• Jumat, 27 Desember 2024

Objek Korupsi Baru

Jumat, 17 Januari 2020 - 07.34 WIB
485

Zainal Hidayat, SH.

Bung Kupas - Pemerintah bertekad mengalokasikan anggaran dana desa (DD) dengan total Rp400 triliun hingga tahun 2024 mendatang. Sejauh ini Pemerintah Pusat telah mengalokasikan anggaran dana desa mencapai Rp257 triliun sejak 2015 hingga 2019.

Total anggaran dana desa sebesar Rp 257 triliun selama 5 tahun tidak pernah mengalami penurunan setiap tahunnya. Tahun 2015 DD yang digelontorkan Rp20,67 triliun, 2016 sebanyak Rp 46,98 triliun, 2017 Rp 60 triliun, 2018 Rp 60 triliun dan Rp 70 triliun pada 2019. Pada 2020 ini, pemerintah menganggarkan DD sebesar Rp 72 triliun.

Pemerintah berharap keberadaan dana desa akan mampu mendorong percepatan pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ironisnya, justru keberadaan dana desa menjadi bancakan sejumlah kepala desa untuk memperkaya diri sendiri. Dana desa seperti menjadi objek baru yang juga menjadi sasaran empuk para koruptor.

Terbaru, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menghentikan aliran dana desa ke 56 desa yang berstatus fiktif di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Keputusan tersebut diambil berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bersama dengan Polda setempat.

Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis ada 110 kasus penyelewengan dana desa dan alokasi dana desa sepanjang 2016-10 Agustus 2017. Dari 110 kasus itu, pelakunya rata-rata dilakukan kepala desa alias kades.

Dari 139 aktor kasus korupsi dana desa, 107 di antaranya merupakan kepala desa. Selain itu, pelaku korupsi lainnya adalah 30 perangkat desa dan istri kepala desa. Dari 110 kasus korupsi tersebut, jumlah kerugian negaranya mencapai Rp30 miliar.

Adapun sejumlah bentuk korupsi yang dilakukan pemerintah desa, yaitu penggelapan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, mark up anggaran, laporan fiktif, pemotongan anggaran, dan suap.

Dari sejumlah bentuk korupsi itu, ada 5 titik rawan korupsi dalam proses pengelolaan dana desa yaitu dari proses perencanaan, proses pertanggungjawaban, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan, dan pengadaan barang dan jasa dalam hal penyaluran dan pengelolaan dana desa.

Adapun sejumlah modus korupsi yang dipantau ICW, antara lain membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar, mempertanggungjawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain.

Modus lainnya meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan, lalu pemungutan atau pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupaten.  Modus lainnya itu adalah penggelembungan atau mark up pembayaran honor perangkat desa dan mark up pembayaran alat tulis kantor (ATK). Serta memungut pajak atau retribusi desa, namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa atau kantor pajak.

Sungguh ironis, setiap kali ada program pembangunan dengan nilai nomimal spektakuler yang digulirkan pemerintah, saat itu pula praktik korupsi muncul. Meskipun jauh-jauh hari, pemerintah sudah mengingatkan kepala desa untuk berhati-hati dalam mengelola dana tersebut.

Benar kata pepatah “ada gula ada semut”. Setiap ada program pembangunan yang menyedot anggaran besar, saat itu pula oknum-oknum coba mempermainkan anggaran untuk memperkaya diri sendiri, keluarga maupun kelompoknya. Meskipun tidak bisa dipungkiri, keberadaan dana desa telah mampu merubah wajah desa menjadi lebih baik dibanding sebelumnya.

Rilis ICW terkait korupsi dana desa di atas, paling tidak menjadi peringatan pemerintah untuk lebih memperketat aturan penggunaannya agar tidak mudah disalahgunakan. Jika tidak, maka program pemerintah yang mengalokasikan dana triliunan rupiah itu, ibarat menabur garam di laut. Yang akan lebih banyak kerugian yang ditimbulkan, daripada manfaat yang didapat. (*)

Telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas Edisi Jumat, 17 Januari 2020

Baca juga tulisan lainnya dari Zainal Hidayat



Editor :