• Sabtu, 20 April 2024

Ewuh Pakewuh, Oleh Zainal Hidayat, S.H.

Selasa, 17 Maret 2020 - 07.36 WIB
65

Zainal Hidayat, S.H.

Bung Kupas - Pagi itu sekitar pukul 08.00 WIB, ponselku berbunyi. Di layar ponsel hanya tertulis angka-angka. Bisa dipastikan jika si penelepon bukan orang yang kukenal. Biasanya jika tidak tertulis nama penelepon, saya jarang mau menjawab. Namun entah kenapa, saat itu dengan reflek aku menekan tombol jawab.

Ternyata penelepon adalah seorang legislator. Selama ini aku jarang ketemu dengannya, namun cukup akrab. Karena kebetulan istri dari wakil rakyat ini adalah seorang kepala daerah yang cukup dekat denganku.

Aku teringat lima tahun lalu, legislator ini minta bantuanku agar bisa mendapatkan syarat untuk maju menjadi anggota legislatif. Sudah menjadi sifatku, selama aku bisa membantu dalam batas norma-norman kewajaran maka kukerjakan.

Alhamdulillah, saat itu berhasil mengantarkannya duduk di kursi legislatif. Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu dengan dia lagi. Bahkan, untuk menelepon pun tidak terbersit.

Setelah lima tahun berlalu, ia kembali menghubungiku. Kembali ia meminta bantuanku untuk membuatkan syarat yang sama untuk kembali maju ke pemilihan legislatif. Kembali, dengan lugunya aku pun menyanggupinya. Namun belakangan saya tahu, ternyata si legislator kemudian mundur dari pencalonan.

Kepada setiap orang yang ditemuinya, ia bersama istrinya selalu mengganggap aku saudaranya. Meskipun demikian, entah kenapa aku tidak pernah bangga meskipun dianggap saudara oleh sang kepala daerah tersebut.  

Aku merasa khawatir, hal itu nantinya justru akan menjadi bumerang dalam melaksanakan tugas sebagai jurnalis. Aku khawatir suatu saat akan mengkritiknya habis-habisan, ketika ada sesuatu yang tidak benar dengan dirinya.

Ternyata berteman dengan pejabat sekelas kepala daerah, tidak selamanya menguntungkan. Mungkin bagi sebagian pihak, hal itu akan bisa mendatangkan nilai plus. Biarlah menjadi orang lain bagi dirinya, namun bisa tetap berkarya dengan profesional.  (*)

Editor :