• Minggu, 20 Juli 2025

Potensi Ekonomi Pekon Penyangga Hutan TNBBS Terkendala Akses Infrastruktur Jalan

Selasa, 22 Desember 2020 - 17.26 WIB
234

Kondisi jalan Pekon Margomuliyo, Kecamatan Semaka, Tanggamus, sepanjang 9 kilo memprihatinkan. Foto: Agus/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Tanggamus - Hujan terus mengguyur bumi Pekon Margomuliyo, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus. Suasana Sabtu (19/12/2020) sore itu langit meredup sepanjang hari sinar matahari terhalang gumpalan awan hitam. 

Kedua tangan Prasetiyo memegang erat stang sepeda motor butut miliknya. Suara mesin meraung berat saat menggerakkan kedua roda sepeda motor di atas jalan tanah liat yang lembek akibat guyuran hujan.

Lilitan rantai pada roda belakang yang di desain sedemikian rupa menjadi penyelamat pengendara dari licinnya jalan Pekon Margomuliyo.

"Tenang saja mas. Jangan panik, jangan banyak gerak," kata Prasetyo kepada Kupastuntas.co.

Jalan selebar tiga meter itu seperti adonan tanah yang akan dibuat batu bata, terlihat pulen karena tersiram air hujan. Ironisnya sepanjang jalan tidak dalam kondisi datar, melainkan penuh turunan curam dan tanjakan yang tinggi.

Meskipun Prasetyo sudah terbiasa melintas, namun tetap waspada dan terlihat kaku menjaga keseimbangan sepeda motornya. Sesekali kakinya menyentuh tanah agar tidak terguling.

"Turun sebentar ya mas, ini jalannya susah, paling cuma 20 meter saja," ujar Prasetyo, dengan nada sedikit melas.

Jalan yang penuh tantangan dan berisiko bagi pengemudi, merupakan jalan poros jalan milik Kabupaten Tanggamus, yang membelah Pekon Margomuliyo, panjang jalan tersebut 9 kilo meter sisi kanan belantara hutan TNBBS. Sisi kiri jurang menjulang curam namun tampak indah.

"Keren kan mas pemandangannya," ucap Prasetiyo, sedikit menghibur kru Kupastuntas.co yang berada dalam boncengan nya.

Tiang listrik terlihat berjajar di sebelah sisi kiri jalan dengan jarak sedemikian rupa, bohlam neon berwarna putih masih tergantung pada tiang tersebut, namun semua lampu sepanjang jalan di Margomuliyo sudah tidak hidup lagi.

"Lampunya itu sudah tidak fungsi om, itu yang membuat pemerintah," terang Prasetyo.

Setelah berjalan dari jalan poros jalan lintas nasional TNBBS, sekira 30 menit sejumlah rumah penduduk mulai terlihat namun jarak rumah ke rumah lainnya cukup panjang sekira 50 meter. Semakin maju rumah-rumah semakin padat, namun konstruksi rumah ber variasi ada yang permanen ada yang masih geribik dan bahkan ada yang benar benar memprihatinkan.

Setiap sepeda motor yang melintas semua roda belakang di lilit oleh rante agar roda bisa berputar di atas tanah tanah licin dan berlumpur, dengan kondisi jalan yang mengkhawatirkan menjadi rejeki bagi mereka yang lincah dengan kuda besinya.

"Tapi jalan seperti ini rejeki bagi jasa ojek. Kalau ngojek batang itu satu kilo nya 500 perak," ucap Prasetiyo sambil sedikit mengeluarkan suara tawa.

Tanpa terasa setelah perjalanan sekitar 1 jam dari jalan nasional TNBBS, Prasetyo membelokkan sepeda motor di sebuah rumah yang bergandengan dengan gedung SDN 1. Rumah tersebut merupakan tempat tinggal Sekretaris Pekon Margomuliyo.

Terkait dengan kondisi geografis Pekon Margomulyo, Sekertaris Pekon, Binarno menjelaskan, luas Pekon tersebut 8 kilo meter persegi, yang langsung berbatasan dengan hutan TNBBS.

Pekon yang memiliki potensi ekonomi seperti hasil bumi dan objek wisata alam terbentur dengan keberadaan insfrastruktur umum yang menjadi keluhan warga, yakni jalan poros sepanjang 9 kilo meter dalam kondisi memprihatinkan, penerangan listrik belum masuk di Pekon Margomulyo.

"Dua hal itu yang paling utama kami keluhkan, karena menjadi penghambat majunya perekonomian masyarakat," ungkap Binarno.

Terkait dengan hasil bumi yang menjadi andalan masyarakat setempat yaitu buah pala, setiap hari pala yang keluar dari Pekon penyangga hutan tersebut diatas 2 kwintal. Sementara harga pala kering petani sebesar Rp35 ribu per kilo. Hasil bumi lainnya yaitu, lada, kopi dan durian.

