• Selasa, 26 November 2024

Ilmuwan Dunia Angkat Bicara Soal Tsunami di Palu Sulteng

Senin, 01 Oktober 2018 - 22.40 WIB
109

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Ilmuwan dunia kaget atas dahsyatnya tsunami yang menerjang Palu, Sulawesi Tengah. Mereka tak menduga gempa yang mengguncang Donggala akhirnya memicu gelombang tsunami menghancurkan yang terjadi di Palu.

"Kami memperkirakan gempa itu mungkin memicu tsunami, tapi tidak sebesar itu," sebut Jason Patton, pakar geofisika yang bekerja untuk perusahaan konsultan Temblor dan mengajar pada Humboldt State University di California, Amerika Serikat (AS), seperti dilansir New York Times, Senin (1/10/2018).

"Ketika peristiwa seperti ini terjadi, kita biasanya mendapati hal-hal yang belum pernah kita amati sebelumnya," imbuh Dr Patton.

Pada Jumat (28/9) sore, tsunami itu dipicu gempa bumi dengan magnitudo 7,4 yang berpusat di titik 80 kilometer sebelah utara Palu. Sesaat kemudian gelombang air laut hingga setinggi menerjang Palu. Akibat peristiwa itu bangunan-bangunan hancur, kendaraan tersapu hanyut, dan menyebabkan ratusan orang tewas.

Diketahui bahwa tsunami menghancurkan seringkali disebabkan oleh gempa megathrust ketika sesar bumi yang berukuran besar melakukan penyesuaian dengan bergerak secara vertikal di sepanjang patahan bumi. Dalam peristiwa ini biasanya sejumlah besar air laut akan terdorong, memicu gelombang yang bisa bergerak dalam kecepatan tinggi dan memicu kehancuran di lokasi yang berjarak ribuan kilometer dari pusat gempa.

Tsunami yang terjadi di Palu berbeda dengan tsunami dahsyat di Samudera Hindia pada 2004 lalu yang terjadi di Aceh. Tsunami Aceh dipicu gempa megathrust berkekuatan 9,1 magnitudo hingga terjadinya tsunami hingga setinggi 30 meter dan menewaskan nyaris seperempat juta orang mulai dari Indonesia hingga Afrika Selatan.

Sementara tsunami Palu dipicu patahan yang pecah yang disebut patahan strike-slip. Pergerakan patahan Bumi kebanyakan horisontal dan pergerakan semacam itu biasanya tidak memicu tsunami. Namun dalam situasi tertentu, sebut Dr Patton, tsunami bisa terjadi.

Patahan strike-slip bisa memicu sejumlah pergerakan vertikal yang bisa memindahkan sejumlah besar air laut. Atau zona pecahnya patahan Bumi, dalam kasus ini yang diperkirakan mencapai panjang 112 kilometer, melewati area di mana dasar laut bergerak naik atau turun, jadi ketika patahan bergerak saat gempa melanda, itu memindahkan sejumlah besar air laut ke depannya.

Kemungkinan lain, tsunami terbentuk secara tidak langsung. Guncangan keras saat gempa mungkin telah menyebabkan tanah longsor di bawah laut yang akan memindahkan air laut dan memicu gelombang besar. Peristiwa semacam ini bukannya tidak biasa, karena pernah terjadi saat gempa 9,2 magnitudo mengguncang Alaska tahun 1964 silam.

Tsunami juga disebabkan lokasi kota Palu yang ada di ujung teluk dangkal. Garis pantai dan bentuk dasar teluk bisa saja memfokuskan energi gelombang laut dan mengarahkannya ke teluk, dengan ketinggian semakin meningkat saat semakin mendekati pantai. Efek semacam itu pernah terjadi sebelumnya di Crescent City, California, AS yang pernah diterjang lebih dari 30 tsunami.

Dr Patton menyebut, kombinasi berbagai faktor mungkin bisa berkontribusi pada sebuah tsunami. Kajian terhadap dasar lautan menjadi krusial dalam upaya memahami terjadinya sebuah tsunami. "Kita tidak akan tahu apa yang menyebabkannya hingga peristiwa itu selesai," ucapnya.

Tak Ada Alat Pendeteksi Tsunami

Para pakar tsunami memberi catatan soal kurangnya sistem canggih pendeteksi dini tsunami di Indonesia. Saat ini Indonesia diketahui hanya menggunakan seismograf, perlengkapan GPS (global positioning system) dan tide gauge (alat pengukur perubahan ketinggian air laut) untuk mendeteksi tsunami. Profesor pada University of Pittsburgh, Louise Comfort, menyatakan Indonesia memiliki 22 jaringan sensor serupa namun kebanyakan tidak lagi digunakan karena tidak dirawat atau dicuri pihak tak bertanggung jawab. Dia menyebut peralatan itu memiliki efektivitas yang sangat terbatas.

