• Selasa, 08 Juli 2025

Pro Kontra Relaksasi Restrukturisasi Kredit Oleh Eklesia Valentia

Minggu, 28 Juni 2020 - 18.24 WIB
844

Eklesia Valentia, mahasiswi PKN STAN semester 4 prodi DIII Kebendaharaan Negara. Foto: Doc/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co - Pandemi COVID-19 memberikan dampak yang besar bagi banyak pihak mulai dari masyarakat kelas atas sampai kelas bawah. Perekonomian dunia terpantau mengalami kemunduran termasuk Indonesia.

Dalam menghadapi permasalahan tersebut, pemerintah menyiapkan berbagai kebijakan untuk pihak yang terdampak pandemi. UMKM dan pekerja informal merupakan salah satu pihak yang paling terdampak dalam masa pandemi ini.

Pembatasan Sosial Berskala Besar dan karantina wilayah menyebabkan kegiatan perekonomian UMKM dan pekerja informal melemah. Bahkan beberapa dari mereka terpaksa kehilangan pekerjaan sedangkan kehidupan mereka tetap harus berjalan. Pembayaran cicilan kredit pun menjadi macet.

Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan kebijakan relaksasi penundaan bayar cicilan kredit dan pembiayaan dari bank dan multi finance kepada masyarakat untuk meringankan beban mereka.

Kebijakan yang diambil yaitu relaksasi restrukturisasi kredit. Kebijakan restrukturisasi kredit ini diberikan demi meringankan beban pengembalian pokok dan bunga kredit.

Menurut website resmi OJK, restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang berpotensi mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya.

Kebijakan restrukturisasi kredit yang dilakukan pihak bank antara lain melalui penurunan suku bunga kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas kredit dan konversi kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara.

Namun ternyata, pada penerapannya kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit tidak berjalan lancar sesuai harapan, terutama di saat pandemi COVID-19 ini. Muncul pro kontra dari berbagai pihak, mulai dari pelaku usaha sampai dari pihak bank itu sendiri. Serta kebijakan ini kerap disalah-artikan oleh debitur dan nasabah. Banyak yang mengira relaksasi ini sebagai pembayaran kredit kendaraan yang ditangguhkan selama 1 tahun.

Ekonom Bank Permata, JosuaPardede mengatakan, pemerintah, perbankan dan perusahaan leasing hendaknya menyosialisasikan maksud dari restrukturisasi kredit.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah mengatakan, kebijakan restrukturisasi kredit ini meskipun bernilai baik namun belum siap.

Piter mencotohkan saat Jokowi memberi pernyataan soal pelonggaran ini, terjemahan kebijakan di level OJK dan perbankan belum siap. Alhasil tak dipungkiri banyak perbedaan persepsi terjadi.

Piter juga menambahkan, akan lebih berbahaya lagi bila ada oknum yang mengambil keuntungan dari kebijakan ini padahal ia tidak terdampak pandemi COVID-19 (tirto.id).

Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Ikhsan Ingratubun, mengeluhkan bahwa pengajuan restrukturisasi kredit ke lembaga jasa keuangan swasta, baik bank maupun non bank, masih sulit. Berbeda dengan lembaga-lembaga jasa keuangan milik Negara, pemberitaan soal angka-angka persetujuan restrukturasi kredit tidak berlaku bagi bank-bank swasta.

Pelaku UMKM yang sudah terlanjur meminjam di bank swasta harus menghadapi administrasi yang berbelit-belit dan potensi pengajuan restrukturisasi yang ditolak (bisnis.com).

Menurut Komisaris Utama BPR Lestari Bali, Alex P Candra, kebijakan restrukturisasi kredit merupakan bentuk pelimpahan tanggung jawab pemerintah kepada bank. Kebijakan ini membuat bank harus memberikan keringanan tanpa ada dukungan dari pemerintah (bisnis.com).

Menurutnya pemerintah sebaiknya memberikan stimulus untuk perbankan yang dapat disalurkan kepada debitur. Stimulus tersebut berupa pinjaman kepada bank untuk menutupi kewajiban debitur.

