• Rabu, 06 November 2024

Toke Makin Kaya Petani Singkong Menderita

Senin, 22 Februari 2021 - 08.20 WIB
10.8k

Petani singkong di sejumlah daerah di Provinsi Lampung semakin menderita dengan anjloknya harga singkong. Sementara pengusaha singkong semakin kaya. Foto: Sandi/Kupastuntas.co

Bandar Lampung, Kupastuntas.co - Provinsi Lampung menjadi daerah penghasil ubi kayu atau singkong terbesar Nasional. Namun predikat itu tidak sejalan dengan tingkat ekonomi petani singkong di daerah ini. Pada tiap musim panen, harga singkong di Lampung anjlok, hanya dihargai sekitar Rp800-Rp850 per kg.

Supriyanto, petani singkong di Kampung Bumi Kencana, Kecamatan Seputih Agung, Lampung Tengah menuturkan, harga singkong terus turun sejak terjadi pandemi Covid-19. Ia menggarap 3 hektar tanaman singkong. Namun, hasilnya sangat jauh dari harapan. 

“Kalau dulu dalam 1 hektar paling jelek bisa dapat Rp10-Rp15 juta. Sekarang sangat miris, nggak ada hasilnya, hanya dapat capeknya saja,” katanya, Minggu (21/2). 

Supriyanto mengatakan, masih bertahan menanam singkong karena perawatannya mudah dan tahan panas.“Walau hasilnya kecil, kita tetap bertahan,” ungkapnya. 

Farid, petani lainnya mengungkapkan, saat ini harga singkong di pabrik berkisar Rp800-850 per kg. “Tapi itu harga kotor, belum ditambah potongan di tingkat pabrik yang rata-rata 25 persen. Serta ongkos untuk panen," kata Farid.



Potongan itu berupa biaya cabut dan angkut menuju perusahaan atau pabrik dengan kisaran Rp450-Rp500 per kg. “Kalau satu hektar dapat 15 ton, keuntungan cuma Rp7,5 juta. Dipotong perawatan sekitar Rp4,5 juta dalam waktu 9-10 bulan,” paparnya.

Menurutnya, idealnya harga singkong adalah Rp1.200 per kg. Dengan harga saat ini Rp800 per kg, petani hanya mendapat uang bersih di kisaran Rp475 ribu per ton.

“Sebagai gambaran, jika dalam 1 ton singkong dijual di pabrik kemudian terkena refaksi/potongan kadar air 25 persen, bobot bersihnya tinggal 750 kg. Jika berat bersih dikalikan harga Rp800 per kg, maka dalam satu ton kita mendapat uang Rp600 ribu. Kemudian dipotong lagi biaya panen dan angkut mencapai Rp100 hingga Rp125 ribu per ton. Jadi kita terima bersih tidak sampai Rp500 ribu per tonnya," jelasnya.

Hermansyah (64), warga Negara Agung, Kecamatan Sungkai Jaya, Kabupaten Lampung Utara, petani singkong lainnya, bahkan sengaja membabat habis tanaman lada dan karetnya, karena tergiur keuntungan dari menanam singkong.

Tapi fakta berkata lain, ia justru merugi akibat harga singkong yang rendah. Menurut Hermasnyah, dalam satu hektar tanaman singkong, saat ini hanya menghasilkan uang sekitar Rp500 ribu.

"Awalnya singkong mahal, saat itu kebun lada nggak pernah buah, getah karet pun murah bertahun-tahun. Maka saya tebang ganti singkong, ternyata kini malah rugi," ungkap dia.

Menurutnya, jenis singkong yang ditanam adalah Kasesa dan Thailand. Singkong Kasesa memiliki bobot lebih berat dan potongan lebih rendah dibandingkan singkong Thailand tapi panennya lama berkisar 10 sampai 12 bulan.

Sedangkan singkong Thailand masa panen relatif singkat 7 sampai 8 bulan, namun potongan lebih tinggi dibandingkan singkong Kasesa. 

