Fenomena WeChat Oleh: Donald Harris Sihotang, S.E, M.M
Bung Kupas - Beberapa minggu lalu saya menghadiri acara Hari Pers Nasional (HPN) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Tiga hari di Kalimantan, saya menggunakan aplikasi grab untuk memesan kendaraan sebagai alat transportasi.
Kendaraan itu mengantar saya untuk menghadiri sejumlah kegiatan HPN, juga menyusuri sejumlah tempat-tempat wisata di daerah setempat. Seperti, pasar terapung di Banjarmasin, maupun pusat oleh-oleh di Martapura.
Dari pengemudi grab saya dapat informasi, kalau prostitusi marak di Banjarmasin, menggunakan aplikasi WeChat. Pasarannya rata-rata Rp300 ribu – Rp500 ribu untuk satu kali kencan. Mereka stay di hotel-hotel melati, menunggu pelanggan yang sama-sama menggunakan aplikasi percakapan WeChat.
Nah, bagi anda yang punya aplikasi ini, patut dicurigai. “Tapi hati-hati Pak, banyak juga yang bohong (menipu), kalau diminta bayar DP jangan mau, kalau mau bayar di tempat atau Cash On Delivery (COD),” sarannya.
Pikiran saya lalu teringat pada peristiwa yang belum lama berlalu. Yaitu penggerebegan PSK oleh anggota DPR RI Andre Rosiade, di Padang, Sumatera Barat. PSK yang digerebeg politisi Gerindra itu juga dipesan lewat aplikasi WeChat. Uniknya, PSK-nya ditangkap setelah dipakai. Pemesannya tidak diungkap, tapi saya tidak mengulas itu.
Poin saya adalah, bahwa fenomena prostitusi menggunakan aplikasi WeChat ini tengah tren di sejumlah daerah di Indonesia. Lalu bagimana di Bandar Lampung? Di Bandar Lampung juga tak mau kalah. Pulang dari Kalimantan Selatan, saya baru download aplikasi WeChat. Benar saja, banyak status pengguna aplikasi tersebut di Ibu Kota Provinsi Lampung ini ‘open BO’ atau Booking Out. Mereka stay di sejumlah hotel melati di kota ini, prostitusi terselubung disambungkan oleh teknologi digital. Kalau mau bukti, silahkan anda download aplikasinya, dan buktikan sendiri.
Prostitusi massif dan terselung, tentu ini sangat berbahaya. Bahaya bagi pelaku dan penggunanya. Kesehatannya tidak terjaga, bisa menularkan virus HIV/AIDS. Harus ada pengawasan dari instansi terkait. Dulu di Bandar Lampung kalau tidak salah pusat protitusi ada di pantai pemandangan, Panjang. Masih termonitor, terpantau dan terjaga. Hari ini, prostitusi menyebar ke seluruh wilayah, menggunakan hotel melati, kamar-kamar indekost, ini persoalan serius, butuh perhatian.
Saya lalu mencoba googling terkait aplikasi WeChat ini. Aplikasi ini dikembangkan oleh Tencent di Tiongkok. WeChat menghadirkan berbagai fitur baru yang cukup lengkap dimana pengguna dapat menggunakannya dalam berkomunikasi, antara lain obrolan, pesan video, momen, pesan suara, emoticon, grup, penambahan teman, dan facebook connect.
Sejak aplikasi ini dilincurkan pada tahun 2011 lalu, pengguna WeChat di Tiongkok pada tahun 2014 diketahui menembus sampai 396 juta pengguna. Pada tahun yang sama, pemerintah negeri Tirai Bambu itu juga menutup 20 juta akun WeChat yang terang-terangan digunakan untuk layanan prostitusi. Artinya, sejak aplikasi ini diluncurkan, banyak digunakan untuk layanan prostitusi. (*)
Artikel ini sudah terbit di SKH Kupas Tuntas Edisi Selasa, 25 Februari 2020 dengan judul 'Fenomena WeChat'
Berita Lainnya
-
Dinamika Pilkada Serentak 2024 di Tengah Transisi Kepemimpinan Nasional, Oleh: Donald Harris Sihotang
Selasa, 23 Juli 2024 -
Pemeriksaan Kejagung, Ujian Berat Eva Dwiana Menjelang Pilkada Bandar Lampung 2024, Oleh: Donald Harris Sihotang
Rabu, 17 Juli 2024 -
Kota Baru, Menghidupkan Kembali Impian yang Terbengkalai di Pilkada Gubernur Lampung 2024, Oleh: Donald Harris Sihotang
Senin, 15 Juli 2024 -
Pilkada 2024: Perubahan Regulasi dan Dampak Politik Dinasti, Oleh: Donald Harris Sihotang
Rabu, 03 Juli 2024