• Minggu, 29 September 2024

Perang Data Menkeu vs Ketua MPR Soal Utang Pemerintah RI

Kamis, 23 Agustus 2018 - 20.52 WIB
130

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Ketua Mapelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Zulkfili Hasan memberi tanggapan setelah Menteri Keungan Sri Mulyani menjawab pidatonya pada sidang tahunan MPR, pada Kamis (16/08/2018), lalu.

Hal ini diungkapakan Zulkifli melalui Twitter miliknya, @Zul_Hasan.

Mulanya, Zulkifli menampik tudingan Sri Mulyani yang mengatakan dirinya menyesatkan.

"Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut Pidato Saya di Sidang Tahunan MPR Politis & Menyesatkan

Menkeu Sri Mulyani juga terus menyalahkan pengelolaan utang periode pemerintahan sebelumnya

Siapa sebenarnya yg MENYESATKAN? Berikut adalah jawaban saya #JawabBenar,"  tulis Zulkifli Hasan, Kamis (23/8/2018).

Zulkifli yang juga ketua umum PAN ini juga menambahkan, jika terkait apa yang disampaikannya pada sidang tahunan MPR tersebut merupakan data yang berdasarkan Nota Keuangan di tahun 2018.

" Perlu Ibu Sri Mulyani ketahui bahwa sumber data yg disampaikan di Sidang Tahunan juga berdasarkan Nota Keuangan 2018, dalam dokumen Nota Keuangan tersebut, kami tidak melihat ada Pembayaran Pokok Utang. Dari mana angka Rp.396 T yg dimaksud Ibu Sri Mulyani?," tulis Zulkifli.

Ia juga menatutkan gambar grafis soal pembayaran pokok utang.

Dalam grafis tersebut terdapat tanda 'benar' yang bertuliskan 'Kami hanya menemukan pos pembayaran bunga hutang sebesar Rp238 triliun dari pembiayaan hutang sebesar Rp399 triliun (mendekati Rp400 triliun)'.

"Dalam Nota Keuangan 2018 hanya ada pos Pembayaran Bunga Hutang sebesar Rp238 T & Pembiayaan Utang sebesar Rp 399 T

Tidak ada keterangan mengenai Pembayaran Pokok Hutang sebesar Rp 396 T seperti disampaikan Ibu Sri Mulyani," tambah Zulkifli.

Ketua MPR ini juga memberikan grafis terkait total beban utang dengan perumpamaan utang sebesar Rp 396 triliun.

"Anggaplah data Bu Sri Mulyani benar sebesar Rp 396 T. Maka bila ditambah pembayaran Bunga Utang Rp 238 T jumlahnya jadi Rp 634 T.

Rp 634 T adalah Total Beban Utang yg sebenarnya. Karena tak mungkin bayar utang hanya Pokoknya, tapi pasti juga membayar Bunganya, sekarang bandingkan Total Beban Utang kita 634 T dengan Anggaran Kesehatan 111 T & Anggaran Dana Desa 60 T.

Artinya Anggaran untuk membayar utang 6 kali lipat lebih besar dari Anggaran Kesehatan. Anggaran membayar utang juga 10 kali lipat lebih besar dari Dana Desa.

Bu Sri Mulyani juga selalu mengungkit bahwa utang adalah warisan masa lalu, khususnya ketika saya menjabat Menteri Kehutanan periode Pak SBY

Saya rasa, Ibu Sri Mulyani LUPA bahwa Ibu adalah juga Menteri Keuangan di periode Pak SBY. Sekali lagi, MENTERI KEUANGAN.

Saat itu Saya sebagai Menteri Kehutanan jelas tak bisa mengambil kebijakan tentang hutang.

Tapi Ibu Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan jelas punya kewenangan memutuskan berapa banyak kita berhutang & berapa bunganya. Kenapa sekarang salahkan periode sebelumnya?

Adalah Tugas Konstitusional saya sebagai Ketua MPR untuk menyerap aspirasi rakyat & menyampaikan pada pemerintah. Menjadi kewajiban Konstitusional saya sebagai Ketua MPR mengingatkan pemerintah & memastikan anggaran negara digunakan sebesar besarnya utk rakyat.

Perlu dicatat bahwa dalam Sidang Tahunan 16 Agustus lalu selain mengingatkan pemerintah, Saya juga sampaikan apresiasi pada Presiden Jokowi & Wapres JK yang saya dukung atas capaian - capaiannya

Kritik & Apresiasi adalah sesuatu yang biasa dalam demokrasi," tambah Ketua MPR ini.

Sementara itu, sebelumnya, Sri Mulyani angkat bicara terkait pernyataan Zulkifli Hasan yang menyindir soal cicilan utang pemerintah sebesar Rp 400 triliun.

Melalui Facebook miliknya, Sri Mulyani mengatakan jika dalam pidato Zulkifli Hasan itu syarat muatan politik dan juga menyesatkan.

"Pernyataan tersebut selain bermuatan politis juga menyesatkan," tulis Sri Mulyani dalam Facebook, Sri Mulyani Indrawati, Senin (20/8/2018).

Selain mengatakan jika pernyataan itu menyesatkan, Sri Mulyani juga memberikan penjelasan terkait pernyataan Zulkifli Hasan dalam 7 poin.

"1. Pembayaran pokok utang tahun 2018 sebesar Rp396 triliun, dihitung berdasarkan posisi utang per akhir Desember 2017. Dari jumlah tersebut 44% adalah utang yang dibuat pada periode sebelum 2015 (Sebelum Presiden Jokowi). Ketua MPR saat ini adalah bagian dari kabinet saat itu.

