Estafet Narsisme Pemimpin Dalam Penanganan Covid-19 oleh Sulaiman
Bung Kupas - Eksisitensi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) atau yang lebih dikenal virus Corona mulai tenar ketika pertama kali terdengar pada 17 November 2019 di Wuhan, Provinsi Hubei China.
Makhluk berukuran tak kasat mata ini, mampu membuat jutaan ribu pasang mata terfokus, dan dipaksa mengetahui serta memahami, darimana, bagaimana, hingga akhirnya manusia dipaksa mencari apa yang harus dilakukan untuk menghentikan jalur penyebarannya. Pasalnya, dalam waktu sekejap, virus yang diklaim berasal dari hewan nokturnal yakni kalelawar ini, menyabut ribuan nyawa di daerah tersebut.
Bahkan negara Adikuasa seperti Italia, dan Amerika Serikat yang sudah mencapai 1.188.555 kasus, serta disusul oleh Negera Spanyol 247.122 kasus per 4 Mei 2020. Negara-negara yang dikalim memiliki pertahanan dibidang kesehatan super mewah itu pun dibuat 'kelabakan' dan tak berdaya. Bagaimana tidak, dalam waktu singkat, beberapa sektor tak mampu menahan "gempuran" pasukan virus yang merusak sendi pernafasan manusia itu.
Data Worldometers yang diperbarui per pukul 17.06 WIB, 4 Mei 2020 menunjukkan jumlah total kasus positif corona di seluruh dunia sudah sebanyak 3.582.464 pasien.
Angka kematian pasien Covid-19 di dunia juga terus bertambah menjadi 248.561 jiwa. Sedangkan jumlah pasien corona yang berhasil sembuh belum ada separuh dari total kasus, yakni 1.160.080 orang. (Sumber: Tirto.id).
Hingga akhirnya organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO) menjadikan Virus ini menjadi Pandemi Gelobal pada tanggal 11 Maret 2020.
Sempat Diremehkan
"Takabur" mungkin itulah kata yang tepat disematkan untuk negara Indonesia dalam menghadapi gempuran Virus Pandemi Gelobal ini. Dari mulai suka "makan nasi kucing" hingga suka baca doa Qunut, yang bagi para pentinggi dan pemilik kebijakan itu membuat Indonesia takan bisa diserang virus corona. Kecongkakan atau kesombongan para elit, menjadi perbincangan hangat warganet yang menilai para elit dalam menampik isu global, yang pada saat itu dikabarkan virus mematikan sudah masuk di negara maritim ini.
Indonesia sempat mengkalim bahwa negera kepulauan ini tak tersentuh oleh virus Corona. Namun hal itu akhirnya terbantahkan dengan sendirinya. Tepat pada Senin (02/03/2020), Presiden Joko Widodo secara langsung mengumumkan di Istana Negara, bahwa ditemukan 2 orang warga Depok terinfeksi virus corona yang disebut tertular dari Warga Negara Asing (WNA) asal Jepang.
Bak bola salju yang terus bergelinding di tengah hamparan salju. Kasus yang terkonfirmasi positif semakin bertambah dan bahkan meluas hingga hampir seluruh provinsi di Indonesia. Dimana hingga 5 Mei 2020 terkonfirmasi sebanyak 12.071 orang positif corona, dengan rincian pasien sembuh berjumlah 2.197 dan meninggal berjumlah 872 kasus. Dimana DKI Jakarta menjadi Episentrum dengan total kasus berjumlah 4.641 orang positif Corona, sembuh 711 orang dan yang meninggal sebanyak 414 orang.
Narsisme Para Pemimpin Hadapi Covid-19
Tidak ada kekompakan, mungkin inilah nilai yang layak disematkan bagi para pemimpin tertinggi pusat hingga daerah dalam mengatasi kecepatan penyebaran virus Corona di Bumi Pertiwi. Lambannya sistem informasi yang dibangun pemerintah pusat dengan daerah (begitu sebaliknya). Sempat membuat Publik menjadi gundah dalam mengambil langkah pertahanan kesehatannya.
Terkait data kasus covid misalnya, sempat terjadi ketidaksingkronan antara data pemerintah pusat dengan daerah dalam menghitung jumlah pasien baik yang positif, meninggal maupun sembuh.
Di DKI Jakarta, Kemenkes mencatat ada 2.815 kasus positif virus corona (246 orang meninggal dunia, 204 orang sembuh), lalu ada 2.991 ODP dan 2.457 PDP. Namun versi dari Pemprov DKI Jakarta ada 2,823 kasus positif virus corona (250 orang meninggal dunia, 203 orang sembuh), lalu 3.779 ODP dan 2.865 PDP.