"Kembali dengan persoalan jalan, warga sangat kesusahan untuk mengeluarkan hasil panennya, sehingga harus mengeluarkan upah tambahan untuk jasa ojek," terang Binarno.

Begitu juga soal penerangan listrik, Pekon Margomuliyo sempat mendapat bantuan penerangan listrik tenaga Surya dari pemerintah tiga tahun lalu, namun masyarakat hanya bisa menikmati selama 6 bulan.

"Baru enam bulan rusak. Sekarang kami menggunakan alat penerangan pribadi, ada yang menggunakan tenaga Surya ada yang menggunakan genset," tegas Binarno.

Pekon Margomuliyo penyangga hutan TNBBS, tersimpan banyak potensi wisata, seperti wisata alam dengan pemandangan yang bisa memanjakan mata, seperti hamparan gunung bukit dan laut bisa di lihat dari Pekon Margomuliyo. Selain itu, konflik satwa liat seperti gajah bisa dijadikan objek wisata.

"Warga kalau lagi ngusir gajah liar itu terlihat asik, rame dengan membawa peralatan kentongan dan petasan. Dengan suasana di pinggir hutan, tentu cukup asik bagi mereka yang jarang melihat gajah dengan momen tersebut," tutur Joko, pendamping masyarakat Pekon Margomuliyo.

Jika wisata di Pekon Margomulyo berjalan dan banyak pengunjung, maka ekonomi masyarakat akan meningkat seperti berjualan kuliner, menyediakan homestay dan membuka rumah makan. Namun semua itu terkendala dengan kondisi jalan yang begitu buruk.

"Jangankan orang dari luar daerah, warga asli Margomuliyo sendiri kesusahan untuk melintasi jalan poros sepanjang 9 kilo yang berbatasan langsung dengan Hutan TNBBS," terangnya.

"Jika infrastruktur jalan diperbaiki dan akses penerangan listrik di hidupkan maka ekonomi Pekon Margomuliyo akan meningkat," timpalnya.

Minimnya sumberdaya manusia di Pekon Margomulyo, khususnya kaum ibu-ibu membuat rekanan konservasi TNBBS. Sebagai pendamping warga penyangga hutan, harus berjuang mengembangkan pemikiran ibu-ibu penghuni Pekon Margomulyo.

Seperti yang dikatakan oleh Dartini bersama tiga rekannya, dulu sebelum adanya rekanan konservasi TNBBS masuk ke Pekon Margomulyo memberikan pendampingan usaha yang dilakoni ibu-ibu 'kembang kempis' terutama soal modal dan akses ekonomi yang tidak di pahami.

Seorang perempuan bernama Dartini mengaku, kehadiran rekanan konservasi TNBBS banyak memberikan perubahan terutama dalam cara berfikir tentang perekonomian, seperti dengan tercetusnya program Kelompok Simpan Usaha (KSU) sangat membantu masyarakat penyangga hutan TNBBS di Pekon Margomulyo.

"Dulu sebelum ada KSU kami kesusahan untuk cari modal usaha," kata Dartini.

Lanjutnya, KSU berdiri sudah dua tahun ini, sistem kerjanya yaitu memberikan pinjaman modal warga khususnya ibu-ibu tanpa dengan anggunan apapun. Sumber dana tersebut dari sejumlah kelompok KSU. Peminjam hanya diberi beban bunga 2 persen dari jumlah pinjaman.

"Memang tidak ada jaminan apapun, namun kalau pinjam di atas Rp3 juta, peminjam harus menyertakan materai dan harus diketahui suaminya, untuk kelengkapan berita acara peminjaman. Kalau di bawah Rp3 juta hanya menyertakan foto kopi KTP saja," terang Dartini.

Bukan hanya memberikan pinjaman yang sifatnya angsuran bulanan, namun KSU juga menyediakan pinjaman usaha dengan sistem bagi hasil.

Menurut Dartini, beberapa pelaku usaha ibu-ibu seperti pembuatan kopi bubuk, penjahit dan sejumlah pedagang kelontongan, sudah merasakan dampak baiknya program KSU Pekon Margomulyo.

"Semua program KSU tercetus karena kehadiran rekanan konservasi TNBBS. Bahkan dari dinas terkait seperti Dinas Koperasi Tanggamus sama sekali tidak pernah memberikan bimbingan kepada kami," cetus Dartini.

Bukan hanya persoalan management administrasi simpan pinjam, pendamping warga Pekon penyangga tersebut juga hadir memberikan inspirasi ibu-ibu dalam melakoni usaha, seperti dengan memonopoli penjualan kopi bubuk.

Artinya Pekon tetangga tidak di perkenankan untuk menjual kopi bubuk di Pekon Margomulyo, hal itu dilakukan untuk memutar roda perekonomian di Pekon yang berbatasan dengan hutan TNBBS tersebut.