Besaran stimulus tersebut sebesar relaksasi yang bank berikan kepada debitur dan jangka waktunya juga selama relaksasi tersebut. Agar kebijakan restrukturisasi ini berjalan adil, pemerintah melalui Bank Indonesia sebaiknya memberikan dukungan kepada bank. Juga Bank Indonesia diminta benar-benar menjadi lender of the last resort agar likuiditas perbankan terjaga dengan baik.

Sebaliknya, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Djoko Suyanti mengatakan, kebijakan restrukturisasi justru memberikan sejumlah keuntungan bagi bank, antara lain yaitu dari penilaian kualitas kredit yang terhitung lancar dan bank menjadi lebih efisien karena tidak perlu meningkatkan biaya pencadangan.

Terkait posisi likuiditas, Djoko menilai hingga saat ini BPR masih terhitung aman. Meski mengatakan kebijakan restrukturisasi kredit belum siap, Piter Abdullah berpendapat bank tidak dipaksakan untuk melakukan restrukturisasi.

Jika kebijakan restrukturisasi dinilai tidak penting, maka bank dapat memilih opsi menolak penerapan restrukturisasi. Piter Abdullah mengatakan jika bank tidak melakukan restrukturisasi maka akan ada konsekuensi peningkatan biaya pencadangan meningkat. Hal ini berarti bank harus rela kehilangan likuiditas karena peningkatan biaya pencadangan tersebut.

Namun sebaliknya, kebijakan restrukturisasi justru dinilai menguntungkan bank. Meskipun kebijakan tersebut menurunkan cash flow bank, tetapi bank terhindar dari kredit macet.

Terkait bentuk stimulus berupa pinjaman yang diberikan pemerintah kepada bank menurutnya Perppu 1 Tahun 2020 sudah cukup memberikan stimulus bagi industri perbankan (bisnis.com).

Dampak ke Perbankan

Perbankan tanah air mulai menindak-lanjuti ketentuan OJK terkait relaksasi kredit akibat pandemi COVID-19. Para pihak bank telah menyiapkan sejumlah skema maupun ketentuan terkait restrukturisasi kredit. Sejumlah bank mengaku tidak akan sembarangan memberikan keringanan.

Direktur Kepatuhan PT Bank Mayapada Tbk, Rudy Mulyono, mengatakan pihaknya akan memperketat penilaian dibandingkan kondisi normal, dengan melakukan kunjungan usaha untuk melihat kelancaran usaha, aruskas, analisis rekening usaha dan kualitas kredit debitur di bank lain (kontan.com).

Empat bank pelat merah yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yaitu PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank MandiriTbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia (BBNI) dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) sudah menyusun ketentuan umum untuk menilai kelayakan debitur untuk menerima relaksasi ini.

Opini

Presiden Jokowi melalui POJK Nomor 11/POJK.03/2020 memberikan arahan terkait kebijakan relaksasi untuk restrukturisasi kredit guna mengatasi kondisi ekonomi masyarakat yang memburuk akibat COVID-19. Akan tetapi, penerapan kebijakan yang tidak tepat sasaran dapat memicu oknum untuk memanfaatkan relaksasi kredit tersebut sehingga memberikan dampak buruk ke perbankan dan perekonomian nasional.

Pada praktiknya, hanya sebagian bank yang setuju bahwa relaksasi kredit diberikan untuk debitur yang merupakan pasien dalam pemantauan (PDP) atau pasien COVID-19.

Disisi lain, semua lapisan masyarakat mengalami penurunan pendapatan bahkan mengalami kebangkrutan.

Di samping itu, mekanisme pengawasan terkait penerapan kebijakan ini dirasa tidak cukup optimal. Sebaiknya dibentuk sistem pengawasan terkait ketentuan pengajuan relaksasi kredit yang dapat diterima.

Penerima relaksasi kredit harus sesuai dengan kategori yang diatur dalam POJK tersebut serta didukung oleh keselarasan penerapan peraturan dari pihak perbankan atau lembaga keuangan.

Selain itu, sebaiknya kebijakan ini tidak hanya diperuntukkan bagi para nasabah konvensional atau lembaga keuangan namun juga masyarakat yang menggunakan jasa keuangan seperti pinjaman online. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah melalui OJK dapat mensosialisasikan peraturan tersebut secara optimal dan mengevaluasi hasil implementasi kebijakan tersebut. (*)