor lada ada China seberat 2.018 ton, Vietnam
seberat 1.547 ton, kemudian Amerika Serikat 1.389 ton dan India seberat 1.018
ton," bebernya.
Sementara untuk
negara penerima ekspor lada putih ialah Australia, China, Perancis, Jerman,
Yunani, Hongkong, India, Italy, Jepang, Korea, Belanda, Singapura, Taiwan,
United Kingdom, Amerika Serikat dan Vietnam.
"Untuk negara
terbanyak yang menerima ialah Amerika Serikat seberat 936 ton, kemudian China
275 ton, Prancis 270 ton kemudian ada Vietnam 290 ton," kata dia.
Kamar Dagang dan
Industri Indonesia (Kadin) Lampung meminta pemerintah daerah dapat memberikan
pembinaan kepada para petani lada di Lampung.
Wakil Ketua Kadin
Provinsi Lampung, Yuria Putra Tubarad, mengungkapkan langkah tersebut dilakukan
sebagai salah satu upaya untuk menjaga agar produktivitas lada tidak mengalami
penurunan.
"Produksi lada
menurun ini karena petani sedih harga turun. Maka pemerintah harus menjaga
stabilitas harga. Pemberian pembinaan pasca panen kepada petani juga penting
dilakukan," kata Yuria, Senin (15/8).
Menurutnya, saat
ini para petani di Provinsi Lampung menjual lada kepada tengkulak sehingga
harganya rendah. "Sekarang kan mereka hanya panen dan jual ke tengkulak
dengan harga rendah. Mereka harus diberikan pembinaan agar bisa mengolah lada
putih menjadi bubuk sehingga tidak hanya berorientasi kepada konsumen luar
negeri tapi juga dalam negeri," ujarnya.
Anggota Komisi II
DPRD Provinsi Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, juga meminta pemerintah daerah
untuk memberikan bantuan bibit lada dengan varietas unggul kepada para petani.
"Kondisi di
lapangan saat ini kan para petani terkendala oleh penyakit busuk pangkal
batang. Maka harus ada bantuan pemberian bibit dengan varietas unggul agar para
petani ini tidak putus asa," terangnya.
Menurutnya, langkah tersebut penting dilakukan guna meningkatkan produktivitas lada lantaran Lampung dikenal sebagai penghasil lada hitam atau black pepper terbesar sejak zaman penjajahan. "Maka perlu melakukan pembinaan lebih serius ke petani lada dan perlu program khusus dari pemda karena memang lada adalah ciri khas Lampung," kata dia. (*)
Berita ini telah terbit di SKH Kupas Tuntas edisi Selasa 16 Agustus 2022, dengan judul "Lampung Terancam Kehilangan Ikon Tanah Lada"
Berita Lainnya
-
Pengamat: Peningkatan Produktivitas Jadi Tantangan Swasembada Pangan di Lampung
Kamis, 06 Februari 2025 -
24 SMK di Lampung Diusulkan Jadi BLUD, Berikut Rincianya
Kamis, 06 Februari 2025 -
Hingga Januari, Bulog Lampung Sudah Serap 89.50 Ton Gabah
Kamis, 06 Februari 2025 -
Dewan Minta Pemkot Bandar Lampung Invetarisir Pohon Tua Rawan Tumbang
Kamis, 06 Februari 2025