• Senin, 23 Desember 2024

Inovasi Baru, Petani Kopi Robusta Tanggamus Ciptakan Kopi Codot

Senin, 21 Oktober 2019 - 20.58 WIB
624

Kupastuntas.co, Tanggamus – Kabupaten Tanggamus sejak dahulu dikenal sebagai daerah penghasil kopi robusta terbesar, dengan kontribusi 40 persen dari total hasil kopi di Lampung. Namun belakangan, petani kopi di Bumi Begawi Jejama ini sedang terpuruk. Besarnya permintaan pasar tak diiringi dengan harga yang sesuai.

Berbagai upaya pun dilakukan para petani untuk meningkatkan penghasilan dari kopi. Seperti yang dilakukan ibu-ibu yang tergabung dalam Kelompok Tani Wanita Hutan (KTWHUT) Himawari di Pekon Margoyoso, Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus. Mereka berinovasi menciptakan kopi olahan yang diberi nama "Kopi Codot".

Dinamakan Kopi Codot, karena kopi ini merupakan hasil memungut dari sisa makanan Codot, yaitu hewan sejenis kelelawar yang termasuk satwa Nocturnal dan hanya aktif pada malam hari. Jika Luwak memakan biji kopi dan kemudian kopi dipungut dari kotorannya, Codot justru hanya memakan daging buah kopi, sementara bijinya dibuang begitu saja.

“Dalam hal ini, Codot memilih buah kopi yang berwarna merah," kata Eka Nur Fitriasari, Ketua KTWHUT Himawari, Senin (21/10/2019).

Menurut Eka, kopi Codot ini memiliki rasa khas serta citra rasa tersendiri, yang selama ini hanya dikonsumsi sendiri oleh para petani. Namun, kadang petani mencampur kopi Codot dengan kopi lain untuk dijual dengan harga murah.

“Tetapi setelah mencoba memasarkan kopi Codot, tanggapan pasar sangat baik. Harga kopi Codot mentah yang ada cangkangnya itu di pasaran, harganya bisa Rp40 ribu per kilogram,” katanya.

Selain kopi Codot, KTWHUT Himawari juga memproduksi kopi Lanang dan kopi Kecil. Kopi Lanang atau lebih dikenal dengan istilah peaberry, merupakan biji kopi pasca panen yang mengalami anomali karena perbedaan pada jumlah keping bijinya. Jika biji kopi pada umumnya adalah dikotil, namun biji  kopi lanang merupakan biji monokotil alami tanpa rekayasa.

“Menurut anggapan penikmat kopi, kopi lanang dapat meningkatkan vitalitas,” ujar Eka.

Terobosan ini, kata Eka diambil karena selama ini, petani tidak dapat menentukan harga sendiri. Harga ditentukan oleh tengkulak. Tentu saja hal ini sangat tidak menguntungkan petani.

“Kita berpikir, mengapa tidak langsung dijual ke pihak perusahaan ataupun tempat lain yang berharga jauh lebih baik,” sebut Eka.

Jika produk dijual ke tempat lain, maka petani tak dapat lagi berutang ke tengkulak. Ini tentu saja akan memutus rantai keterhubungan petani dengan para tengkulak. Padahal, sewaktu-waktu petani butuh biaya tak terduga dan petani tidak memiliki uang,

“Misalnya untuk biaya sekolah anak, berharap pinjaman dengan para tengkulak,” cerita Eka.

Desember 2105, HKM Beringin Jaya mendapat pinjaman modal berupa kredit dengan bunga rendah, melalui program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dari Bank Rakyat Indonesia (BRI), sebesar Rp1,76 miliar. Atas pinjaman tersebut, koperasi menggunakan sistem tanggung renteng. Sistem ini menuntut anggota koperasi agar selalu menghadapi segala resiko secara bersama-sama dalam mengelola pinjaman modal.

Tanggung renteng sendiri, sudah menjadi ungkapan lazim bagi masyarakat Tanggamus. Melalui sistem tanggung renteng ini, petani yang tergabung dalam koperasi yang dibentuk HKM Beringin Jaya, mengelola pinjaman modal kredit tersebut dengan semangat kebersamaan, sama-sama menanggung, terutama bila ada salah satu anggota koperasi yang ingkar, meninggal, atau terjadi hal-hal lain dan menyebabkan anggota lainnya menanggung kredit kolektif tersebut.

Sistem ini berjalan dengan catatan, bahwa kebun yang ditinggalkan oleh anggota yang tidak menunaikan kewajiban pinjaman tersebut, akan diambil alih sementara oleh pengurus koperasi. Nanti apabila kredit pinjaman lunas, kebun akan dikembalikan lagi pada pemiliknya atau ahli warisnya. (Sayuti)

Editor :