• Kamis, 25 April 2024

Mengais Asa di TPI Kotaagung, Kerasnya Kehidupan Nelayan Cari Nafkah Hingga ke Tengah Lautan

Minggu, 17 Juli 2022 - 19.19 WIB
233

Nelayan saat akan berangkat melaut. Foto: Sayuti/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Tanggamus - Pagi hari di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kotaagung, Kabupaten Tanggamus, Minggu (17/7/2022). Pagi ini mendung masih menggelayut dengan semilir angin sejuk yang lemah. Langit berawan abu, sinar matahari masih malu-malu menampakkan diri  dan rintik-rintik kecil air hujan turun bertalu-talu membasahi bumi. Udara sekitar terasa dingin menyentuh kulit. Seperti biasa, irama pagi dan detak jantung kehidupan bermula,  seperti itulah adanya siklus kehidupan. 

Nuansa dingin ini tak membuat ribuan orang di tempat pelelangan ikan (TPI) yang berada di pinggir pantai Teluk Semaka, Kelurahan Pasarmadang, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Tanggamus ini senyap. Seperti biasa, setiap hari ribuan orang seperti, nelayan, buruh angkut, cengkau atau makelar dan warga sejak subuh sibuk dengan perannya masing-masing. Ribuan warga ini menggantungkan hidupnya di TPI tersebut.

Memasuki komplek TPI, deretan sepeda motor para pengojek menyatu dengan kendaraan milik warga dan bakul ikan yang ingin melakukan transaksi, mengadu nasib, mengais rezeki, menutupi sebagian jalanan.

Bau amis khas laut yang sangat kental menusuk penciuman saat semakin memasuki komplek TPI yang juga disekitarnya berfungsi menjadi pasar ikan.

Suara petugas lelang yang menawarkan berbagai jenis ikan melalui pengeras suara , bersahut-sahutan dengan suara ratusan cengkel atau makelar atau perantara yang tengah menawarkan hasil tangkapan nelayan pagi ini.


Sementara di ujung dermaga, satu persatu perahu tandu yang bertugas membawa nelayan dan hasil tangkapan ikan merapat ke bibir dermaga. Belasan orang lelaki yang berjuang hidup dan mati sejak sore lalu hingga dini hari ini, sepertinya tidak sabaran lagi untuk menjual rezeki yang diperjuangkan saban hari.

Secepatnya salah seorang dari mereka bergerak melemparkan tali pengait kapal kayu untuk dikaitkan di tempat penambatan  Di sisi Dermaga seorang warga lalu menarik dan mengikat tali kapal.

Sejurus kemudian satu persatu keranjang atau bakul, atau oleh nelayan setempat disebut rombong yang berisi ikan, dinaikkan ke dermaga , lalu buruh angkut bergantian membawa hasil laut dengan gerobak dorong ke tempat pelelangan ikan untuk dijual atau dilelang.

Kesibukan berlanjut tawar-menawar ikan dalam rombong dan setelah kesepakatan harga lalu diangkat ke mobil, sepeda motor, atau dijual di lapak-lapak ikan di sepanjang kiri dan kanan menuju dermaga, atau dionggokkan begitu saja di tanah bercampur batu-batu kecil sekitar TPI.

Dilain pihak, puluhan bahkan ratusan perempuan dan laki-laki yang berprofesi sebagai bakul ikan ataupun penjual ikan keliling, sibuk memilih dan menawar ikan sejenis dan ukuran. Setelah dapat,  ikan langsung dimasukkan ke dalam ember atau tong-tong ukuran sedang, kemudian dibawa untuk dijual ke pasar atau berkeliling ke kampung-kampung.

Begitulah keriuhan kehidupan nelayan dari dini hari hingga siang di tempat pelelangan ikan (TPI) Kota Agung. Ribuan warga menggantungkan hidupnya di tempat pelelangan ikan tersebut, tak hanya dari Kecamatan Kota Agung, tapi juga dari Kecamatan Kotaagung Timur, Kotaagung Barat, Wonosobo, Gisting   dan wilayah lain di Tanggamus , hingga Kabupaten Pringsewu.