AS sendiri memiliki 39 jaringan sensor canggih di dasar lautan yang bisa mendeteksi perubahan tekanan sekecil apapun yang mengindikasikan kemunculan sebuah tsunami. Data-data dari sensor itu akan disampaikan via satelit dan dianalisis, untuk kemudian peringatan akan dirilis jika diperlukan.

Comfort saat ini sedang terlibat proyek untuk membawa sensor tsunami di Indonesia. Proyek yang sedang dikerjakan Dr Comfort akan membawa sistem baru ke Indonesia, yang nantinya akan menggunakan komunikasi bawah laut untuk menghindari penggunaan buoy di permukaan laut yang bisa dicuri atau tertabrak kapal.

Dituturkan Dr Comfort, dirinya sedang membahas proyek ini bersama tiga badan pemerintahan Indonesia. Rencana untuk memasang prototipe sistem itu di Sumatera tertunda bulan ini. "Mereka tidak bisa menemukan cara untuk bekerja sama. Ini menyayat hati ketika Anda tahu bahwa teknologinya ada. Indonesia ada di kawasan Cincin Api -- tsunami akan terjadi lagi," ucapnya.

Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dibangun setelah bencana besar di Aceh dan Sumatera Utara tahun 2004. Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dirancang dan dibangun dengan bantuan dana dan tenaga ahli Jerman lewat Pusat Geologi dekat Berlin, Geoforschungszentrums (GFZ) Potsdam.

"Menurut informasi yang kami terima, software-nya berfungsi dengan baik", kata Juru bicara GFZ Josef Zens kepada harian Berlin "Tagesspiegel" edisi 1 Oktober 2018.

Dia menjelaskan, pusat pemantauan sistem peringatan dini tsunami di Jakarta mengeluarkan peringatan bahaya tsunami lima menit setelah terjadi gempa di Sulawesi Tengah. Simulasi komputer menyebutkan ada ancaman gelombang tsunami dengan ketinggian 0,5 sampai 3 meter. 20 menit setelah gempa, gelombang besar itu mencapai daerah pesisir Sulawesi.

Namun, dia menduga peringatan tsunami itu tak sampai kepada masyarakat setempat. Josef juga menyayangkan penarikan peringatan dini tsunami yang dikeluarkan BMKG terlalu cepat, hanya 37 menit setelah peringatan pertama dikeluarkan.

"Sistem yang kami buat mengatur bahwa peringatan tsunami paling cepat baru bisa dibatalkan setelah dua jam." Dia menambahkan, masih harus ditelusuri, mengapa pembatalan peringatan tsunami dikeluarkan secepat itu.

Ahli GFZ lain, Jrn Launterjung, menerangkan kepada televisi Jerman ARD, sistem peringatan dini tsunami berfungsi baik karena ancaman tsunami disebar lima menit setelah gempa. Namun dia menduga informasi itu tak sampai ke masyarakat. Jrn Launterjung yang ikut membangun sistem peringatan dini tsunami di Indonesia mengatakan dengan sistem yang ada, peringatan dini tsunami paling cepat diperoleh dalam waktu lima menit.

"Semua data-data yang diterima dari lokasi gempa harus diolah oleh komputer, kemudian dibuat model simulasi untuk menentukan, apakah ada ancaman gelombang tsunami, dan lokasi mana saja yang terancam. Semua itu berlangsung empat sampai lima menit. Itulah waktu yang tercepat membuat simulasi yang real," kata dia.

Jrn Launterjung kaget dan prihatin atas bencana yang terjadi di Sulteng karena ada ratusan nyawa hilang meski sudah ada sistem peringatan dini tsunami. Menurutnya, pelatihan penanggulangan bencana yang cepat dan tepat mesti ditingkatkan.

Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dirancang dan dibangun dengan bantuan dari Jerman setelah gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara pada 2004. Ketika itu, gempa bumi berkekuatan 9,1 skala Richter yang berpusat di Simeuleu menyebabkan gelombang tsunami hebat sampai ke Samudera Hindia. Lebih 230.000 orang tewas di seluruh dunia, di Aceh dan Sumatera Utara saja korban tewas mencapai lebih 160.000 orang.  (Dtk)

Editor :