• Selasa, 13 Mei 2025

Kasus Proyek Jalan Ir Sutami-Simpang Sribhawono, Ramai-ramai Dukung Penjarakan Engsit Cs

Senin, 07 Juni 2021 - 07.59 WIB
419

Pengamat Hukum Universitas Lampung (Unila), Eddy Rifai, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, Boyamin , Direktur LBH Bandar Lampung, Chandra Muliawan

Bandar Lampung, Kupastuntas.co - Semua pihak yang diduga terlibat dalam perkara dugaan  korupsi proyek jalan nasional Ir. Sutami-Simpang Sribhawono, Kabupaten Lampung Selatan senilai Rp141 miliar harus diseret sampai ke pengadilan. 

Polda Lampung tengah melengkapi data-data perkara dugaan korupsi proyek jalan Ir. Sutami-Simpang Sribhawono yang melibatkan komisaris PT URM Hengki Widodo alias Engsit dan empat tersangka lain termasuk dari pihak pengawas proyek Kementerian PUPR Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) XIX Bandar Lampung.

Upaya Polda Lampung membongkar perkara ini mendapat dukungan dari sejumlah pihak. Pengamat Hukum Universitas Lampung (Unila), Eddy Rifai menyesalkan putusan hakim yang membatalkan Hengki Widodo alias Engsit sebagai tersangka.

Menurut Eddy Rifai, dalam perkara tersebut Polda Lampung telah meminta Poltek Negeri Bandung untuk meneliti konstruksi dalam pembangunan jalan yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 65 miliar tersebut.

"Sudah ada pula keterangan ahli pidana dari UI yang menyatakan sudah ada unsur pidana dan Engsit dapat ditetapkan sebagai tersangka," tegas Eddy Rifai, Minggu (6/6)

Eddy Rifai menyatakan dugaan unsur melawan hukum juga sudah ada dalam kasus Engsit. "Semestinya keterangan dari Poltek Bandung itu sudah bisa menjadi bukti kerugian negara. Jangan sampai hanya karena audit BPK belum keluar menghambat proses penyidikan,” ujarnya.

Eddy membeberkan, mengacu pada UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 32 ayat 1 disebutkan bahwa yang dapat menghitung kerugian negara adalah pihak yang berwenang atau instansi yang ditunjuk.

"Instansi yang berwenang dalam UU KPK dimaksud bisa seperti BPK, BPKP, KPKN, Inspektorat Jenderal atau Inspektorat Wilayah dan auditor independen bahkan oleh hakim," papar Eddy.

Eddy mencontohkan seperti kasus randis Lampung Timur tidak ada audit kerugian negara dari BPK. Jaksa melakukan estimasi kerugian negara sekitar Rp400 juta. Hakim pun menghitung sendiri kerugian negara sebesar Rp200 juta

"Hakim, jaksa saja bisa menghitung, kalau dia yakin ada kerugian negara. Untuk audit BPK itu nanti bisa sebagai penguat bukti dan dihitungnya nanti di pengadilan," ungkap Eddy.

Eddy melanjutkan, kasus korupsi yang luar biasa harus dilakukan dengan cara luar biasa. "Korupsi ini kan luar biasa maka penegakan juga harus dengan luar biasa. Jadi kalau harus menggunakan prosedur formal juga tidak efektif," ujarnya.

Direktur LBH Bandar Lampung, Chandra Muliawan menambahkan harus ada pertanggungjawaban secara hukum terhadap kontraktor dan pihak-pihak lain yang terbukti melakukan kesalahan dalam pengerjaan proyek jalan nasional tersebut.

"Jika kemudian dalam proses penyidikan ada dugaan kerugian keuangan negara, harus dimintakan pertanggungjawaban,” kata Chandra.  Apalagi jalan nasional yang baru dikerjakan, lanjut Chandra, sudah mengalami kerusakan. Sehingga ada indikasi jalan yang dikerjakan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, Boyamin mengungkapkan jangan sampai keterlambatan audit BPK menghambat proses penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti kepolisian maupun kejaksaan.

Kalau audit BPK untuk menghitung kerugian negara terlambat terus, dikhawatirkan akan menimbulkan ketakutan dari aparat penegak hukum untuk menetapkan seorang tersangka. Dan khawatir kasus korupsinya akan expired atau kadaluarsa.

“Semestinya auditor BPK sebagai petugas pelayan administrasi negara bisa menghitung kira-kira berapa lama waktu yang diperlukan untuk menghitung kerugian negara, sehingga bisa memberikan kepastian hukum terhadap kasus yang sedang disidik,” kata Boyamin.

Ia melanjutkan, ada beberapa hal yang dikhawatirkan jika audit BPK lama, yakni tersangka menghilangkan barang bukti, saksi-saksi lupa dengan apa yang telah disampaikan dalam BAP dan kasus korupsi bisa kadaluarsa. Meskipun kasus korupsi itu kadaluarsanya selama 18 tahun.

Ia menerangkan, sebenarnya audit menghitung kerugian negara itu bisa juga dilakukan oleh BPKP, kantor akuntansi publik atau auditor independen dan pihak kampus. Bahkan aparat penegak hukum juga bisa menghitung kerugian negara secara internal untuk kasus-kasus yang sederhana.

“Jika ada pengaduan ke salah satu instansi saja maksimal dalam waktu 30 hari harus ada jawaban. Begitu juga dengan audit BPK harusnya ada standar kapan waktu yang diperlukan, meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang,” saran Boyamin. (*)

Berita ini sudah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas Edisi Senin (7/6/2021).

Video KUPAS TV : TRUK VS MOTOR BEAT: ISTRI T3W4S, SOPIR TRUK KABUR!

Editor :