• Sabtu, 20 April 2024

Menjaga Hutan Menjaga Dunia, Oleh Septa Riadi S. TP, MM, M. Si

Minggu, 05 September 2021 - 22.12 WIB
408

Staf Pengajar Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai, yang juga Alumni Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB university, Septa Riadi S. TP, MM, M. Si. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Sumber daya alam seperti air, udara, minyak, ikan, hutan dan lain-lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia.

Hilang atau berkurangnya ketersediaan sumber daya alam tersebut akan berdampak sangat besar bagi kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi.

Tanpa udara misalnya, manusia tidak akan bisa hidup. Demikian pula sumber daya yang lain seperti hutan, ikan dan lain sebagainya, bukan sumber daya yang tidak saja mencukupi kebutuhan hidup manusia, namun juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kesejahteraan suatu bangsa (wealth of nations).

Menurut salah satu guru besar ekonomi sumberdaya lingkungan IPB, Prof Akhmad Fauzi, pengelolaan sumber daya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia.

Tentu saja, sumberdaya alam yang dimiliki yang terbesar adalah salah satunya hutan. Indonesia yang berada di wilayah tropis, umumnya diketahui memiliki keanekaragaman yang tinggi pada aspek flora dan fauna.

Berbeda dengan negara negara yang berada di wilayah non tropis. Hutan menurut UU no 41 tahun 1999 didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem, berupa hamparan lahan sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungan, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Dalam sudut pandang ekonomi kelembagaan, hutan dianggap sebagai sumber daya milik bersama (Commons Pool resources), sehingga semua pihak dapat mengakses dan memanfaatkannya secara sembrono.

Dalam teori ekonomi kelembagaan, untuk sumberdaya alam yang bersifat Commons pool resources, terjadi persaingan (rivalry) dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut terkait dengan sifat oportunis manusia.

Hal ini tentu akan mempengaruhi kerusakan hutan. Seperti hutan, sangatlah vital bagi dunia. Hutan adalah paru-paru dunia yang membersihkan karbon menjadi oksigen yang dihirup manusia. Selain itu, hutan juga menjaga suhu bumi agar tetap layak untuk dihuni.

Namun, fakta menunjukkan bahwa sejak 1980, suhu bumi terus naik 1°C setiap tahunnya. Gletser es di sungai dan lautan telah mencair sebelum waktunya, musim panas berlangsung lebih panjang. Perubahan periode pertumbuhan hewan dan tumbuhan menjadi anomali dan telah mengancam spesies tumbuhan dan hewan menjadi punah.

Laju deforestasi di Bumi antara 2014 dan 2016 mencapai 20 persen lebih cepat ketimbang dekade silam. Artinya dunia kehilangan tutupan hutan hampir seluas pulau Jawa setiap tahunnya. Temuan ini didapat antara lain melalui analisa citra satelit.

Meski upaya menghentikan deforestasi yang telah berlangsung selama beberapa dekade, sejak tahun 2000 hampir 10 persen hutan alami mengalami fragmentasi, degradasi atau ditebang. Laju kerusakan hutan pada 17 tahun pertama abad ini mencapai 200 kilometer persegi setiap hari.

"Degradasi hutan alami mewakili tragedi global, dimana kita secara sistematis menghancurkan pondasi penting untuk stabilitas iklim," kata Frances Seymour, peneliti World Research Institute (WRI).

Dengan kerusakan hutan yang begitu masif tersebut dan dalam jangka waktu yang panjang, bisa saja dunia menjadi kiamat. Sekarang semua kembali kepada manusia sendiri. Apakah akan menjadi salah satu bangsa yang menyebabkan kiamat bagi dunia, atau merupakan bangsa yang melakukan perubahan dengan menjaga hutan dan bisa membawa kesejahteraan dan keselamatan bagi anak cucu. Sekali lagi pilihan ada di tangan manusia itu sendiri. (*)


Video KUPAS TV : BENDUNGAN WAY SEKAMPUNG DIRESMIKAN, PERTANIAN LAMPUNG DITARGET NAIK