• Kamis, 21 November 2024

Berkaca pada Permasalahan Covid-19 dan Proses Demokrasi di ASEAN

Rabu, 27 Juli 2022 - 19.11 WIB
201

M. Satria Nurjihad dan Lucke Kharimah Pamungkas Saputro, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prodi Hubungan Internasional. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - The Association of South East Asian Nations atau lebih dikenal dengan ASEAN merupakan organisasi kawasan Asia Tenggara yang bergerak di bidang ekonomi, sosial dan keamanan regional.

Berdiri pada tahun 1967 dan beranggotakan 10 negara di kawasan Asia Tenggara, kini ASEAN telah menjadi organisasi dengan image yang tak terlepaskan ketika berbicara mengenai Asia Tenggara.

Untuk masyarakat awam, ASEAN mungkin hanya dikenal berkat kebijakan kebebasan bergerak antar Negara anggota ASEAN, tanpa perlu menunjukkan visa kunjungan dengan batas maksimal 30 hari.

Selain itu, juga tidak banyak yang tahu negara-negara mana sajakah di kawasan Asia Tenggara yang ada di dalam ASEAN.

Namun, bagi para akademisi, pengamat dan pemangku kebijakan politik, keberadaan ASEAN tidak hanya sebatas perluasan kebebasan berpariwisata. Dari segi kerjasama kesehatan yang menjadi isu utama selama pandemi Covid-19, hingga isu militer sengeketa Laut China Selatan dan kerjasama antar negara merupakan isu-isu dari sekian banyak topik yang dibicarakan di tingkat ASEAN.

Namun, pertanyaan terbesar setelah terbentuk selama 55 tahun, apakah ASEAN mampu dalam mempertahankan keadaan status-quo terlebih setelah pandemi Covid-19?

Pertanyaan di atas muncul semata-mata bukan karena kejadian miiliter atau keadaan politik di negara anggota yang terjadi satu-dua kali saja. Namun, karena isu keamanan yang terjadi secara internal di negara-negara anggota, juga dapat mengguncang proses demokrasi yang ada. Terlebih selama pandemi Covid-19.

Kita sendiri dapat berkaca pada kejadian internal Indonesia. Sepanjang tahun 2020 saja, terdapat banyak isu-isu yang menggelitik berbagai kalangan di masyarakat yang membuat mereka melakukan aksi demo.

Secara garis besar, demo-demo tersebut dapat dikumpulkan menjadi tiga pembahasan, diantaranya :

  1. Permasalahan Omnibus Law
  2. Kebijakan lock-down
  3. Ketidakpuasan penanganan akan pemerintah terhadap kasus Covid-19

Tidak hanya di Indonesia, fenomena ini juga terjadi di berbagai negara anggota ASEAN lainnya seperti Thailand, Myanmar dan Malaysia.

Selain alasan nomor 1, alasan demonstrasi di negara-negara ASEAN lainnya kurang lebih sama dengan alasan nomor 2 dan 3. Yang memprihatinkan adalah respon dari pemerintah dan penegak hukum pada saat kejadian tersebut.

Banyak sekali aksi demo yang digagalkan, dibubarkan secara paksa, dan para aktivis yang ditangkap hanya karena alasan 'berkelompok saat pandemi'.

Padahal, jika kita berkaca pada salah satu inti dari demokrasi itu sendiri adalah kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi.

Tidak sedikit laman berita yang juga menyudutkan aksi demo tersebut tanpa memberikan solusi atau kejelasan mengapa aksi demo digunakan sebagai sarana penyalur aspirasi mereka.

Aksi demo sebenarnya salah satu jalur dari sekian banyak opsi dalam menyalurkan pendapat dan ekspresi seseorang. Pilihan lainnya bisa berupa pembuatan karikatur, tulisan secara ilmiah, opini, atau sekedar tulisan di media sosial yang tentu tidak menyinggung unsur SARA.

Namun selain mahasiswa, kelompok buruh yang sebagian besar merupakan kalangan pekerja bisa saja tidak mengetahui opsi-opsi tersebut. Selain dibatasi oleh ketidak-tahuan, dapat juga karena faktor waktu yang tidak cukup untuk membuat opsi-opsi yang lain.

Keterbatasan akses media untuk menyalurkan karikatur atau tulisan pun turut memberikan andil. Karena terdapat kemungkinan karya-karya tersebut ditolak atau diterbitkan terlampau lama dari tempo masalah yang sedang terjadi.

Maka, karena faktor-faktor tersebutlah mereka memutuskan bahwa jalur tercepat dan terlantang yang bisa digunakan adalah melalui aksi demonstrasi. Jumlah masyarakat yang ikut biasanya mempresentasikan urgensi dari masalah yang diagkat, walaupun hal tersebut menjadi masalah selama larangan berkumpul di berlakukan selama pandemi.

Berkaca pada keadaan krisis yang telah terjadi, seharusnya ASEAN sebagai organisasi regional dapat memberikan saran kebijakan ataupun solusi terhadap masalah tersebut.

Terlepas dari prinsip 'non-intervesi' tapi penulis percaya bahwa ASEAN masih dapat membantu mendorong proses demokrasi bahkan di negara yang tidak 100 persen menganut ideologi tersebut.

"Pembentukan laman khusus pengaduan masyarakat yang berbasis smart digital. Dimana kita semua tahu akan misi ASEAN dan Indonesia sendiri dalam 5 tahun belakang ini sedang gencar mempromosikan kemajuan digital. Mengapa fokus tersebut tidak diarahkan pula kepada kemajuan proses demokrasi? Laman pengajuan pun bisa digunakan secara anonymous, sehingga mencegah adanya penangkapan secara tidak adil kepada para aktivis. Hal ini dapat meningkatkan partisipasi rakyat dalam melakukan check-and-balance yang baik dan aman," saran M. Satria Nurjihad.

"Selain siaran pers mingguan mengenai keadaan Covid-19, seharusnya terdapat siaran pers khusus untuk permasalahan yang disuarakan oleh masyarakat. Dengan ini, tanpa perlu turun dan berkumpul, masyarakat dapat dengan tenang tahu bahwa aspirasi mereka akan tetap terdengar. Dengan solusi yang tepat sasaran tanpa perlu menyalahkan pihak-pihak tertentu, tentu proses demokrasi yang aman dan bebas dapat terlaksana bahkan di tengah situasi pandemi sekalipun," saran Lucke Kharimah Pamungkas Saputro. (*)