Dan juga warga diminta untuk memanfaatkan pekarangan yang tidak difungsikan untuk ditanami sayuran dengan sistem hidroponik, dan hal tersebut sudah di lakoni oleh sejumlah ibu ibu, hasil yang didapat cukup maksimal.

"Pertanam hidroponik ini kami dapat ilmu nya dari rekanan konservasi TNBBS, dan ilmu ini sangat bermanfaat bagi kami," kata Dartini.

Keluhan sejumlah ibu-ibu Pekon Margomulyo yaitu, kondisi infrastruktur jalan diharapkan segera dibenahi oleh pemerintah setempat. Sebab jalan poros Pekon Margomulyo sepanjang 9 kilo meter kondisinya benar benar memprihatinkan.

"Kalau jalannya bagus kami akan mudah berjualan keliling, seperti sayuran dan yang lainnya," keluh Dartini.

Sebelum tahun 2014 warga Desa Margo Muliyo, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, masih belum ramah dengan hutan dan satwa yang ada di dalam nya, sehingga sering melakukan perburuan dan penebangan kayu.

Namun setelah adanya program pembinaan daerah penyangga melalui beberapa mitra konservasi TNBBS, seiring waktu warga penyangga mulai bisa berbagi ruang dengan satwa liar terutama gajah.

Kepala Balai, Taman Nasional Bukit Barisan (TNBBS) Ismanto mengatakan, kedekatan Polhut dengan masyarakat membutuhkan proses, sebelum 2014 warga sama sekali tidak mau dekat dengan polisi kehutanan.

"Mungkin karena warga merasa salah sering masuk kedalam hutan sehingga kurang suka dengan anggota Polhut, namun setelah 2014 sampai saat ini Polhut dan warga sudah harmonis," ujar Ismanto.

Setelah itu, melalui rekan rekan kemitraan konservasi TNBBS, warga terus diberi pembinaan untuk merubah paradigma warga penyangga tentang perilaku perburuan hingga perusakan hutan, dan juga warga penyangga diberi sebuah program pemulihan ekosistem hutan.

Meskipun sebagian warga telah merusak hutan dengan melakukan penanaman kopi pihak Balai TNBBS melalui mitra konservasi memberi pemahaman kepada warga untuk menanami tanaman hutan di sela sela tanaman kopi.

"Kami tidak sekaligus melakukan tindakan yang terlalu tegas, perlu pendekatan ciptakan dulu hubungan yang harmonis kepada warga penyangga," erang Kepala Balai TNBBS tersebut.

Lanjut pria yang pernah menyelesaikan S1 nya di ITB itu, Desa Margo Mulyo memiliki potensi besar akses ekonomi dengan manfaatkan geografis desa yang berdekatan langsung dengan Hutan TNBBS.

Lokasi hutan yang berdekatan dengan Desa Margo Mulyo banyak tersimpan obyek wisata alami yang bisa menarik wisatawan lokal hingga luar negeri untuk berkunjung di TNBBS wilayah Margo Mulyo  yang memiliki potensi lokasi wisata.

"Disana ada pemandangan alam lepas. Konflik gajah liar pun bisa dijadikan paket wisata, dan masih banyak objek wisata lain yang akan kami kembangkan," terang Ismanto.

Artinya, lanjut pria kelahiran Bandar Lampung itu, dengan banyaknya objek wisata yang bisa dipasarkan di sekitar Desa Margo Mulyo, warga setempat bisa memanfaatkan untuk membangun akses ekonomi mereka melalui penjualan makanan, berbagai kuliner, menyediakan homestay dan warga Margomulyo bisa menjual kopi bubuk hasil tanam mereka. Bahkan bisa dijadikan sebagai kuliner khas icon Margomulyo.

"Potensi ekonomi warga Margomulyo cukup banyak. Kami saat ini lagi fokus untuk memenangkan wisata di TNBBS," ujar Ismanto yang sudah empat tahun bertugas di TNBBS.

Terkait konflik dengan binatang bertubuh tambun (gajah), pihak Balai TNBBS sudah memasang dua GPS terhadap dua kelompok gajah liar. Tujuan GPS tersebut untuk memantau keberadaan gajah liar jika hendak keluar hutan.

Dengan jarak lima kilo meter keberadaan gajah bisa di deteksi artinya sebelum gajah gajah liar berhasil masuk areal pemukiman, warga dan pihak polhut sudah bisa melakukan siaga untuk mengusir gajah gajah liar asal hutan TNBBS kembali masuk hutan.

"Biasanya kami mengusir gajah dengan membunyikan petasan dan menciptakan bunyi-bunyian dari kentongan bambu," pungkas Ismanto. (*)


Video KUPAS TV : Meraup Rupiah Dari Budidaya Ulat Maggot ‘Belatung Pengurai Sampah’