• Senin, 25 November 2024

Pilkada Bandar Lampung, Terpilihlah Karena Layak Bukan Karena Memaksa Orang oleh Sulaiman

Senin, 19 Oktober 2020 - 17.56 WIB
712

Sulaiman

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Persaingan menjadi orang nomor 1 di kota Bandar Lampung semakin memanas. Munculnya nama-nama calon yang notabenenya wajah lama dalam dunia politik di Provinsi Lampung membuat persaingan yang tidak sehat.

Tiga nama yang bertarung dalam kontestasi menjadi Walikota Bandar Lampung merupakan tokoh-tokoh yang tidak asing di tengah masyarakat.

Seperti Rycko Menoza mantan Bupati Lampung Selatan yang juga putra kandung dari Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP. Ia diusung Partai Golkar dan gandeng Johan Sulaiman yang merupakan kader PKS.

Calon kedua yaitu Wakil Walikota Bandar Lampung yang saat ini sedang cuti karena mencalonkan diri yakni M. Yusuf Kohar. Ia adalah kader partai Demokrat, gandeng Tulus Purnomo kader PDI P. Namun Tulus tak diusung PDIP. Pasangan ini juga didukung banyak partai, seperti PKB, PAN, Perindo.

Calon ketiga adalah, Istri dari Walikota Bandar Lampung Herman HN, yakni Eva Dwiana. Peraih suara terbanyak pada pemilihan legislatif (Pileg) pada pemilu 2019 lalu.

Eva Dwiana kembali diperkuat oleh partai PDI P, ditambah dengan dukungan dua partai besar yakni NasDem dan Gerindra semakin menambah kekuatan Eva Dwiana dengan suara emak-emak yang tergabung dalam majelis taklim, Rahmat Hidayat.

Tetapi ketangguhan Eva Dwiana yang mendapat 86.258 suara atau lebih dari separuh suara PDIP di Dapil Lampung I (Bandar Lampung) yakni 146.294 suara pada Pileg lalu. Barangkali juga tidak terlepas dari peran Herman HN yang sudah membuktikan ketangguhannya dalam peraihan suara di pilkada Bandar Lampung dua periode sebelumnya.

Menjelang Pilkada 9 Desember 2020, segala cara dan upaya digunakan para calon untuk menang dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Mulai dari cara bersih dan kotor.

Saat ini tahapan Pemilihan Walikota Bandar Lampung sudah memasuki hari ke- 23 masa kampanye, setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan tiga pasangan pasangan calon pada 23 September 2020 lalu. Tetapi polemik yang terjadi sudah marak.

Pelanggaran-pelanggaran secara terang benderang dilakukan calon. Mulai dari membagikan kain sebagai bahan pakaian, sabun dan DVD yang dilarang dalam Peraturan KPU, serta memberikan sembako dengan alasan peduli sosial di tengah pandemi.

Sampai pada Netralitas ASN yang menjamur, mulai dari struktur paling bawah RT, lurah, camat hingga Kepala Dinas yang diduga berperan aktif dalam kemenangan salah satu pasangan calon.

Contohnya, baru-baru ini, Bawaslu Bandar Lampung menerima laporan terkait Netralitas ASN yang diduga mendukung salah satu pasangan calon, yakni Kepala Bappeda Bandar Lampung dan juga lurah Kemiling Permai.

Penulis tidak tahu, apa yang ada dalam benak para ASN yang tertangkap basah menyampaikan dukungan ke Paslon itu. Padahal dalam UU 10 /2016 sudah jelas larangan pada Pasal 71 bahwa Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Mengacu pada Pasal 71 tersebut, ada unsur pidana pemilu kalau dilakukan karena dalam Pasal 188 yang berbunyi setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara dan Kepala Desa atau sebutan lain Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600 ribu atau paling banyak Rp6 juta.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah bapak-bapak tidak mengetahui adanya Undang-undang tersebut, atau memang sengaja menutup mata karena loyalitas tanpa batas mendukung salah satu Paslon.

Selain itu, ramai berita  tentang diberhentikannya seorang kepala sekolah hanya karena menerima handuk dari salah satu Paslon karena sedang berolahraga dan melintasi rumah salah satu Paslon.

Ya Allah, saya baru tahu, handuk Paslon bisa menghentikan jabatan seseorang yang tidak tahu apa-apa dan tidak ikut serta dalam politik. 

Terlalu banyak fakta terkait 'joroknya' demokrasi di Bandar Lampung apabila harus ditulis satu demi satu dalam tulisan ini. 

Bila menilik dari kasus-kasus di atas, penulis khawatir, siapapun yang akan terpilih sebagai walikota dan wakil walikota Bandar Lampung Periode 2021-2026 nanti, mungkin bukanlah terpilih karena pantas menjadi pemimpin.

Visi-misi yang mereka buat tidak mampu menarik minat pemilih. Yang terjadi adalah intervensi kekuasaan, hadiah, sembako dan politik uang. Menghalalkan segala cara untuk menang.

"Saya pernah belajar seperti ini, 'Menjadi pemimpin itu dipilih, bukan memaksa untuk dipilih'," kata seorang guru saya. 

Jadi harusnya calon jangan takut gagal panen, bila memang hanya melanjutkan lahan suara yang digarap sudah subur. Jangan takut gugur kalau memang masyarakat menilai calon membawa janji kemakmuran. 

Bertarunglah secara dewasa tanpa ada embel-embel memaksa. Itu saja. (*)