Kemudian di Banten, data pusat mencatat ada 311 kasus positif virus corona (34 orang meninggal dunia, 9 orang sembuh), lalu 4.973 ODP dan 940 PDP, sementara data Pemprov Banten yang tercatat 299 kasus positif virus corona (36 orang meninggal dunia, 31 orang sembuh), lalu 5.268 ODP dan 1.029 PDP. Di Jawa Barat, data pusat mencatat ada 632 kasus positif corona (56 orang meninggal dunia, 41 orang sembuh), 31.885 ODP dan 2.775 PDP. Tapi, catatan Pemprov Jawa Barat ada 570 kasus positif virus corona (53 orang meninggal dunia, 28 Sembuh), 32.398 ODP dan 2.892 PDP.
Di luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi Selatan, pemerintah pusat mencatat ada 332 kasus positif virus corona (23 meninggal, 43 sembuh), 2.752 ODP dan 427 PDP. Pemprov Sulsel sendiri berbeda catatannya, yaitu 242 kasus positif virus corona (22 meninggal, 44 sembuh dan 176 dirawat), 3.149 ODP dan 461 PDP (23 meninggal dan 194 sehat). (Sumber: Detik.com yang diterbitkan pada 18 April 2020)
Perbedaan tersebut diamini oleh Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo menyebut bahwa data pasien Covid-19 yang dimiliki Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan pemerintah daerah tidak sama, hal ini dikarenakan kendala teknis. (Kompas.com 7 April 2020)
Kemudian, terkait tidak searahnya pikiran antara Pemerintah DKI Jakarta dan juga pusat dalam memutuskan kebijakan apa yang harus diambil dalam menangani kasus penyebaran Virus Covid-19. Di Jakarta yang sudah menjadi Episentrum penyebaran virus Corona misalnya. Ditolaknya pengajuan karantina wilayah atau yang lebih dikenal saat ini Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB). Dimana Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengajukan penerapan PSBB lebih awal, namun sempat ditolak oleh kementrian kesehatan (Kemenkes) yang tertuang dalam surat Menteri Kesehatan RI Nomor KK.01.01/Menkes/227/2020 Perihal Usulan Penetapan PSBB di Wilayah DKI Jakarta. Meskipun akhirnya PSBB tersebut disetujui oleh Kemenkes Sendiri pada 7 April 2020.
Hal-hal tersebutlah yang sempat membuat publik bingung dengan kepastian jumlah kasus yang terjadi. Perbedaan jumlah kasus antara pusat dan daerah, penentuan zona yang simpang siur. Saling klaim, berusaha menjadi yang terbaik dalam penangan kasus, menjadi drama serius yang sepanjang waktu dipertontonkan para elit di negeri ini.
Sikap petinggi pusat, yang terlihat tak mau mengalah dengan keputusan pemerintah daerah, dalam mengambil kebijakan. Dimanan kebijakan pemerintah daerah selalu dianggap salah dan tak sejalan dengan pemikiran pemerintah pusat. Hingga akhirnya membuat gelombang kasus menjadi bom waktu yang mungkin tak bisa dikendalikan. Semua berlaga super hero dan bersikap paling pintar. Saling adu argumen terkait kebijakan yang sebenarnya sedang berkejaran dengan waktu. Publik hanya bisa melihatnya di media-media sosial dengan sesekali tertawa di atas kelaparannya.
Akibat dari Virus Corona ini, ribuan pekerja di PHK atau dirumahkan, pabrik tutup, pergerakan manusia dibatasi. Ini dilakukan dan diklaim sebagai langkah untuk memutus mata rantai penyebaran. Akhirnya Pemerintah mengelontorkan anggaran 405,1 triliun untuk penanganan kasus ini, hal tersebut disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, pada Selasa (31/3/2020).
Dengan rincian Rp75 triliun untuk belanja bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk perlindungan sosial, Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat, Rp150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. (Sumber: Kompas)
Namun pada realita di lapangan, masih menjadi bahasan di tengah masyarakat. Anggaran untuk kesehatan misalnya, Presiden Jokowi menyiapkan anggaran sebesar 110 triliun rupiah. Namun faktanya hingga detik ini, tenaga medis yang menjadi pasukan garda terdepan dalam penanganangan kasus Covid19, masih mengeluhkan kurangnya Alat Pelindung Diri (APD), sebagai satu-satunya perisai agar tidak terpapar virus. Banyak diberitakan, tak sedikit tenaga medis yang akhirnya terpapar, dan beberapa dinyatakan meninggal dunia akibat terinfeksi virus corona. Hanya karena tak tersedianya APD di setiap rumah sakit. Hingga akhirnya, ratusan hingga ribuan relawan bersatu, menggalang dana untuk membantu menyediakan APD untuk tenaga medis.
