• Minggu, 29 September 2024

Mengintip Rekrutmen Pegawai Honorer di Lampung Bagian II, Mengembalikan Mahar dari Seseran Lain

Selasa, 13 April 2021 - 07.25 WIB
813

Pengamat dan Akademisi Unila. Foto: Ist.

Bandar Lampung,  Kupastuntas.co - Meski gaji pegawai honorer kecil, namun mereka punya seseran atau pendapatan lain yang nilainya lebih besar. Peluang itulah yang menjadi pintu masuk terjadinya praktek jual beli SK pegawai honorer.

Pengamat Kebijakan Publik dari Unila, Dedi Hermawan mengatakan, sangat mungkin terjadi praktek jual beli SK dalam penerimaan pegawai honorer di lingkungan pemerintah daerah. Cukup banyak masyarakat yang ingin menjadi pegawai honorer.

“Mengapa banyak masyarakat yang mau menjadi tenaga honorer rela mengeluarkan uang besar sementara gajinya kecil, karena mereka punya seseran atau pendapatan lain yang nilainya lebih besar,” kata Dedi, Senin (12/4).

Menurut Dedi, maraknya warga ingin menjadi pegawai honorer karena terbatasnya penciptaan lapangan pekerjaan. Sehingga masyarakat bersedia menjadi tenaga honorer meskipun gajinya kecil. Yang penting mereka ada pemasukan.

Baca juga: Mengintip Rekrutmen Pegawai Honorer di Lampung Bagian 1, Mahar Puluhan Juta, Gaji Ratusan Ribu

"Seseran-seseran atau pendapatan lain inilah yang perlu ditelusuri, karena ini sudah menjadi rahasia umum. Banyak pendapatan tambahan yang bisa diperoleh oleh pegawai honorer ini,” papar dia.

Menurut Dedi, signal adanya indikasi jual beli SK tenaga honorer sudah terendus lama di Pemda. Menurutnya, gejala dan indikasi ini agar menjadi terang harus dilakukan investigasi oleh badan pemeriksa independen.

Semua pihak yang terlibat dalam permainan dan mendapatkan keuntungan dalam penerimaan pegawai honorer harus diperiksa. Dimungkinkan transaksi ini dilakukan oleh oknum-oknum di lingkungan pemerintahan daerah itu sendiri.

“Jadi memang sangat terbuka potensi penyimpangan terjadinya praktik jual beli SK tenaga honorer. Hal ini harus didalami, apakah hanya permainan oknum atau lembaga. Apabila memang lembaga tentu ini akan berbahaya, akan memperburuk birokrasi. Kalau masih oknum mudah diselesaikan, tetapi apabila sudah membudaya atau melembaga tentu menjadi pekerjaan berat, ini harus ditelusuri," ujarnya.

Dedi melanjutkan, rekrutmen pegawai honorer atau pegawai naik jabatan rawan dipermainkan, agar oknum-oknum itu bisa berbagi uang tambahan.

"Pola-pola yang terjadi di birokrasi kita, tidak semuanya direformasi.  Masih banyak menerapkan warisan masa lalu yang suka mengambil pungutan liar, termasuk dalam sektor manajemen aparatur pemerintah. Tenaga kontrak yang paling rentan, karena ada evaluasi setiap tahun,” lanjutnya.

Menurut Dedi, jika rekrutmen berbasis kompetensinya bagus, tapi rata-rata dikamuflase. Sehingga memanfaatkan hal itu untuk praktek penindasan dengan cara memeras. “Dimana menggunakan instrumen evaluasi, tetapi di dalamnya ada transaksi gelap," ujarnya.

Dedi menyarankan, harus dilakukan peninjauan ulang apakah kebijakan honorer perlu dilanjutkan atau tidak. Penerimaan tenaga honorer harus berbasis dari rasio jumlah PNS dan beban kerja. Ia mengakui, hingga kini belum ada pemetaan yang jelas berapa kebutuhan tenaga honorer di Pemda.  

"Sebaiknya rekrutmen pegawai honorer dihentikan dulu, jangan dibuka terus. Karena jangan-jangan ada praktek KKN. Saran saya sih disetop dulu," ujarnya.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung,Yusdianto meminta pemerintah daerah melihat kondisi keuangan, apabila ingin terus melakukan penerimaan tenaga honorer.

"Kalau bisa dihentikan saja atau disetop penerimaan tenaga honorer itu. Karena pengangkatan tenaga honorer itu harus melihat jumlah PNS yang ada, kalau tidak berarti itu menyalahi regulasi," ujar Yusdianto, kemarin.

Yusdianto tidak menampik, jika rekrutmen pegawai honorer rawan dimainkan dan menjadi ajang mencari uang bagi oknum-oknum tertentu. Apalagi, kata dia, selama ini rekrutmen pegawai honorer selalu dilakukan tertutup dan tidak pernah diinformasikan secara transparan.

“Karena tertutup inilah akhirnya ada permainan, dan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk mencari uang tambahan. Kasus penipuan pegawai honorer juga sudah ada, itu baru sebagian kecil yang terungkap. Bisa saja sebagian besar kasus pungutan pegawai honorer tidak pernah terungkap,” terang dia.

Yusdianto mengaku, awalnya sempat heran ada orang yang rela mengeluarkan uang puluhan juta untuk menjadi pegawai honorer. Padahal gaji yang diterima sangat kecil. “Ternyata tenaga kontrak itu juga punya seseran lain saat bekerja, sehingga tidak heran jika mereka tetap mau jadi pegawai honorer. Karena mereka punya pendapatan tambahan,” ujarnya.

Apalagi, lanjut Yusdianto, jika pegawai honorer itu bekerja di dinas yang basah seperti Dinas PU, Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan  yang mengelola anggaran besar. Seseran atau pendapatan tambahan yang diperoleh juga akan semakin bertambah besar. Sangat jauh bila dibanding dengan gaji bulanannya.

“Meskipun Pemerintah Pusat sudah melarang Pemda merekrut pegawai honorer, namun dalam prakteknya masih saja terjadi. Dengan berbagai dalih itu dilakukan, tapi tetap saja permainan dan pungutan liar masih ada di dalamnya,” tegas Yusdianto. (*)

Video KUPAS TV : MANUSIA GEROBAK MULAI RAMAI DI BANDAR LAMPUNG JELANG RAMADAN

Editor :