• Senin, 25 November 2024

Polemik Kebijakan Impor di Era Jokowi

Jumat, 15 Februari 2019 - 17.24 WIB
176

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kedaulatan pangan menjadi satu dari sembilan program prioritas Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tertuang dalam Nawacita. Pada awal kepemimpinannya, ia menargetkan kedaulatan pangan lewat swasembada bisa terlaksana dalam tiga tahun.

Jauh panggang dari api. Alih-alih swasembada pangan, komoditas pangan impor malah membanjiri Indonesia. Beras, misalnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2014, impor beras tembus 844 ribu ton. Setahun setelah pemerintahan berjalan, impor beras naik tipis 861 ribu ton.

Kemudian, pemerintah kembali mengimpor beras sebanyak 1,28 juta ton pada 2016, dan sempat turun menjadi hanya 305 ribu ton pada 2017. Tahun lalu, impor beras kembali meroket hampir mencapai tujuh kali lipat tahun sebelumnya menjadi 2,25 juta ton.

Namun, jangan pikir impor beras tersebut berjalan mulus. Kebijakan impor ini pun sempat menjadi polemik. Silang pendapat terjadi antar pembantu Jokowi. Kementerian Pertanian, misalnya, kekeh dengan kondisi surplus beras sebanyak 12,61 juta ton pada 2018. Meski, kenyataannya, harga beras terus menanjak, baik di tingkat grosir maupun eceran.

Kondisi ini membuat Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang bertanggung jawab langsung atas stabilitas harga mulai gerah. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menilai perlu tambahan impor beras guna menstabilkan harga. Kisruh ini ikut menyeret Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso atau akrab disapa Buwas.

Buwas yang baru menjabat sebagai Dirut Perum Bulog pada April 2018 tersebut bersikeras bahwa gudang Perum Bulog sudah dipenuhi oleh cadangan beras yang mencapai 2,4 juta ton. Jumlah tersebut belum termasuk beras impor yang masuk pada Oktober 2018 sebesar 400 ribu ton, sehingga total stok beras di gudang Bulog menjadi 2,8 juta ton.

"Itu di gudang Menteri Perdagangan. Sudah komitmen kan, kantornya siap dijadikan gudang ya sudah," ucap Buwas pada Oktober lalu.

Seteru itu mengharuskan Wakil Presiden Jusuf Kalla turun tangan. Pada Oktober 2018, pemerintah akhirnya mengumumkan pemuktahiran data produksi beras nasional melalui metode Kerangka Sampel Area (KSA) yang dikembangkan bersama Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT).

Caranya, dengan pemindaian satelit dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) untuk kemudian diolah Badan Informasi Geospasial (BIG).

Hasilnya, terdapat perbedaan sangat kentara antara data BPS dengan Kementan. Data BPS menyebut produksi beras nasional hingga akhir tahun lalu cuma 32,42 juta ton, jauh dari prediksi Kementan yang sebanyak 46,5 juta ton.

Selain perbedaan produksi, data konsumsi beras yang diungkap dua lembaga itu juga terpaut jauh. Data BPS melansir konsumsi beras mencapai 29,5 juta ton. Sedangkan, Kementan menyebut konsumsi beras sebanyak 33,89 juta ton.

Walhasil, surplusnya pun berbeda. Versi BPS, surplus hanya 2,85 juta ton, sedangkan Kementan memproyeksi surplus mencapai 12,61 juta ton.

"Angka produksi beras sejak 1997 sampai dengan sekarang itu terjadi produksi yang bertambah terus. Padahal, lahan (tanam) sawah berkurang 1,5 persen per tahun dan penduduk bertambah," ujar Jusuf Kalla saat itu.

Komoditas lain yang juga diimpor, yaitu gula. Impor gula dilakukan setiap tahun, diikuti dengan penambahan jumlah impor gula. Tahun 2014, impor gula tercatat 2,96 juta ton. Sementara, akhir tahun lalu, angkanya sudah mencapai 5,02 juta ton.

Impor gula ini pun tak terbebas dari kritik. Apalagi, Gula Kristal Rafinasi (GKR) bocor ke pasar, sehingga berakibat pada produksi petani yang tak terserap sempurna.

