Perda RTRW untuk Lindungi Kawasan Resapan Air di Bandar Lampung Tidak Efektif

Perumahan di sekitar kelurahan Sumber Agung, kecamatan Kemiling. Foto : Ria/Kupastuntas.co
Bandar Lampung, Kupastuntas.co - Perda RTRW yang dibuat untuk melindungi kawasan resapan air di Kota Bandar Lampung, tidak dilaksanakan secara efektif di lapangan. Padahal, biaya yang dihabiskan untuk pembuatan Perda ditaksir mencapai Rp300 juta-Rp350 juta.
Mantan Ketua Komisi III DPRD Bandar Lampung periode 2009-2014, Berlian Mansyur mengatakan Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2011-2030 belum spesifik atau detail mengatur wilayah mana saja yang boleh dan dilarang untuk didirikan perumahan. Sehingga saat ini masih terjadi pendirian perumahan di kawasan resapan air.
Berlian menjelaskan, dalam Perda RTRW tidak merunut titik zona resapan air sampai tingkat kelurahan. Sehingga beberapa tempat yang seharusnya dilarang, justru didirikan perumahan.
"Seperti di lokasi CitraLand, yang seharusnya tidak layak didirikan perumahan, justru saat ini ada pembangunan perumahan. Sampai akhirnya terjadi longsor,” kata Berlian yang juga ikut terlibat dalam pembahasan Perda RTRW, Senin (8/2).
Berlian membeberkan, dalam Perda RTRW ada empat kawasan yang tidak boleh didirikan perumahan, yakni lahan kemiringan, areal resapan air, lahan bekas persawahan dan lahan tadah hujan. “Kalau dilanggar, berarti ada pelanggaran Perda di dalamnya,” tegas dia.
Berlian melanjutkan, pelanggaran Perda RTRW terjadi akibat belum ada aturan turunannya, berupa Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Padahal, proses pembuatan Perda RTRW memakan waktu cukup lama, sekitar hampir dua tahun. Perda baru disahkan pada bulan Juni 2011.
“Lamanya karena banyak usulan dan masukan dari provinsi, juga untuk memetakan mana saja daerah yang dilarang mendirikan perumahan,” papar dia.
Dalam pembahasan Perda RTRW, dilakukan beberapa kali rapat dengar pendapat melibatkan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Bappeda, Dinas Perumahan dan Permukiman serta dinas terkait lainnya.
Tim pansus juga mengundang beberapa pegiat lingkungan, seperti Walhi, Mitra Bentala dan pengamat lingkungan dari Unila. Pansus juga sempat melakukan studi banding ke Kementerian Lingkungan Hidup untuk mempelajari secara detail zona resapan air.
Sementara itu, Kepala Bagian (Kabag) Persidangan DPRD Bandar Lampung, Ferizal menjelaskan, anggaran yang dialokasikan untuk pembuatan satu Perda mencapai Rp300 juta sampai Rp350 juta. "Dalam proses anggaran biasanya segitu," ungkapnya.
Ferizal melanjutkan, anggaran digunakan untuk biaya studi banding, penyusunan naskah akademik, biaya rapat, pengesahan di paripurna dan konsultasi Perda.
Ferizal menerangkan, dalam pembuatan Perda, ada dua tahap pembicaraan, yakni pembicaraan tingkat satu dan tingkat dua. Jika Perda itu inisiatif Pemkot, dalam pembahasan tingkat satu Walikota memberikan usulan Perda ke DPRD.
Dilanjutkan penyampaian pandangan oleh fraksi-fraksi. Setelah itu Walikota memberikan jawaban terhadap pandangan-pandangan fraksi tersebut.
Untuk pembicaraan tingkat dua, meliputi pembentukan pansus untuk membahas Perda tersebut. Pansus lalu menggelar rapat dengar pendapat atau hearing bersama organisasi perangkat daerah (OPD), NGO dan perwakilan masyarakat untuk meminta masukan.
Dilanjutkan finalisasi, yakni penyampaian pendapat akhir fraksi dan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna bersama Walikota. Jika Walikota setuju akan dituangkan dalam bentuk berita acara. Sebelum diterbitkan Perda, berkas Perda dikirimkan ke Pemkot untuk dilakukan registrasi.
Di tempat terpisah, Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) Kota Bandar Lampung, Dekrison mengatakan, dalam Perda RTRW tidak disebutkan secara detail titik wilayah yang boleh dibangun atau tidak.
“Dalam suatu wilayah atau kelurahan tidak semuanya masuk kawasan resapan air atau zona hijau. Kalau semua tidak dibangun, ya kelurahan tersebut berbentuk hutan dong,” kata dia.
Ia menjelaskan, untuk menentukan apakah titik wilayah itu masuk kawasan resapan air atau tidak, pihaknya bersama tim BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah) turun ke lapangan melakukan pengecekan.
“Jadi tim Disperkim dan BKPRD yang cek ke lapangan, sebelum pengusaha yang akan mendirikan bangunan tersebut memperoleh izin,” ungkapnya.
Kalaupun ada kawasan yang dilanggar, Pemkot tidak serta merta membongkar bangunan tersebut. “Tentu ada prosesnya,” lanjut dia.
Sementara itu, seorang pejabat di Dinas Lingkungan Hidup Bandar Lampung mengatakan, sesuai aturan, perumahan atau bangunan yang didirikan di kawasan resapan air harus membuat RTH seluas 30 persen dari lahan yang ada.
“Harus dibuat 70 persen bangunan dan 30 persen RTH. Namun fakta di lapangan, tidak semua perumahan memenuhi syarat tersebut,” pungkasnya. (*)
Video KUPAS TV : Kondisi Kawasan Resapan Air di 4 Kecamatan Bandar Lampung Kritis. Lurah : Pengembang Belum Ada Izin!
Berita Lainnya
-
Wali Kota Eva Dwiana Hadiri Kunjungan Kerja Mensos Saifullah Yusuf di Bandar Lampung
Senin, 12 Mei 2025 -
122 Orang Diamankan Polisi dalam Operasi Pekat Krakatau 2025 di Bandar Lampung
Senin, 12 Mei 2025 -
Lampung Bakal Jadi Percontohan Sekolah Rakyat, Pemprov Siapkan 100 Siswa
Senin, 12 Mei 2025 -
Pelajar SMA Yos Sudarso Wakili Metro ke Paskibraka Nasional
Senin, 12 Mei 2025