• Rabu, 24 April 2024

Fenomena Kesurupan dalam Kesenian Tradisional Kuda Lumping di Tanggamus

Rabu, 11 Mei 2022 - 19.55 WIB
2.4k

Kuda Lumping Sanggar Soponyono Pekon Talang Rejo, Kecamatan Kotaagung Timur, Kabupaten Tanggamus, Rabu (11/5/2022). Foto: Sayuti/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Tanggamus - Enam orang pemuda menari diiringi alat musik gamelan di Jalan Wartawan, Pekon Talang Rejo, Kecamatan Kotaagung Timur, Kabupaten Tanggamus, Rabu (11/5/2022) sore.

Mereka tengah mementaskan tarian kuda lumping dari Paguyuban Soponyono Pekon Talang Rejo Kecamatan Kotaagung Timur, kabupaten Tanggamus.

Dengan menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang dianyam dan dipotong hingga menyerupai kuda, dan dihiasi rambut tiruan dari tali plastik. Para pemuda itu menari bagai sedang menunggangi kuda.

Tabuhan gamelan serta aroma dupa menambah suasana sore itu semakin mistis. Wangi dupa dan kemenyan yang menyebar ditambah rapalan mantra yang terdengar merupakan momen krusial bagi mereka, sebab itulah detik-detik masuknya makhluk halus ke tubuh mereka.

Diiringi suara lecutan cambuk dan gamelan, tubuh para pemuda yang dikuasai makhluk yang sengaja dipanggil itu bergerak liar, meski mata mereka terpejam.

Keenam pemuda itu seakan berada di bawah alam sadarnya. Mereka menari dan berlari kesana-kemari secara liar.

Agar tetap terkontrol, mereka wajib menghirup minyak wangi melati dan serimpi, sebab minyak itu dipercaya sangat disukai oleh makhluk halus.

Ekspresi mereka dalam sekejap berubah. Mata melotot, lidah pun menjulur. Perilaku mereka pun berbeda-beda sesuai makhluk halus  apa yang merasuki tubuh mereka.

Ada yang bertingkah laku seperti monyet, ada yang menari dan bersolek bak seorang perawan, ada yang berjoget dan menari, ada yang diam saja, ada yang berperilaku seperti babi bahkan anjing, dan lain sebagainya.

Mereka yang tengah kesurupan itu pun dibiarkan begitu saja, karena jika orang awam yang menolong mereka justru akan mengalami hal yang sama. Nantinya pawang dan pemain kuda lumping akan mendatangi satu persatu mereka yang kesurupan lalu melepaskan dari arwah yang merasukinya.

Teriakan, suitan dari ratusan penonton serta tangisan anak-anak yang ketakutan membuat gerakan mereka semakin liar dan tak terkendali. Berlari kesana kemari, ada yang menuju tempat sesajen lalu makan kembang, bara api, kemenyan, buah kelapa, pisang dan sesajen lainnya serta menghirup asap dupa bercampur kemenyan. 

Tak lama kemudian sejumlah penonton yang sedang menyaksikan pertunjukan itu mendadak satu-persatu ikut kesurupan, dan bertingkah laku aneh. suasana pun berubah menjadi riuh dan tegang.

Sejurus kemudian ada penari yang tiba-tiba berlari ke arah penonton yang bersorak-sorak. Ekspresi wajah penari itu pun tampak beringas mata mereka pun berubah menjadi merah.

Teriakan para nayaga (pemain gamelan) dan pemain kuda lumping agar penonton menjauh dari lokasi tidak dihiraukan. Hal itu membuat si pemain semakin beringas.

Untung saja pemuda bersama puluh penonton lainnya yang ketakutan langsung lari tunggang langgang, bahkan ada yang menabrak pagar, dan tanaman. Entah apa jadinya bila terlambat berlari. Penari pun dapat dikontrol sang pawang, lalu kembali menari.

Aksi kejar-kejaran itupun terus terjadi beberapa kali, bahkan terjadi adu jotos antara pemain dengan para penonton sehingga sempat beberapa saat pementasan kuda lumping itu dihentikan untuk sementara.

Sementara para pawang dibantu para pengawal berupaya menyadarkan para pemain yang kerasukan, dengan cara menyatukan dua reflika kuda.

Posisi kuda harus berdekatan dalam posisi saling membelakangi titik bila sudah menyatu, penari dapat sadar dengan sendirinya maupun dengan bantuan pengawal.

"Saat kerasukan, pemain tidak merasakan apa-apa meski melakukan hal-hal yang berbahaya sekalipun. Seperti makan beling makan bara api dan lain sebagainya," kata Sukratsono (70), salah seorang sesepuh dan pawang.

Pria yang biasa disapa Mbah Togog ini menuturkan, tidak ada ada efek samping yang dialami pemain setelah pertunjukan seni kuda lumping atau jaranan.

Sebab, pemain harus cukup umur di mana yang boleh berinteraksi dengan makhluk halus minimal berusia 17 tahun. Itupun dengan ritual ritual yang mereka jalani sebelum pertunjukan berlangsung.

"Paling yang mereka rasakan capek yang amat sangat. Keringat keluar banyak seperti habis mandi. Bahkan saking capeknya kadang sampai terasa mual dan muntah," ujar Togog.

Selain itu, ada beberapa pemain yang linglung saat pertama kali sadar. Mereka bingung sedang berada di mana, namun itu tak lama. Yang paling sering terjadi,  sangking capeknya, pemain tidak bisa bangun, bahkan mereka harus dibopong ke belakang panggung.

Menurut Mbah Togog, tari kuda lumping atau kuda kepang atau Jaranan atau jathilan bermakna sebagai lambang kekuatan , kegagahan, kegigihan serta aspek-aspek militer lainnya dalam peperangan.

Dimana kuda adalah simbol kekuatan fisik. Hal ini terlihat dari gerakan- gerakan ritmis, dinamis dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, seperti layaknya seekor kuda di tengah medan peperangan.

"Tari seni kuda lumping ini  sesungguhnya mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengkubuwono 1 (Raja Mataram) untuk menghadapi pasukan Belanda," terang Togog. (*)


Video KUPAS TV : Perjuangan Atlet Lampung di Sea Games | Gadis Blasteran Amerika-Indonesia Sorot Kebijakan Pemerintah