• Kamis, 03 Juli 2025

Kasihan, Hidup Sebatang Kara, Kakek ini Makan Mengandalkan Pemberian Tetangga

Selasa, 11 Februari 2020 - 19.00 WIB
992

Kakek sebatang kara, yang tinggal di Desa Sumberhadi, Kecamatan Melinting, Lampung Timur, butuh perhatian khusus dari Pemerintah setempat.Foto:Agus

Lampung Timur-Poniran hidup sebatang karang dalam kondisi memprihatinkan. Ia hanya menghuni rumah papan dan mengandalkan air hujan, untuk kebutuhan sehari-hari. Sesekali tetangga yang iba memberikan air bersih yang lebih layak dan nasi sepiring untuk makan.  

 

Sorotan sinar matahari menerobos celah-celah dinding geribik yang robek terkoyak usia, saat seorang kakek sepuh berumur 70 tahun tampak duduk di depan tungku untuk merebus air. Kuali ukuran 2 liter terlihat hitam pekat seperti barang tak berguna habis terbakar.

 

Kulit sudah mengriput, pandangan matanya sudah tidak tajam lagi, jalannya sudah membungkuk pertanda tulang punggungnya sudah merapuh. Pria bernama Poniran hidup sebatang kara di Dusun V, Desa Sumberhadi, Kecamatan Melinting, Lampung Timur.

 

Dari jalan desa, terlihat gubuk berdinding papan dengan ukuran 3x5 meter. Gubuk itu merupakan surga bagi kakek sebatang kara itu. Disamping kiri rumah kecil milik Poniran berjajar beberapa kaleng bekas, dan dua ember plastik. Barang bekas itu dimanfaatkan kakek sepuh tersebut untuk menampung air hujan yang digunakan untuk mandi dan keperluan lainnya.

 

"Kalau tidak hujan, biasanya dikasih air sama tetangga," kata Poniran saat ditemui di kediamannya, Selasa (11/2/2020).

 

Poniran berjalan tertatih dari arah belakang rumahnya. Setelah membuka pintu tampak ruang tamu berlantai tanah, dua kursi kayu memanjang dan meja kayu ukuran 1,5 meter sebagai tempat duduk tamunya. Di sudut pojok sebelah barat terlihat sebuah lemari kayu usang masih lengkap dengan cermin namun sudah buram.

 

"Ini rumah saya, sehari-hari kesibukan saya cari kayu bakar untuk masak. Kalau makan sering dikasih tetangga, karena saya sudah tidak sanggup kerja lagi" ujar ujar kakek ini.

 

Ada dua ruang kecil berhadapan, sebelah barat digunakan untuk tidur, berisi "amben" reot, dan kasur usang menjadi landasan tidur malam kakek sepuh itu, dengan kelambu yang sudah lusuh digunakan sebagai perlindungan dari nyamuk di malam hari.

 

Ruang sebelah timur, dengan lantai tanah beralas karung bekas, digunakan sebagai tempat sembahyang kakek tua itu. Terlihat tali tambang membentang menjadi tempat sebuah sajadah dan sarung tersampir tidak teratur.

 

Lalu satu ruang paling belakang, dapur tak layak masih bermanfaat baginya, meskipun dinding geribik yang sudah banyak tersulam dengan plastik masih dimanfaatkan untuk memasak.

 

"Tidak pernah masak aneh-aneh paling cuma rebus air, untuk buat teh dan mandi. Kalau siang sering dikirim nasi sama sayur sepiring untuk sarapan. Kalau sore tidak ada yang kasih makan, ya tidak makan. Tapi kalau pas dikasih beras dari desa bisa masak, biasanya sebulan sekali dikasih beras gratis," ungkapnya dengan raut wajah penuh pasrah.

 

Ironisnya, di rumah itu tidak ada tempat mandi. Melainkan hanya sepetak ruang dari dinding papan ukuran 1x1 meter untuk membuang hajat kecil dan buang air besar, dan tidak ada tempat menampung air bersih. (*)

Editor :