Selain itu, komoditas garam industri juga diimpor setiap tahun. Tahun 2014 impor garam terpantau sebesar 2,26 juta ton. Sempat ditekan pada 2015 menjadi 1,86 juta ton. Namun, kembali melonjak pada 2016 menjadi 2,14 juta ton. Impor garam kembali bertambah menjadi 2,55 juta ton pada 2017 dan sebesar 2,83 juta ton pada 2018.

Kurang Koordinasi

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah menuturkan kurangnya koordinasi antara Kementerian dan Lembaga (K/L) adalah pangkal gagalnya swasembada pangan. Rendahnya koordinasi tersebut terlihat pada permasalahan impor beras.

Said menilai jika antar K/L terkait memiliki integrasi kuat, maka ada peluang untuk memangkas impor komoditas pangan.

"Sepertinya ego sektoral masih sangat kuat. Menurut saya, kalau kita punya cita-cita daulat pangan dan mengurangi impor, seharusnya menjadi satu langkah antar kementerian, sehingga tidak lagi saling menisbikan yang lain," katanya kepada CNNIndonesia.com.

Minimnya koordinasi tersebut, lanjut Said, juga dipicu perbedaan data bahan pangan antar K/L. Dari data yang salah, lahirlah kebijakan tak tepat sasaran. Oleh karena itu, Said sangat mendukung langkah pemerintah untuk membenahi data pangan sekaligus menjadikannya satu pintu di BPS, layaknya data beras.

"Salah satu terobosan yang perlu kita pikirkan adalah sinkronisasi data oleh BPS. Sebab, menjadi aneh ketika ada klaim produksi naik, tetapi pada saat yang sama impor dilakukan," imbuh dia.

Pengamat pertanian dan pangan yang juga anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan Khudori menuturkan kondisi geografis Indonesia, di mana daratannya sebagian besar hutan menjadi tantangan untuk mewujudkan swasembada pangan.

Ia mengungkapkan hanya sekitar 23-24 juta hektare (ha) lahan yang bisa ditanami komoditas pangan. Oleh sebab itu, komoditas yang dipilih sebagai target swasembada pangan seharusnya dipilih secara prioritas.

"Dengan kondisi seperti itu pemerintah harus pintar dan selektif betul mana yang jadi prioritas. Jadi, tidak seperti saat ini, pemerintah pusat tidak perlu menetapkan banyak prioritas nasional," paparnya.

Dengan keterbatasan lahan tersebut pemerintah hendaknya mengembangkan terobosan teknologi. Namun, Presiden Jokowi tidak banyak melakukan terobosan teknologi pertanian.

Tidak kalah penting, kata Khudori, swasembada pangan hendaknya ditujukan untuk kesejahteraan petani. Sebab, petani adalah penggerak kedaulatan pangan. Ambil contoh, petani tebu yang merugi selama tiga tahun lantaran pemerintah tak juga mengevaluasi harga biaya pokok produksi (BPP) gula.

Kepala negara baru menyatakan bakal mengevaluasi harga tersebut belum lama ini ketika bertemu langsung dengan petani tebu. Padahal, mereka sudah harus menanggung kerugian selama tiga tahun terakhir.

"Kalau mereka terus rugi mereka akan beralih kepada tanaman lain. Kalau mereka mengganti tanaman yang diproduksi, maka terjadi penurunan pada salah satu komoditas pangan," terang dia.

Ia juga menekankan agar pemerintah kembali menyusun tata kelola impor. Menurutnya, impor hendaknya didasarkan pada kebutuhan riil, terutama pada empat komoditas pangan strategis, yaitu gula, garam, beras, dan daging.

Memang, saat ini keputusan impor telah melalui persetujuan rapat koordinasi untuk mengantongi persetujuan kementerian teknis. Namun, setelah izin impor dikantongi, sebaiknya masuknya barang impor juga tepat waktu.

"Kecenderungan dalam empat tahun terakhir impor tidak terkendali malah cenderung obral impor. Jadi impor sepertinya semaunya, sehingga dampaknya keempat komoditas ini kan diusahakan petani domestik jadi yang terpukul adalah petani dalam negeri," tukas Khudori. (cnn)

Editor :