Juanda (53), salah seorang Pandhega atau anak buah kapal (ABK) Bagan menuturkan, kehidupan nelayan itu cukup keras sehingga harus piawai mencari sasaran dengan ngerawe atau mancing ikan sendiri di tengah kesibukan sebagai pandhega bagan. Sebab jika hanya mengandalkan dari hasil bagan, alamat periuk di rumah tidak ngebul atau tidak bisa masak.

Ia yang sudah menjalani pekerjaan sebagai nelayan secara turun-temurun, karena tidak memiliki keahlian lain mengatakan, rezeki nelayan ibarat pepatah rezeki Harimau.

"Di laut mah rezeki Maung (Harimau), kalau lagi along (banyak tangkapan ikan), apa aja istilahnya kebeli, tetapi saat terang bulan atau laut rajuh, angin Tenggara, itu saat paceklik, dan apa yang ada di rumah dijual untuk makan," kata dia dengan logat Sunda kental. 

Ketika para nelayan berjuang keras mencari nafkah di tengah laut , istri-istri mereka menunggu hasil tangkapan sambil berbenah rumah, memasak seadanya serta menjual ikan hasil tangkapan, bahkan ada juga yang bekerja di warung-warung makan di rumah tetangga, atau upahan berjualan kue keliling.

Sungguh, kehidupan nelayan Teluk Semangka ini masih dalam kondisi menyedihkan ibarat itik berenang di danau mati kehausan dan ibarat ayam mati kelaparan di lumbung padi. Kadang hasil penjualan ikan hanya cukup untuk makan harian keluarga, sehingga tidak sampai menjangkau kebutuhan lainnya, bahkan kadang tidak membawa hasil. Belum lagi beban berat lain yang harus mereka pikul atau mereka tanggung dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Meski sepanjang hari mencari ikan di tengah laut, kadang hasil yang didapat tidak seberapa. Beberapa kendala tentunya tidak membuat mereka berkecil hati, mereka tetap semangat berapapun ikan yang didapat. Mereka harus kembali ke rumah, ikan-ikan hasil tangkapan dijual di TPI atau di pasar ikan di lokasi TPI, yang pembelinya tak lain yaitu pengunjung TPI, pemilik rumah makan dan masyarakat.

Sementara dielus hembusan angin semilir dari pantai  para pengunjung tinggal melahap ikan sesuai olahan pesanan, itulah kenikmatan di tengah denyut nadi kehidupan nelayan Teluk Semaka.  Panorama Teluk Semaka yang indah ternyata tidak sebagus kehidupan nelayan di sana. Mereka hanya bisa pasrah kepada Sang Maha Kuasa yang memiliki alam beserta isinya.

Seharusnya disinilah peran pemerintah yang harus lebih peduli akan kehidupan para nelayan, yang didominasi buruh nelayan, agar lebih baik, lebih maju. "Pemerintah melalui Dinas Perikanan harus lebih memperhatikan kehidupan para nelayan Teluk Semaka, yang tetap miskin," kata Puji, warga Kotaagung.

Herman, seorang nelayan pancing mengatakan, sudah seharusnya nelayan mendapat bantuan. Dan bantuan itu bukan hanya soal dana, tetapi lebih baik dengan fasilitas atau perlengkapan untuk nelayan. Misalkan saja bantuan mesin, jaring dan alat tangkap ikan.

Selama ini juga bantuan dari pemerintah tidak tepat sasaran, lantaran lebih banyak nelayan yang tidak menikmati bantuan tersebut.

 "Selama ini bantuan banyak tidak tepat sasaran, karena hanya juragan, nelayan berdasi atau nelayan pengusaha perikanan, pemilik kapal yang menikmati bantuan itu," ujar Herman. (*)