• Senin, 03 Februari 2025

Risiko Penyadap Nira Kelapa, dari Cacat Permanen Hingga Kematian

Sabtu, 12 Juni 2021 - 15.48 WIB
472

Suwandi, penyadap nira kelapa saat sedang menuangkan bahan gula merah yang masih mendidih di atas mangkuk. Foto: Agus/Kupastuntas.co

Lampung Timur, Kupastuntas.co - Seorang perempuan usia 58 tahun dengan rambut tampak memutih, terlihat duduk memandang hening di atas bale yang diletakan pada teras rumah kayu (papan) berlantai tanah miliknya.

Rumah dengan ukuran 5x6 meter itu menjadi istana perempuan sepuh yang diketahui bernama Eni dan suami nya bernama Suwandi, di Desa Sumur Bandung, Kecamatan Way Jepara.

Bibir Eni berucap dengan nada rendah. "Suami saya sudah tidak bisa ngapa-ngapa lagi. Jalan pun hanya dengan cara ngesot, karena paha sebelah kanan patah setelah jatuh dari pohon kelapa, tiga bulan lalu," keluhnya, saat ditemui kupastuntas.co, Sabtu (12/6/2021).

Di ruang tamu, tampak terlihat seorang pria hanya dengan mengenakan sarung tanpa baju, duduk bersimpuh di atas lantai tanah.

Pandangan nya kosong tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun dari mulut nya. Pria tersebut bernama Suwandi, pejuang penyadap nira kelapa yang terjatuh setinggi 8 meter.

"Ya ini suami saya yang saya ceritakan tadi, jatuh dari pohon. Selain kaki kanan nya patah, kepala juga mengalami benturan. Kalau pas kepala nya kumat sering teriak-teriak sendiri, kadang ya ngamuk, seperti stres gitu," papar Nenek 58 tahun itu.


Melihat risiko penyadap nira kelapa yang cukup berat, yakni kematian dan cacat seumur hidup, seharusnya menjadi pemikiran pemerintah daerah guna mencetuskan terobosan bagi jaminan kesehatan pejuang penyadap nira, yang bergelut dengan ketinggian hanya untuk mengais rejeki dari menjual gula merah.

"Tidak ada bantuan dari pemerintah untuk berobat suami saya. Makanya saya berobat semampunya hanya dengan sangkal putung dan obat-obat biasa, gak mampu kalau mau berobat di rumah sakit besar," ungkap Eni.

Sementara itu, salah seorang penyadap nira kelapa bernama Rifa'i (45) menuangkan bahan baku gula merah yang masih mencair dengan keadaan mendidih, mangkuk plastik dengan kapasitas 9 one berjajar, mangkuk-mangkuk itu sebagai cetakan gula merah.

Rifa'i mengaku setiap hari harus memanjat 40 pohon kelapa untuk mengambil nira yang sudah berhasil diletakan dalam jerigen ukuran 4 liter siap dimasak untuk dijadikan gula merah.

"Sehari kami pasti mendapatkan 27 kilo gula merah, dari 40 pohon kelapa," ujar Rifa'i.

Saat ini harga gula merah dihargai oleh tengkulak Rp9 ribu per kilogram, dari hasil jual gula tersebut dijadikan Rifa'i untuk kebutuhan sehari-hari.

Rifa'i juga mengaku sebagian hasil jual gula merah disisihkan untuk membayar sewa pohon kelapa nya.

"Pohon kelapa yang saya ambil nira nya punya orang lain, saya nyewa Rp100 ribu per bulan satu pohon nya," kata Rifa'i.

Rifa'i juga mengakui bekerja sebagai penyadap nira kelapa memiliki risiko besar, jika terjatuh di atas ketinggian 8 meter, jika tidak meninggal akan mengalami cacat seumur hidup. Selain itu rata-rata penyadap nira ada keterikatan modal dengan tengkulak.

"Raya-rata penderes kelapa dimodali oleh tengkulak, namun konsekuensi nya kita harus jual gula nya dengan yang memberi modal," pungkas Rifa'i, warga Desa Sumur Bandung Kecamatan Way Jepara. (*)


Video KUPAS TV : BELI SEMBAKO BAKAL KENA PAJAK SAMA PEMERINTAH!