• Kamis, 15 Mei 2025

Alasan Jokowi Tak Terbitkan Perppu KPK Tuai Sorotan

Minggu, 03 November 2019 - 22.34 WIB
37

Kupastuntas.co, Jakarta - Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Agus Sarwono mempertanyakan sopan santun Presiden Joko Widodo sebelumnya menyetujui revisi Undang-Undang KPK. Jokowi diketahui tidak pernah mengajak Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Dalam membahas revisi KPK tidak melibatkan partisipasi publik, Presiden mengatakan pada DPR bahwa KPK itu bagian dari eksekutif, tetapi dalam pembahasan UU menyangkut KPK Presiden malah mengirimkan dua wakil dari kementerian. Kalau sopan mestinya diajak (KPK)," ujar Agus di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Minggu (3/11/2019).

Agus juga menganggap Jokowi tidak sopan saat UU KPK hasil revisi disahkan anggota DPR yang hadir tidak kuorum. "Undang-undang itu disetujui tidak kuorum oleh DPR. Mereka hadir 107, titip absen 182 sehingga seolah-olah kuorum. Sopan atau tidak Presiden membiarkan ini semua?" tanya Agus.

Ia juga mempertanyakan sopan santun Jokowi dalam menghargai aksi demonstrasi yang mendesak Perppu KPK diterbitkan. Terakhir, Agus menuturkan Jokowi tidak menghargai Presiden sebelumnya yang memutuskan Dewan Pengawas.

"Presiden satu-satunya orang yang bisa menunjuk Dewan Pengawas tidak seperti Presiden sebelumnya yang melalui Pansel. Sebagai orang yang sopan santun patut kita pertanyakan adat sopan santun ketatanegaraan Presiden," tandasnya.

Sementara itu, Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menilai Presiden Jokowi hanya memberikan harapan palsu kepada masyarakat. "Presiden Jokowi berikan harapan palsu kepada masyarakat karena beberapa waktu lalu ketika mengundang beberapa orang ke Istana, sempat mengeluarkan statemen bahwa akan mempertimbangkan perppu, tapi faktanya kemarin sudah dibantah, karena alasan sopan santun menghargai judicial review di MK," kata Kurnia Ramadhana, di kantornya, Minggu (3/11/2019).

Tak hanya itu, Jokowi juga dinilai tak mempertimbangkan banyaknya korban dalam aksi masyarakat menolak Revisi UU KPK di berbagai daerah sebagai keadaan yang mendesak. Padahal sudah ada korban yang meninggal. Selain itu, Jokowi dinilai mengingkari janji politiknya mendukung pemberantasan korupsi.

ICW mengaku kecewa karena pada praktiknya revisi UU KPK disahkan dan hingga kini belum terbit Perppu KPK. "Ada janji politik yang disampaikan seorang Jokowi sebelum dia jadi presiden, ketika Nawacita poin keempat dia secara tegas menolak negara lemah dan mendukung pemberantasan korupsi, nyatanya lima tahun 2014-2019 itu tidak terealisasi," ujarnya.

"Diulangi lagi ketika Jokowi juga belum sebagai Presiden ketika mengikuti kontestasi politik 2019, menyebutkan dalam misi pemerintahan Jokowi mendukung upaya pemberantasan korupsi, lagi-lagi ingkar terhadap janjinya," sambung Kurnia.

Senada dengan Kurnia, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, mengaku juga diberi harapan palsu oleh Jokowi terkait pernyataannya yang akan mempertimbangkan Perppu KPK. Sebab, sebagai pihak yang turut hadir dalam pertemuan dengan Jokowi, ia menduga pernyataan Jokowi itu untuk menenangkan massa pendukungnya sesaat.

"Kalau menurut saya sih kelihatan bahwa ada komunikasi politik yang disengaja dibuat supaya ada pendukung-pendukung, sebenarnya kan sebagian besar tokoh-tokoh itu memang orang yang mendukung Presiden Jokowi," kata Bivitri.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, juga menilai belum terbitnya Perppu KPK adalah bentuk peringatan sebentar lagi kembali ke zaman Orde Baru.

Asfina menilai revisi UU KPK tidak hanya dilihat dari sisi pemberantasan korupsi, tetapi juga harus dipandang dalam situasi politik nasional. Ia mengaitkan ada tiga elemen saat ini yang bisa diibaratkan sama seperti kondisi di zaman Orde Baru.

"Kita harus melihat revisi UU KPK bukan hanya di level pemberantasan korupsi. Tapi pemberantasan korupsi harus kita lihat di dalam politik nasional yang lebih luas. Kalau kita kaitkan dengan beberapa UU yang merepresi rakyat, maka sebetulnya ini adalah perulangan yang terjadi sebelum 1998 atau Orde Baru," kata Asfina di kantor ICW, Minggu (3/11/2019).

Asfina menyebutkan, untuk melaksanakan praktik megakorupsi, diperlukan tiga elemen untuk 'menertibkan rakyat'. Salah satu elemen tersebut adanya aksi-aksi yang dibalas dengan tindakan represif.

"Untuk menjalankan megakorupsi itu perlu ada sebuah penertiban rakyat dan semua elemen itu tiga elemen itu sekarang sedang terjadi sekarang. Kita tahu banyak ribuan yang ditangkap berdasarkan keterangan polisi sendiri. UU yang melemahkan kekuatan-kekuatan politik seperti UU Ormas muncul dan juga tidak ada lagi oposisi sudah bersatu, dan pemberantasan korupsi memang tujuan utamanya dilemahkan," kata Asfina.

"Jadi, menurut kami, tidak dikeluarkanya perppu terhadap revisi UU KPK adalah sebuah lonceng bahwa kita resmi masuk ke dalam semacam Orde Baru atau bisa kita sebut sebagai neo Orde Baru," imbuhnya. (Dbs)

Editor :