Sementara itu, 31,5% pembayaran pokok utang adalah untuk instrumen SPN/SPN-S yang bertenor di bawah satu tahun yang merupakan instrumen untuk mengelola arus kas (cash management). Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan?

2. Karena Ketua MPR menggunakan perbandingan, mari kita bandingkan jumlah pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan dan anggaran Dana Desa.

Jumlah pembayaran pokok utang Indonesia tahun 2009 adalah Rp117,1 triliun, sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp25,6 triliun. Jadi perbandingan pembayaran pokok utang dan anggaran kesehatan adalah 4,57 kali lipat. Pada tahun 2018, pembayaran pokok utang adalah Rp396 triliun sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp107,4 triliun, atau perbandingannya turun 3,68 kali. Artinya rasio yang baru ini sudah menurun dalam 9 tahun sebesar 19,4%.

Bahkan di tahun 2019 anggaran kesehatan meningkat menjadi Rp122 triliun atau sebesar 4,77 kali anggaran tahun 2009, dan rasionya mengalami penurunan jauh lebih besar lagi, yakni 26,7%. Di sini anggaran kesehatan tidak hanya yang dialokasikan ke Kementerian Kesehatan, tapi juga untuk program peningkatan kesehatan masyarakat lainnya, termasuk DAK Kesehatan dan Keluarga Berencana.

Mengapa pada saat Ketua MPR ada di kabinet dulu tidak pernah menyampaikan kekhawatiran kewajaran perbandingan pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan, padahal rasionya lebih tinggi dari sekarang? Jadi ukuran kewajaran yang disebut Ketua MPR sebenarnya apa?

Kenaikan anggaran kesehatan hingga lebih 4 kali lipat dari 2009 ke 2018 menunjukkan pemerintah Presiden Jokowi sangat memperhatikan dan memprioritaskan pada perbaikan kualitas sumber daya manusia.

3. Ketua MPR juga membandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa. Karena dana desa baru dimulai tahun 2015, jadi sebaiknya kita bandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa tahun 2015 yang besarnya 10,9 kali lipat. Pada tahun 2018 rasio menurun 39,3% menjadi 6,6 kali, bahkan di tahun 2019 menurun lagi hampir setengahnya menjadi 5,7 kali. Artinya kenaikan dana desa jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan pembayaran pokok utang. Lagi-lagi tidak ada bukti dan ukuran mengenai kewajaran yang disebut Ketua MPR.

Jadi arahnya adalah menurun tajam, bukankah ini arah perbaikan? Mengapa membuat pernyataan ke rakyat di mimbar terhormat tanpa memberikan konteks yang benar? Bukankah tanggung jawab pemimpin negeri ini adalah memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat dengan memberikan data dan konteks yang benar.

4. Pemerintah terus melakukan pengelolaan utang dengan sangat hati-hati (pruden) dan terukur (akuntabel). Defisit APBN selalu dijaga di bawah 3% per PDB sesuai batas UU Keuangan Negara. Defisit APBN terus dijaga dari 2,59% per PDB tahun 2015, menjadi 2,49% tahun 2016, dan 2,51% tahun 2017. Dan tahun 2018 diperkirakan 2,12%, serta tahun 2019 sesuai Pidato Presiden di depan DPR akan menurun menjadi 1,84%.

Ini bukti tak terbantahkan bahwa pemerintah berhati-hati dan terus menjaga risiko keuangan negara secara profesional dan kredibel. Ini karena yang kami pertaruhkan adalah perekonomian dan kesejahteraan serta keselamatan rakyat Indonesia.

5. Defisit keseimbangan primer juga diupayakan menurun dan menuju ke arah surplus. Tahun 2015 defisit keseimbangan primer Rp142,5 triliun, menurun menjadi Rp129,3 triliun (2017) dan tahun 2018 menurun lagi menjadi defisit Rp64,8 triliun (outlook APBN 2018). Tahun 2019 direncanakan defisit keseimbangan primer menurun lagi menjadi hanya Rp21,74 triliun, sekali lagi menunjukkan bukti kehati-hatian pemerintah dalam menjaga keuangan negara menghadapi situasi global yang sedang bergejolak. Apakah ini bukti ketidak-wajaran atau justru malah makin wajar dan hati-hati?

6. Selama tahun 2015-2018, pertumbuhan pembiayaan APBN melalui utang justru negatif, artinya penambahan utang terus diupayakan menurun seiring dengan menguatkan penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak. Bila tahun 2015 pertumbuhan pembiayaan utang adalah 49,0% (karena pemerintah melakukan pengamanan ekonomi dari tekanan jatuhnya harga minyak dan komoditas lainnya), tahun 2018 pertumbuhan pembiayaan utang justru menjadi negatif 9,7%!

Ini karena pemerintah bersungguh-sungguh untuk terus meningkatkan kemampuan APBN yang mandiri. Ini juga bukti lain bahwa pemerintah sangat berhati-hati dalam mengelola APBN dan kebijakan utang. Hasilnya? Pemerintah mendapat perbaikan rating menjadi “investment grade” dari semua lembaga pemeringkat dunia sejak 2016. Jadi siapa yang lebih berkompeten menilai kebijakan fiskal dan utang pemerintah wajar atau tidak?

7. APBN adalah instrumen untuk mencapai cita-cita bernegara, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta makin mandiri. Komitmen dan kredibilitas pengelolan APBN ini sudah teruji oleh rekam jejak pemerintah selama ini. Mari cerdaskan rakyat dengan politik yang berbasis informasi yang benar dan akurat," tulis Sri Mulyani. (*)

Editor :