Menerka Skenario Penyidik di Balik Penanganan Dugaan Kasus Pungli Inspektorat Lampung
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Penyidik di Subdit 3 Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Lampung menetapkan 2 orang Aparatur Negeri Sipil (ASN) pada Inspektorat Lampung sebagai tersangka dan ditahan, karena diduga melakukan Pungutan Liar (Pungli), Jumat (11/10/2019). Mereka adalah ED (Edi Kurnia) dan MM (Mahyuzard Margapala).
Kedua orang tersebut diduga telah menerima uang senilai Rp11 juta yang kemudian disita sebagai barang bukti dan diamankan melalui mekanisme Operasi Tangkap Tangan (OTT). Uang itu berasal dari Dinas Perindustrian Lampung yang ditengarai penyidik merupakan bentuk pemerasan.
Pemerasan yang dilakukan kedua tersangka dipertegas penyidik dengan menerapkan Pasal 11 dan 12 Huruf e UU No. 20 Tahun 2001 Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 KUHP. Ada 5 orang saksi yang sudah diperiksa penyidik usai OTT yang berlangsung pada Kamis (10/10/2019) lalu.
Belakangan, penanganan perkara Pungli berdasar pada subjektivitas penyidik Subdit 3 Tipikor Ditreskrimsus Polda Lampung itu mendapat kritik. Penerapan pasal dan penetapan tersangka dalam dugaan kasus Pungli ini dinilai janggal oleh sejumlah orang.
Kritik itu datang dari Ginda Ansori Wayka. Koordinator Presidium Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) itu tak setuju jika penerapan pasal-pasal tadi disangkakan kepada 2 pegawai Inspektorat Lampung tersebut. Ia menilai penerapan pasal tadi keliru. Karena, penyidik pada akhirnya hanya memproses si penerima uang.
Padahal, sejumlah pasal yang disangkakan tadi relatif sama ketika KPK menangani perkara Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) melalui metode OTT.
"Saat KPK RI menangani OTT, pemberi dan penerima suap ditangkap dan ditahan. Padahal pasal yang diterapkan penyidik Ditreskrimsus Polda Lampung relatif sama dengan yang dipakai KPK," ujarnya kepada reporter Kupastuntas.co, Minggu (13/10/2019).
Penetapan 2 pegawai Inspektorat Lampung sebagai tersangka pun dikomentari Ginda. Menurut dia, pemberian uang dari pegawai Dinas Perindustrian Lampung kepada MM dan ED selaku staff di Inspektorat Lampung dinilainya tak dapat dilihat hanya sekadar pemerasan. Sebab, pemberian uang itu diduga terkait dengan adanya penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang merupakan kewajiban Dinas Perindustrian.
"Di sini kita duga ada unsur kesepakatan antara pemberi dan penerima. Maka tak elok jika penyidik hanya memproses si penerima suap saja. Pemberi juga harusnya ikut diproses. Kalau hanya memproses si penerima dengan menggambarkan hal ini adalah perbuatan pemerasan belaka, maka pasal tadi tidak tepat dipersangkakan. Kenapa tidak sekalian aja dipersangkakan Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang pemerasan?" ujarnya.
Dengan melihat adanya dugaan unsur kesepakatan ini, Ginda berpendapat bahwa penyidik sebaiknya mempersangkakan Pasal 12 Huruf a atau b. Sehingga, si pemberi suap dalam hal ini staf di Dinas Perindustrian Lampung juga dapat diproses secara hukum.
"Maka tidak elok dan tidak manusiawi menerapkan Pasal 11 dan 12 huruf e kepada pelaku, tetapi lebih tepatnya penyidik menerapkan Pasal 368 Ayat (1) KUHP," ujar Ginda menyoal kejanggalan dalam penanganan perkara ini.
"Kan jadi aneh lah, misalkan orang datang ke kita, bawa berkas laporan terus kemudian di dalamnya ada amplop isi duit. Terus kemudian [penyidik] tidak ada menetapkan status tersangka kepada pemberi. Kenapa mereka [pemberi] tidak ngaku diperas saja? Satu sisi antara pemberi dan penerima adalah sama-sama ASN. Semua orang di ASN kan sudah dianggap tahu tentang hukum," tegasnya.
Ginda dengan tegas berkata, jika dalam perkara ini ditengarai ada skenario. Ia bilang, penanganan perkara itu menyiratkan adanya konflik kepentingan.
"Kita duga di kasus ini ada skenario. Ada konflik kepentingan di dalamnya. Apakah itu kepentingan ini di Inspektorat? Atau kemudian di Dinas Perindustrian? Pasti ada sesuatu. Maka apapun bentuknya, [penyidik] jangan menerapkan Pasal 12 Huruf e," jelasnya.
Adanya unsur dugaan kesepakatan antara pemberi dan penerima dalam kasus ini diamini oleh Sopian Sitepu.
Sopian Sitepu yang sedang mengikuti Program Studi S3 Ilmu Hukum di Universitas Airlangga Surabaya ini menyebut kesepakatan itu dengan istilah meeting of mind.
"Justru penerapan Pasal 12 Huruf e ini terkesan terlalu buru-buru diterapkan [penyidik]. Saya lihat, janggal ketika [penyidik] hanya menersangkakan penerima. Harus dicari terlebih dahulu unsur kesepakatan tadi. Pedoman untuk mencari kesepakatan ini lazim digunakan teman-teman penyidik di KPK. Ini selalu digunakan sama mereka," kata Sopian mengungkapkan adanya kejanggalan dalam perkara tersebut.
Kabid Humas Polda Lampung Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad mengatakan, per hari Minggu (13/10/2019), jumlah tersangka masih sama dengan saat pertama kali diekspos ke media. Ia menegaskan, penyidik masih melakukan penyidikan lebih lanjut dalam kasus itu.
Ia memberi respon atas kejanggalan yang dinilai Ginda Ansori Wayka dan Sopian Sitepu telah dilakukan oleh penyidik Subdit 3 Tipikor Ditreskrimsus Polda Lampung. Pandra bilang, Bidang Humas yang dipimpinnya akan berkoordinasi dengan penyidik. "Hari Senin (14/10/2019), kami akan koordinasikan terlebih dahulu dengan penyidik," singkatnya. (Ricardo)
Berita Lainnya
-
APBN di Provinsi Lampung Defisit Sebesar Rp 20,80 Triliun
Minggu, 22 Desember 2024 -
Mahasiswa Berprestasi FEB Universitas Teknokrat Indonesia Raih Penghargaan dalam Malam Anugerah
Sabtu, 21 Desember 2024 -
Kanwil Kemenag Lampung Gelar Dialog Kerukunan Umat Beragama Bersama Komisi VIII DPR RI
Sabtu, 21 Desember 2024 -
Kakek Pengendara Motor Korban Kecelakaan di Way Halim Warga Jagabaya Bandar Lampung
Jumat, 20 Desember 2024