• Rabu, 06 November 2024

Incinerator Rumah Sakit Tidak Beroperasi, Anggaran 4,8 Miliar Mubazir

Jumat, 19 Februari 2021 - 08.01 WIB
925

Incinerator milik RSUD Abdul Moeloek senilai Rp3 miliar sudah tidak beroperasi lagi. Foto : Ria/Kupastuntas.co

Bandar Lampung, Kupastuntas.co - Incinerator atau alat pembakar limbah medis yang dimiliki RSUD Abdul Moeloek dan RSUD Demang Sepulau Raya tidak beroperasi lagi. Padahal anggaran yang dialokasikan untuk membeli kedua alat itu mencapai Rp4,8 miliar.

Limbah medis yang dihasilkan oleh seluruh rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) di Provinsi Lampung, saat ini pengelolaannya diserahkan ke pihak ketiga. Karena di Lampung tidak ada alat untuk memusnahkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Sebenarnya ada dua rumah sakit milik pemerintah daerah yang memiliki incinerator, yakni RSUD Abdul Moeloek dan RSUD Demang Sepulau Raya di Lampung Tengah. Namun kini kedua alat itu sudah tidak beroperasi lagi.

Wakil Direktur Keperawatan, Pelayanan dan Penunjang Medik RSUD Abdul Moeloek, dr. Mars Dwi Tjahjo mengatakan RSUD Abdul Moeloek menghasilkan limbah medis 3 sampai 5 ton setiap bulannya.

Termasuk didalamnya limbah infeksius Covid-19 seperti masker bekas, sarung tangan bekas, perban bekas, tisu bekas, alat suntik bekas, infus bekas, alat pelindung diri dan baju hazmat.

Sementara sebelum pandemi Covid-19, limbah medis yang dihasilkan hanya 200 kg per bulan. Peningkatan limbah medis ini seiring dengan peningkatan pasien Covid-19 yang terus terjadi setiap hari.

“Untuk menghindari tercecernya limbah Covid-19, petugas kebersihan memasukkan limbah tersebut ke dalam plastik berwarna kuning dan langsung membawa ke tempat penampungan sementara (TPS), sebelum dibawa oleh pihak ketiga untuk dimusnahkan,” terang dia, baru-baru ini. 

Di TPS, limbah medis Covid-19 disimpan dalam ruangan tertutup dan dipisahkan dengan limbah medis biasa, lantaran limbah Covid-19 tingkat infeksiusnya cukup tinggi.



Ia melanjutkan, RSUD Abdul Moeloek bekerjasama dengan pihak ketiga yakni PT Biuteknika Bina Prima selaku transporter dan PT Wastec sebagai pemusnah limbah yang berada di Kabupaten Cilegon, Provinsi Banten.

"Untuk pemusnahan kita tidak melakukan sendiri, karena tidak mengoperasikan incinerator akibat terkendala izin lingkungan. Pengambilan limbahnya secara berkala, dimana satu minggu diambil dua kali," terang dia.

Sementara itu, Plt Direktur Utama RSUD Abdul Moeloek, Reihana menjelaskan RSUD Abdul Moeloek telah mengalokasikan dana cukup besar untuk pemusnahan limbah Covid-19 maupun limbah medis biasa. 

"Tergantung dengan timbangannya. Tergantung yang dihasilkan setiap bulan, tapi dananya sudah kita siapkan. Biayanya cukup besar ya untuk limbah medis itu mencapai berapa miliar gitu tapi saya lupa," kata Reihana.

Pantauan di RSUD Abdul Moeloek, tempat penyimpanan sementara (TPS) limbah medis berada di depan gedung Instalasi Kesehatan Lingkungan dan Instalasi Ambulans. Ruangan tersebut terlihat di pagar keliling menggunakan seng.

Terlihat ada tiga ruangan bercat biru laut khasnya RSUD Abdul Moeloek. Terlihat ketiga bangunan tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Ada pula mesin yang terlihat sudah lama tidak beroperasi yang diketahui sebagai incinerator.

Kemudian di gedung kedua yang terkunci dan bertuliskan “Awas berbahaya limbah B3” diketahui merupakan TPS limbah medis Covid-19. Namun di depan ruangan tersebut terlihat sebuah plastik kuning yang terikat dan plastik tersebut berisi seperti masker sensi berwarna hijau.

Di RSUD Demang Sepulau Raya, incinerator yang ada juga sudah tidak beroperasi sejak tahun 2014. Alat pembakar limbah medis itu dibeli pada tahun 2012 dengan anggaran sekitar Rp1,8 miliar.

Direktur RSUD Demang Sepulau Raya, dr Asril Syahdu menjelaskan, incinerator dibeli sekitar tahun 2012 atau 2013 dengan kisaran harga Rp1,8 miliar (jika lihat tabel harga).

Incinerator itu memiliki kapasitas maksimal 50 kg untuk sekali membakar limbah medis. Dan pembakaran limbah medis dilakukan setiap satu hari sampai tiga hari sekali. “Tapi sejak tahun 2014 sudah tidak beroperasi lagi,” kata dia.

Ia mengakui, asap dari pengolahan limbah medis melalui incinerator sangat berbahaya, dan harus ada penampung khusus untuk limbahnya. Sehingga ketika asap dilepas ke udara sudah aman. Asap inilah yang dulu diprotes masyarakat sampai akhirnya dihentikan.

Asril melanjutkan, saat ini pengolahan limbah medis RSUD Demang Sepulau Raya dikerjasamakan dengan pihak ketiga sebagai transporter yakni PT Manuppak Abadi.

