• Rabu, 03 Juli 2024

Kepala Daerah Antre Masuk Tahanan KPK, Efek Jera Tak Mempan?

Selasa, 20 November 2018 - 09.40 WIB
32

Kupastuntas.co, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan kepala daerah sebagai tersangka. Kali ini, Bupati Pakpak Bharat, Remigo Yolanda Berutu.

Bupati asal daerah Sumatera Utara ini diduga menerima suap terkait proyek-proyek pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Pakpak Bharat Tahun Anggaran 2018.

Penetapan ini dilakukan setelah KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) Remigo terkait dugaan suap proyek di Dinas PU Pakpak Bharat pada Sabtu tengah malam 17 November 2018 di kediamannya di Medan.

KPK juga menciduk lima orang lainnya di Jakarta dan Medan, yaitu kepala dinas setempat, PNS, dan pihak swasta pada Minggu 18 November 2018.

Ketua KPK Agus Rajardjo menjelaskan, Remigo diduga menerima Rp 550 juta. Duit tersebut diduga digunakan untuk keperluan pribadi Bupati, termasuk untuk mengamankan kasus yang melibatkan istrinya yang sedang ditangani penegak hukum di Medan.

Penangkapan ini menambah deretan kepala daerah yang terbelit kasus di KPK. Dengan tertangkap Remigo, KPK sudah menangani total 104 kepala daerah dalam perkara suap. Terhitung sejak 2012, sudah ada 37 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi.

"Sekali lagi kami menyampaikan keprihatinan. Kalau kita lihat tahun 2018 ini, ini adalah OTT yang ke-27. Jadi, kita patut prihatin. Sekali lagi salah satu pimpinan daerah. (Kami) sangat menyesalkan, sangat prihatin, kenapa ini terus berulang,?" kata Agus di gedung KPK, Jakarta Selatan, Minggu 18 November 2018.

Menurutnya, hal ini semestinya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pemerintah diminta untuk mengevaluasi birokrasi hingga tingkat daerah agar kepala daerah tak lagi masuk dalam jajaran pihak yang diamankan dalam OTT.

"Hingga hari ini KPK telah menangani total 104 kepala daerah. Mudah-mudahan ini juga jadi bahan untuk pemerintah segera mengevaluasi apa yang perlu dilakukan," ujar Agus pada 18 November 2018.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menilai, terus berulangnya kepala daerah tertangkap tangan lebih pada karakter dan integritas yang tidak sesuai. Seharusnya, kepala daerah memiliki karakter melayani, berinteritas, jujur, peduli, mandiri, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil dan seterusnya.

"Kalau bermasalah dengan karakter dan integritas itu, maka Anda mau bikin sistem dan gaji kayak apa saja, pasti suatu saat akan berpotensi ketemu sama KPK," kata dia, Senin (19/11/2018).

Dia mengatakan, integritas di negeri ini masih sangat rentan. Dari barat sampai ke timur Indonesia, belum berubah secara signifikan sampai saat ini.

"Itu sebabnya di beberapa daerah atau lembaga, istri pejabat ikut cawe-cawe sering jadi bahan pergunjingan dan olok-olok, tidak jarang masih saja terjadi," ujar Saut.

Saut mengatakan, sudah banyak hal yang dilakukan KPK untuk mencegah korupsi kepala daerah terulang. Salah satunya melalui Sistem Informasi Koordinasi dan Supervisi Pencegahan - KPK. Program ini melengkapi banyak program pencegahan lainnya mulai dari tunas integritas dan lainnya.

"Wah... mau dari mana lagi ya. Uang negara untuk pencegahan korupsi yang disalurkan lewat KPK itu besar. Yang dilakukan lewat banyak kegiatan antara lain korsupgah.kpk.go.id. Ini dashboards ada 7 perioritas rencana aksi yang dilakukan tiap propinsi dan kabupaten/kota," kata dia.

Sementara itu, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch ( ICW) Donal Fariz mengatakan, permasalahan mendasar dari korupsi kepala daerah yang terus terulang karena tidak ada politik hukum untuk memperbaiki kondisi ini. Kepala daerah hanya diganti setelah tertangkap, akan tetapi tidak ada perubahan serius di level parpol. Selain itu, tidak ada tawaran proposal perbaikan kondisi tersebut dari pemerintah dan DPR. Yang ada justru mereka berpikir hanya bypass dengan mengganti pilkada langsung menjadi tidak langsung.

"Jadi menurut saya, kenapa ini terus terjadi, selain karena si kepala daerah juga korup, tapi sistem perpolitikan kita juga tidak diubah secara signifikan oleh pengambil kebijakan oleh pemerintah dan DPR," kata Donal, Senin (19/11/2018).

Untuk mencegah korupsi kepala daerah, lanjut Donal, maka perlu pembenahan partai politik. Pembenahan partai ini pun, kata dia, sudah sampai level darurat. "Karena partai itu problem hulu, sementara korupsi yang terjadi adalah problem hilirnya. Jadi benahi partai secara total. Jangan lagi ada kompromi. Kalau enggak, akan terjadi terus, tinggal giliran saja," ucap Donal.

Dia menilai, korupsi yang dilakukan kepala daerah makin parah karena parpol makin ugal-ugalan. Partai meminta mahar kepada calon kepala daerah yang mengikuti pilkada, walaupun parpol selalu beralasan tidak ada pungutan.

"Jadi parpolnya. Karena mau dibenahin apapun sistem pilkada kita, kalau parpol tidak dibenahi, hanya bolak-balik saja," kata Donal. (lip6)

Editor :