• Minggu, 24 November 2024

Raja Olah, Oleh Donald Harris Sihotang S.E, M.M

Jumat, 06 Maret 2020 - 07.05 WIB
372

Donald Harris Sihotang S.E, M.M

Bung Kupas - Beberapa hari ini sejumlah warga net di Bandar Lampung lagi ramai membahas soal raja olah. Ulasan soal topik ini terjadi di media sosial, dan di grup-grup percakapan, seperti whatsapp. Namun saya tidak masuk pada siapa yang melontarkan kalimat raja olah itu, dan ditujukan kepada siapa.

Poin saya adalah bahwa pada musim Pemilu, musim pemilihan kepala daerah, raja olah adalah sebuah fenomena yang sulit dihindari. Ada yang mengolah supaya jagonya menang, ada yang mengolah supaya dana operasional tim sukses cair, ada yang mengolah dengan jualan hasil survey, bahkan ada juga yang mengolah dengan jualan data fiktif. Jadi macam-macam tukang olah dalam pesta demokrasi.

Lampung pada September 2020 ini akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah di 8 Kabupaten/kota. Yaitu, Bandar Lampung, Metro, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Timur, Way Kanan, Pesawaran, dan pesisir Barat. Calon yang maju di Pilkada, sudah pasti dalam visi-misi-nya mengusung janji politik. Menjanjikan berbagai program, dari dunia nyata sampai program alam gaib.

Bahkan, tidak sedikit yang mengklaim programnyalah yang paling tepat, yang paling hebat, paling jitu dibanding calon lainnya. Padahal, jika sudah terpilih belum tentu punya inovasi, janji tidak ditepati, seperti lagu yang dipopulerkan oleh Yuni Shara ‘janji-janji tinggal janji’.

Ketika menjadi salah satu peserta pada Pemilu 2019 lalu, saya punya pengalaman soal raja olah. Ada orang datang ke saya dan menjajikan sekian suara di sejumlah TPS. Karena saya menggunakan logika,  saya menolaknya dengan cara yang halus. “Selain takut aturan, saya tidak memiliki amunisi yang cukup untuk melakukan itu”jawab saya ketika itu.

Artinya, olah-mengolah di musim Pemilu itu sudah jamak terjadi. Tidak perlu terlalu sensitif. Yakinlah, setiap orang sudah punya garis tangan. Tuhan mana bisa dipaksa.

Ada lagi fenomena lain dalam setiap musim Pilkada. Ini ada kaitannya juga dengan raja olah. Misalnya, ketika kita ketemu dan ngobrol, akrab dengan salah satu calon, calon lainnya langsung mengklaim kita ini jadi pendukung lawan politiknya. Inikan kerjaan pembisik yang ngga benar. Kerjaan raja olah. Di daerah, di lingkungan Pemda, kasus seperti ini banyak memakan korban. Karena bisikan orang, dan yang dibisikin juga tipis kuping.

Banyak ASN yang bergeser (nonjob) pasca pesta Pilkada. Kasihan, padahal belum tentu yang digeser itu terlibat dukung mendukung. Penilaiannya sudah subjektif, bukan lagi berbasis keilmuan atau kinerja. Tapi Lebih kepada faktor suka atau tidak suka. Saya punya kenalan, secara keilmuan tidaklah pintar-pintar amat. Tapi ngolah beginian dia jagonya. Dia banyak menangguk untung dalam suksesi pesta demokrasi, spesialis pesta politik lima tahunan. Sekali lagi, raja olah di musim Pemilu itu jamak terjadi.

Pada Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Serentak yang akan digelar Rabu, 23 September 2020 ada sebanyak 270 daerah yang akan mengikuti pilkada serentak gelombang empat ini. Rinciannya yaitu terdiri 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Perhelatan pilkada selain fenomena raja olah juga berpotensi muncul persoalan penyelenggaraan, politik uang, Penyebaran hoax atau fitnah yang memicu gesekan di masyarakat. Termasuk isu SARA. Padahal isu SARA dan hegemoni identitas bisa membuat masyarakat terbelah. Hal-hal seperti ini harus diantisipasi. (*)


Artikel ini sudah terbit di SKH Kupas Tuntas Edisi Cetak, Jumat (06/03/2020) dengan judul 'Raja Olah'