Jika menjual singkong ke pabrik kerap terjadi antrian panjang, Hermansyah terkadang menjual ke lapak. Namun, hasilnya jauh lebih murah. 

"Kalau jual di lapak, harga Rp770 per kg. Potongan 25 persen ditambah pengeluaran bongkar Rp26 ribu  per mobil kecil dan premi sopir Rp30, jadi bersih paling terima Rp400 per kilogram," ucapnya.

Prayitno, petani singkong di Desa Labuhanratu VI, Kecamatan Labuhanratu, Lampung Timur mengatakan untuk menanam singkong dalam satu hektar, dibutuhkan modal sedikitnya Rp7 juta.

Modal Rp7 juta itu digunakan untuk biaya tanam, perawatan, biaya panen dan biaya transportasi. Sementara dalam satu hektar rata-rata bisa menghasilkan 20 ton singkong.

“Saat ini dengan harga jual Rp450 per kilogram bersih, maka uang yang dikantongi petani cuma Rp9 juta. Bayangkan saja modal 7 juta, hasil penjualan Cuma Rp9 juta. Keuntungan Rp2 juta itu belum dipotong tenaga sendiri, menunggu selama sembilan bulan. Ini gambaran petani singkong saat ini," kata Prayitno, Mingu (21/2).

Prayitno mengungkapkan, harga singkong anjlok selalu terjadi setiap panen raya. "Harga singkong murah, dibilang kecewa ya kecewa, tapi mau bagaimana semua harga dikendalikan oleh perusahaan. Kalau ngobrolin singkong nggak ada habisnya. Untuk menyiasatinya ya petaninya harus kompak," tegas dia.

"Saya menggambarkan perusahaan hanya butuh 100 ton per hari, sementara singkong yang ada dari petani 200 ton. Itu salah satu celah perusahaan untuk memainkan harga, karena singkong tidak bisa ditimbun. Daripada membusuk jelas petani rela dibeli dengan harga murah," papar Prayitno.

Sementara itu, Masri, petani singkong di Tiyuh Penumangan, Kecamatan Tulangbawang Tengah, Kabupaten Tulangbawang Barat  mengatakan, petani merasa dirugikan dengan harga singkong yang tidak sesuai.

"Saat ini petani menjerit. Harga standar singkong seharusnya Rp1.000 per kg, biar petani ada hasilnya. Kalau begini caranya bisa mati kalau mengambil uang bank, bisa tidak bayar. Ini malah harganya Rp790 per kg, belum dipotong yang lain," ungkap Masri, Minggu (21/2).

Ia pernah menanyakan ke perusahaan alasan harga singkong jatuh. Perusahaan berdalih karena masih pandemi Covid-19, sehingga banyak singkong tertimbun di pabrik.

Antok, petani singkong di Way Kanan juga menyampaikan keluhan serupa, mengenai rendahnya harga singkong. Bahkan sejumlah petani singkong di Way Kanan terpaksa menjual hasil panennya ke perusahaan singkong di Lampung Utara, karena di Way Kanan hanya ada satu pabrik. 

“Kalau di Lampung Utara lebih dari satu pabrik singkong. Untuk Way Kanan pabrik singkong setahu saya cuma ada di Kecamatan Pakuan Ratu yang jaraknya sangat jauh, itu juga cuma satu pabrik," imbuhnya.

Dinas Ketahanan Pangan  Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung mencatat, produksi singkong Provinsi Lampung pada tahun 2020 mencapai 5 juta ton. Sehingga, Lampung menjadi provinsi penghasil singkong terbesar Nasional.

Hampir seluruh kabupaten/kota di Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil singkong, kecuali di daerah pegunungan dan dataran tinggi seperti Tanggamus, Lampung Barat dan Pesisir Barat. (Towo/Riki/Agus/Lucky/Sandi)

BERITA INI SUDAH TERBIT DI SURAT KABAR HARIAN KUPAS TUNTAS EDISI SENIN (22/2/2021)

Editor :