• Kamis, 15 Mei 2025

Ribuan Nelayan di Lampung Timur Sulit Dapatkan Solar Bersubsidi

Sabtu, 04 Januari 2020 - 15.41 WIB
563

SPBN Pesisir Laut Labuhan Maringgai, sudah tiga bulan tidak beroprasi, nelayan tidak bisa menikmati solar subsidi, Sabtu (4/1/2020). Foto : Agus/kupastuntas.co

Lampung Timur - Selama tiga bulan Setasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) yang berada di Labuhan Maringgai, Lampung Timur berhenti oprasi. Hal tersebut menyebabkan ribuan kapal nelayan tidak bisa menikmati Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar.


Untuk memenuhi kebutuhan oprasional berlayar, terkait dengan bahan bakar (solar) ribuan nelayan Pesisir Labuhan Maringgai, Lampung Timur harus membeli solar non subsidi dengan harga Rp. 6 ribu sampai Rp. 7 ribu per liter. "Ya, karena SPBN tidak beroprasi, kami nelayan harus beli dengan harga non subsidi melalui pedagang eceran,” ujar Kelvin nelayan Labuhan Maringgai, Sabtu (4/1/2020).

 

Lanjut Kelvin,  untuk sekali berlayar dengan waktu 10 hari di tengah laut solar yang dibutuhkan setidaknya 400 liter, artinya dengan selisih harga seribu per liter antara solar subsidi dan non subsidi sudah Rp. 400 ribu penambahan biaya untuk satu kali berlayar, "kalau beli di SPBN harganya Rp. 5.150 per liter, kalau beli di eceren Rp. 6.500," ujar Kelvin.


Sementara itu, pengelola SPBN Binamina Pesisir Labuhan Maringgai, Alfian mengakui SPBN yang dikelolanya sudah tiga bulan berhenti disebabkan habis kontrak, "kontrak SPBN 10 tahun, dan kontrak kami habis pada Oktober lalu,” ujar Alfian.

 

Sejak April 2019 Alfian sudah melakukan perpanjangan kontrak, namun birokrasi perpanjangan di Lamtim dinilai rumit, "untuk buat ijin lingkungan saja pemda mematok anggaran 15 juta,” Kata Alfian.

 

Sementara jika terlalu dipersulit dalam kepengurusan ijin penambahan kontrak SPBN, dampak negatif yang merasakan tidak lain ribuan nelayan yang ada di Labuhan Maringgai. Sementara SPBN yang di kelolanya membawahi 1.100 kapal nelayan, tentu dampak yang di alami nelayan yaitu membeli solar dengan harga non subsidi yang lebih mahal dari harga subsidi.

"Saya tidak perlu bicara dari mana nelayan dapat solar subsidi, namun harga itu sudah permainan para tengkulak,” kata Alfian.


Jika Pertamina memenuhi kebutuhan solar nelayan Labuhan Maringgai, dalam satu hari harus mengeluarkan 16 tangki, itu kuota yang harus dipenuhi pertamina, namun SPBN yang dikelola Alfian hanya mendapat kuota 18 tangki per bulan, dan meskipun SPBN beroprasi tengkulak masih berkiprah karena kebutuhan nelayan yang tidak terpenuhi.

Editor :
Lampung Timur - Selama tiga bulan Setasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) yang berada di Labuhan Maringgai, Lampung Timur berhenti oprasi. Hal tersebut menyebabkan ribuan kapal nelayan tidak bisa menikmati Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar.


Untuk memenuhi kebutuhan oprasional berlayar, terkait dengan bahan bakar (solar) ribuan nelayan Pesisir Labuhan Maringgai, Lampung Timur harus membeli solar non subsidi dengan harga Rp. 6 ribu sampai Rp. 7 ribu per liter. "Ya, karena SPBN tidak beroprasi, kami nelayan harus beli dengan harga non subsidi melalui pedagang eceran,” ujar Kelvin nelayan Labuhan Maringgai, Sabtu (4/1/2020).

 

Lanjut Kelvin,  untuk sekali berlayar dengan waktu 10 hari di tengah laut solar yang dibutuhkan setidaknya 400 liter, artinya dengan selisih harga seribu per liter antara solar subsidi dan non subsidi sudah Rp. 400 ribu penambahan biaya untuk satu kali berlayar, "kalau beli di SPBN harganya Rp. 5.150 per liter, kalau beli di eceren Rp. 6.500," ujar Kelvin.


Sementara itu, pengelola SPBN Binamina Pesisir Labuhan Maringgai, Alfian mengakui SPBN yang dikelolanya sudah tiga bulan berhenti disebabkan habis kontrak, "kontrak SPBN 10 tahun, dan kontrak kami habis pada Oktober lalu,” ujar Alfian.

 

Sejak April 2019 Alfian sudah melakukan perpanjangan kontrak, namun birokrasi perpanjangan di Lamtim dinilai rumit, "untuk buat ijin lingkungan saja pemda mematok anggaran 15 juta,” Kata Alfian.

 

Sementara jika terlalu dipersulit dalam kepengurusan ijin penambahan kontrak SPBN, dampak negatif yang merasakan tidak lain ribuan nelayan yang ada di Labuhan Maringgai. Sementara SPBN yang di kelolanya membawahi 1.100 kapal nelayan, tentu dampak yang di alami nelayan yaitu membeli solar dengan harga non subsidi yang lebih mahal dari harga subsidi.

"Saya tidak perlu bicara dari mana nelayan dapat solar subsidi, namun harga itu sudah permainan para tengkulak,” kata Alfian.


Jika Pertamina memenuhi kebutuhan solar nelayan Labuhan Maringgai, dalam satu hari harus mengeluarkan 16 tangki, itu kuota yang harus dipenuhi pertamina, namun SPBN yang dikelola Alfian hanya mendapat kuota 18 tangki per bulan, dan meskipun SPBN beroprasi tengkulak masih berkiprah karena kebutuhan nelayan yang tidak terpenuhi.

Berita Lainnya

-->