Yang menjadi lebih miris adalah, di tengah semakin merebaknya virus yang mengakibatkan perekonomian di Indonesia ambruk. Sampai akhirnya muncul PHK masal karena pengusuha mengalami penurunan pendapatan. Di tengah keterpurakan itulah, Gelombang narsisme dari para pemimpin bermunculan. Para elit muncul di tengah masyarakat, dengan dikelilingi mata kamera, memotret untuk mengabadikan segala sesuatu yang berbau sosial. Berusaha terlihat menjadi seorang pemimpin yang dianggap paling peduli di tengah pandemi. Memajangnya di status sosial media, mengundang kalangan pewarta, menerbitkannya disetiap media online, cetak, serta televisi demi meningkatkan popularitas.
Ribuan paket sembako disiapkan, dicap dengan gambar wajah dan nama serta jabatan. Menjadi "Aji Mumpung", para pemimpin berlomba-lomba mengharap mendapat sambutan hangat dan pujian dari rakyat yang berteriakpun tak bisa. Membawa bingkisan sembako dengan kendaraan, berhenti di pinggiran jalan, mengundang masyarakat untuk berkumpul dan dibagikan sembako, lalu memotretnya, dan kemudian disebarkan diseluruh akun media sosial dengan tulisan "Peduli Covid-19".
Estafet narsisme itupun berlanjut hingga ke pelosok negeri. Di Lampung Misalnya, hancurnya perekonomian rakyat dampak dari penyebaran Virus ini, menjadi arena bermain dalam memenangkan hati rakyat, yang mungkin sebagai ladang suara dalam Pemilu dikemudian hari. Mulai dari RT, RW, Lurah, Camat, Walikota, hingga Gubernur mencari eksistensi dan mengembangkan bakat narsisme, yang sudah mulai dinyalakan dari pimpinan tertinggi di negeri ini.
Para pemimpin disejumlah daerah, memperbanyak karung-karung beras, mengatasnamakan bantuan sosial pemerintah daerah, namun dipajang wajah serta nama lengkap dengan gelar pendidikannya.
Entah hingga kapan, wabah ini akan berakhir. Inilah yang seharusnya menjadi point penting bagi pemerintah. Memberikan kepastian, keamanan, dan kenyamanan masyarakat, harus menjadi tombak utama dalam menjadi pelayan masyarakat. Lakukan pergerakan nyata tanpa harus ada embel-embel harapan pujian dari warga.
Buka semua data terkait Covid19 dan penyebarannya. Lakukan sosialisasi secara rutin agar masayarakat mendapatkan pemahaman yang komplit. Tegas dalam mengambil keputusan, hilangkan terlebih dahulu politik. Saatnya untuk lebih peduli terhadap nasib masyarakat. Lengkapi kebutuhan masyarakat, mungkin masyarakat akan lebih menerima dalam setiap keputusan.
Kerjakanlah segala sesuatu dengan ikhlas, tanpa pamrih. Dengan anggran yang dimiliki orovinsi Lampung untuk penanganan Covid -19 sebesar 240 Milyar Rupiah. Penulis merasa, anggaran tersebut dapat mencukupi kebutuhan tenaga medis baik untuk APD maupun gizi tenaga medis yang lelah bekerja 24 jam di rumah sakit. Kemudian pastikan kebutuhan masyarakat terjamin. Hal ini diyakinkan, masyarakat akan lebih leluasa melaksanakan himbauan pemerintah seperti untuk tetap berada di rumah, guna memutus mata rantai penyebaran covid-19.
Karena ketahuilah, pada dasarnya, rakyat tahu siapa dan apa jabatan kalian tanpa harus ditempelkan disetiap kebijakan. Presiden akan tetap menjadi presiden setelah pandemi, begitu juga dengan Gubernur, Walikota, Bupati. Rakyat hanya butuh kalian hadir sebagai solusi, bagaimana langkah menghentikan penyebaran virus ini, bukan sebagai nama diri.
Semoga, Pandemi ini lekas padam di bumi ini, dan manusia mampu mengambil hikmah dari setiap tragedi. Dikutip dari Wanita kuat yang dimiliki Pertwi. "Habis Gelap Terbitlah Terang", RA. Kartini.
Salam. (*)
Berita Lainnya
-
Dinamika Pilkada Serentak 2024 di Tengah Transisi Kepemimpinan Nasional, Oleh: Donald Harris Sihotang
Selasa, 23 Juli 2024 -
Pemeriksaan Kejagung, Ujian Berat Eva Dwiana Menjelang Pilkada Bandar Lampung 2024, Oleh: Donald Harris Sihotang
Rabu, 17 Juli 2024 -
Kota Baru, Menghidupkan Kembali Impian yang Terbengkalai di Pilkada Gubernur Lampung 2024, Oleh: Donald Harris Sihotang
Senin, 15 Juli 2024 -
Pilkada 2024: Perubahan Regulasi dan Dampak Politik Dinasti, Oleh: Donald Harris Sihotang
Rabu, 03 Juli 2024