“Limbah medis yang dibawa pihak ketiga itu dengan cost Rp14.000 per kg. Limbah dimusnahkan di Cileungsi, Jawa Barat yang memang menjadi lokasi khusus pengolahan limbah medis,” ujar dia.



Kasi Penunjang Pelayanan, RSUD Demang Sepulau Raya, Irawan menambahkan, biaya operasional incinerator cukup tinggi juga menjadi faktor berhenti beroperasi.

Menurut Irawan, jika incinerator hanya untuk mengolah limbah RSUD Demang Sepulau Raya maka biaya operasionalnya terlalu mahal. Sempat diusulkan agar bisa juga mengolah limbah dari RSUD lain, namun izin dari Kementerian Lingkungan Hidup tidak keluar.

“Padahal jika bisa mengelola limbah medis dari RSUD lain bisa menjadi sumber PAD juga. Izin yang ada hanya untuk mengelola limbah medis RSUD Demang saja,” ungkapnya.

Irawan menerangkan, RSUD Demang Sepulau Raya dalam satu hari bisa menghasilkan limbah medis sekitar 70 kg. Sedangkan untuk memanaskan mesin incinerator membutuhkan BBM solar sebanyak 100 liter. Dan untuk mengolah limbah medis sebanyak 1 kg membutuhkan BBM solar 1 liter .

Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Lampung mencatat jika sejak bulan Mei hingga Desember 2020, limbah medis yang dihasilkan Provinsi Lampung sebanyak 17.187,68 kilogram (lengkap lihat tabel).

"Limbah tersebut berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas. Sumber limbahnya berasal dari ruang isolasi atau screening rapid test dan lain-lain. Pokoknya dari pasien Covid-19," kata Kasi Pengelolaan Limbah B3 pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Lampung, Zaeri Ramli.

Ia menerangkan mulai tahun 2021 Dinas Lingkungan Hidup khususnya Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 melakukan monitoring ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mengetahui cara penanganan limbah medis Covid-19 yang merupakan limbah medis infeksius.

Mulai dari proses identifikasi, pemilahan, pengemasan, pengumpulan, penyimpanan, pengangkutan dan pemusnahan yang mengacu pada Surat Edaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 tentang pengelolaan limbah infeksius (limbah B3) dan sampah rumah tangga dari penanganan Covid-19.

"Kemarin kita baru melakukan kunjungan ke RSUD Abdul Moeloek saja. Ini akan segera kita monitor ke fasilitas kesehatan yang lain juga. Utamanya untuk daerah yang tidak pernah melaporkan jumlah limbah medis Covid-19 nya apakah ada kendala atau kesulitan," kata dia.

Ia melanjutkan, berdasarkan monitoring yang dilakukan di RSUD Abdul Moeloek, untuk pemisahan antara limbah medis Covid-19, limbah medis pasien biasa serta limbah rumah tangga sudah dilakukan dengan baik dan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP).

Selain itu, penyimpanan limbah infeksius dalam kemasan yang tertutup paling lama dua hari sejak dihasilkan. Limbah harus dimasukan kedalam plastik yang hanya diisi 3/4 saja dan diikat kencang. Sesampainya di TPS limbah harus disemprot disinfektan.

"Mereka (Abdul Moeloek) sudah ada TPS tersendiri yang ada simbolnya bahwa itu limbah berbahaya, sehingga masyarakat umum tidak diperkenankan untuk masuk. Pengangkutan dari ruangan ke TPS sudah memenuhi syarat," katanya.

Ia menambahkan, RSUD Abdul Moeloek bekerjasama dengan pihak ketiga untuk melakukan pemusnahan limbah medis yang biayanya mencapai Rp13.000 hingga Rp15.000 per kilogram.

Namun, lanjut dia, ada beberapa catatan yang harus dilakukan perbaikan oleh RSUD Abdul Moeloek segera, yakni merelokasi dan membangun fasilitas tempat penyimpanan sementara (TPS) limbah infeksius (B3) medis padat.

"Ada beberapa pertimbangan kenapa RSUD Abdul Moeloek harus melakukan hal tersebut, karena rancang bangun dan luas TPS sudah tidak sesuai dengan jenis, karakteristik, dan jumlah B3 yang dihasilkan," papar dia.

Selain itu, lokasi TPS limbah B3 terlalu dekat dengan sarana prasarana umum lainnya. Sementara persyaratan yang ditetapkan adalah minimal berjarak 100 meter dari fasilitas umum. "Tapi ini terlalu dekat dengan fasilitas umum dan malah dekat dengan kantin rumah sakit. Kan berbahaya," ungkapnya.

Selanjutnya, luas area bongkar muat limbah kurang memadai untuk kendaraan roda empat. Dan rute kendaraan pengangkut limbah B3 melewati fasilitas umum lainnya, salah satunya kantin.

"Kemudian limbah yang dihasilkan seluruhnya diserahkan kepada pihak ketiga untuk pengelolaan lebih lanjut. Dengan timbunan limbah yang relatif meningkat, hal ini mengakibatkan sering terjadi penumpukan atau overload. Padahal RSUD Abdul Moeloek punya incinerator dengan kapasitas berapa itu saya lupa, harganya sekitar 3 miliar. Tapi katanya rusak," papar dia. (Ria/Towo)

BERITA INI SUDAH TERBIT DI SURAT KABAR HARIAN KUPAS TUNTAS EDISI JUMAT (19 FEBRUARI 2021).


Video KUPAS TV : POLDA TEMUKAN BUKTI LIMBAH MEDIS, GANDENG AHLI UNTUK MENGUNGKAP PELAKU! (BAGIAN 4)

Editor :