Fenomena Masker, Oleh Zainal Hidayat, SH
Bung Kupas - Sebelum marak virus Corona, sejumlah orang di Indonesia sudah biasa memakai masker khususnya saat hendak naik kendaraan. Tidak heran, jika kemudian banyak orang mengenakan masker baik di jalan atau ketika di dalam transportasi umum. Bahkan saat memesan seperti Gojek dan Grab, penumpangnya juga seringkali memakai masker.
Setelah virus Corona merebak, masker seperti menjadi barang kebutuhan pokok. Meski sebenarnya sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), masker hanya diwajibkan dipakai untuk orang yang sedang sakit.
Seperti dilansir dari Matador Network, kebiasaan memakai masker berasal dari Jepang, yang kemudian menjadi sebuah kebiasaan bagi orang-orang Asia.
Tren menggunakan masker di negara Asia Timur seperti Jepang, China, dan Korea dipengaruhi budaya Taoisme. Negara-negara ini memiliki kepercayaan tentang pengobatan tradisional China yang meyakini bahwa napas dan pernapasan merupakan bagian terpenting dari kesehatan.
Di sisi lain, mengekspos diri ke udara yang buruk bisa sangat merugikan. Konsep ini disebut sebagai qi yang dalam bahasa China berarti 'atmosfer' atau 'bau'.
Para penganut 'Taoisme' percaya bahwa ketika 'qi' tubuh habis, rasa sakit dan penyakit lebih mudah berkembang dalam tubuh. Oleh sebab itu, pernapasan yang bersih sangat penting untuk menjaga 'qi' dalam tubuh.
Salah satu cara untuk memastikan pernapasan bersih adalah dengan menutupi wajah dengan masker untuk mencegah 'qi' baik tetap di dalam tubuh dan mencegah udara buruk masuk ke dalamnya.
Taoisme atau Daoisme, adalah ajaran yang diprakarsai oleh Laozi sejak akhir zaman Chunqiu yang hidup pada 604-517 M atau abad ke-6 sebelum Masehi.
Penggunaan masker di Jepang juga bisa ditelisik dari sisi sejarahnya. Masker mulai populer digunakan sejak gempa besar melanda Tokyo dan Yokohama tahun 1923. Gempa ini menghancurkan 600.000 rumah sehingga membuat udara dipenuhi asap dan debu dalam beberapa minggu. Karena polusi itulah, penggunaan masker menjadi umum bagi penduduk Jepang.
Sekitar satu dekade setelahnya yaitu tahun 1934, masker itu menjadi tren lagi ketika flu global mewabah. Mereka menggunakan masker bukan untuk menghindari bakteri luar tetapi untuk menjaga bakteri baik di dalam tubuhnya tidak keluar.
Fenomena ini semakin memuncak pada 1950-an, ketika industrialisasi pasca-perang mengakibatkan polusi udara meluas sehingga mendorong banyak orang Jepang untuk mengenakan masker sepanjang tahun.
Selain untuk menjaga kesehatan, masker juga dipercaya memiliki manfaat untuk mengontrol sosialisasi. Psikolog remaja Jun Fujikake mengatakan bahwa orang bisa mengontrol ekspresi ketika menggunakan masker. (*)
Artikel ini sudah terbit di SKH Kupas Tuntas Edisi Cetak, Kamis (05/03/2020) dengan judul 'Fenomena Masker'
Berita Lainnya
-
Dinamika Pilkada Serentak 2024 di Tengah Transisi Kepemimpinan Nasional, Oleh: Donald Harris Sihotang
Selasa, 23 Juli 2024 -
Pemeriksaan Kejagung, Ujian Berat Eva Dwiana Menjelang Pilkada Bandar Lampung 2024, Oleh: Donald Harris Sihotang
Rabu, 17 Juli 2024 -
Kota Baru, Menghidupkan Kembali Impian yang Terbengkalai di Pilkada Gubernur Lampung 2024, Oleh: Donald Harris Sihotang
Senin, 15 Juli 2024 -
Pilkada 2024: Perubahan Regulasi dan Dampak Politik Dinasti, Oleh: Donald Harris Sihotang
Rabu, 03 Juli 2024