• Senin, 30 September 2024

JATAM Anggap Rencana Alih Fungsi Lahan Kementerian Pertanian Kurang Tepat

Sabtu, 20 Oktober 2018 - 14.29 WIB
41

Kupastuntas.co, Jakarta - Rencana Kementerian Pertanian (Kementan) memanfaatkan lahan rawa menjadi area pertanaman produktif untuk komoditas padi dinilai kurang tepat.

Menurut para pegiat lingkungan hidup, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman seharusnya fokus pada pencegahan alih fungsi lahan yang dan juga realisasi program cetak sawah.

Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional, Melky Nahar mengatakan, Mentan seharusnya mengevaluasi berkurangnya lahan pertanian di Indonesia.

Pasalnya, banyak lahan di Indonesia karena dikoversikan ke industri lainnya.

"Kalau pemanfaatan rawa karena keterbatasan lahan, itu karena banyak lahan tani yang menjadi areal pertambangan,” kata Melky, di Jakarta, Jumat (19/10/2018).

Hasil kajian Jatam menunjukkan, konsesi industri ekstraktif mencakup 19 persen dari lahan pertanian padi Indonesia yang sudah dipetakan.

Sebanyak 23 persen lahan yang diidentifikasi mampu diolah untuk pertanian padi.

Jatam juga mempertanyakan realisasi program cetak sawah yang dilakukan Kementan.

Sementara itu, Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Wahyu A. Perdana mengingatkan soal rencana rawa gambut dijadikan lahan produktif yang pernah gagal di era orde baru.

Wahyu menuturkan, pada zaman Soeharto, proyek lahan gambut satu juta hektar berakhir dengan kegagalan.

Menurutnya rawa gambut merupakan ekosistem esensial yang terbentuk jutaan tahun,

"Bukan hanya memiliki fungsi hidrologis, tetapi juga sebagai penyimpan karbon, jika rusak maka akan menyebabkan perubahan iklim. Pada akhirnya akan berdampak pada produksi pertanian,” ujarnya saat dihubungi.

Wahyu mengaku belum mendapat detail program yang dimaksud Kementan tersebut.

Untuk itulah Walhi mewanti-wanti agar Kementan menerapkan prinsip kehati-hatian dini, yang juga dikenal dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Kami berharap Kementan berhati-hati dan belajar dari pengalaman sebelumnya,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa pada 1995 melalui Keppres No. 82 mengenai Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah, tidak berakhir mulus.

Bahkan hampir setengah dari 15.594 keluarga transmigran yang dahulu ditempatkan pada kawasan tersebut meninggalkan lokasi.

“Akhirnya Bungaran Saragih (Mentan saat itu) memutuskan tidak melanjutkan, dan diserahkan ke swasta, kalau saya tidak salah di awal tahun 2000-an,” katanya.

Pemanfaatan lahan rawa tandasnya harus diletakkan secara hati-hati. Kemampuan ekosistem, kata Wahyu, tidak bisa dipandang terpisah-pisah.

Menurutnya, fungsi dan dampaknya terhadap ekosistemdan produksi pangan harus dipertimbangkan secara matang.

“Merubah fungsi ekosistem bukan hanya berdampak pada perubahan iklim, tetapi juga meningkatkan kerawanannya terhadap bencana ekologis, yang pada akhirnya berdampak pada produksi pangan. Banyak praktek tanaman monokultur skala luas akan mengancam ekosistem rawa gambut,” katanya.

Lebih jauh Wahyu mengingatkan bahwa pada ekosistem rawa gambut kering, bukan hanya fungsi iklim, hidrologi yang terganggu, tetapi juga meningkatkan resiko kebakaran hutan dan lahan.

“Dalam kasus kebakaran di ekosistem gambut, api bisa bertahan berbulan di dalam gambut kering sehingga penanganannya menjadi sulit,” katanya. (Trb)

Editor :