• Jumat, 20 September 2024

Pengamat Politik Lampung: Legislator Perempuan Hanya Pelengkap

Kamis, 23 Agustus 2018 - 07.39 WIB
250

Kupastuntas.co, Bandarlampung – Dari 85 anggota DPRD Provinsi Lampung periode 2014-2019, hanya ada 11 legislator perempuan atau hanya sekitar 9 persen. Ada tudingan jika caleg perempuan selama ini hanya sebagai pelengkap partai politik.

Keterwakilan perempuan di parlemen sebesar 30 persen selama ini baru sebatas retorika belaka. Realitas yang terjadi, dalam setiap tingkatan parlemen dari kabupaten/kota sampai pusat jumlah legislator perempuan yang duduk di kursi wakil rakyat masih sangat minim.

Padahal, berdasarkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilihan Legisatif (Pileg) 2019 yang ditetapkan KPU Provinsi Lampung jumlah pemilih laki-laki dan perempuan tidak terpaut jauh.

Dari DPT yang sudah ditetapkan sebanyak 5.914.926 orang, pemilih laki-laki sebanyak 3.022.504 orang dan perempuan 2.892.422 orang atau hanya selisih 130.082 suara.

Lalu, apakah minimnya legislator perempuan di parlemen ini akan berlanjut pada periode 2019-2024. Legislator perempuan sekaligus Ketua Komisi 1 DPRD Provinsi Lampung, Ririn Kuswantari, mengakui jika selama ini legislator perempuan belum bisa berbuat banyak di parlemen akibat kalah jumlah suara.

Untuk itu, politisi Partai Golkar ini berjanji akan terus memotivasi kader perempuan untuk membangun Lampung dengan menjadi wakil rakyat di parlementer.

“Tanggung jawab kami adalah meningkatkan partisipasi dan kuota perempuan yang duduk di parlemen. Sehingga, kaum perempuan bisa berbuat lebih banyak di lembaga perwakilan rakyat,” jelasnya, Rabu (22/8/2018).

Dimintai komentarnya, Pengamat Politik Universitas Lampung (Unila), Dedi Hermawan, menerangkan bahwa potensi kaum perempuan untuk berkiprah di dunia politik sebenarnya sangat besar. Mengingat perkembangan zaman, pendidikan, demokrasi dan ekonomi, itu bisa mengorbitkan kaum perempuan untuk berbuat lebih banyak di kancah politik.

Hanya saja, kata dia, biaya politik yang mahal dan perekrutan partai politik yang tidak sehat, sehingga mengakibatkan banyak kaum perempuan yang tertutup aksesnya.

"Sebenarnya kalau dari sisi ketersediaan perempuan-perempuan yang pintar dalam berpolitik, punya kemampuan dalam mengadvokasi masyarakat perempuan sudah banyak," ungkapnya.

Hanya saja, lanjut Dedi, saat ini persoalan sistem partai yang tidak sehat, membuat orang khususnya kaum perempuan yang berkeinginan menjadi caleg menjadi terhambat.

“Terutama biayanya yang mahal, sehingga orang-orang baik khususnya perempuan, tidak bisa terakomodasi dalam pencalegan. Kalau pun ada kebanyakan partai menempatkan kaum perempuan sebagai pelengkap saja,” imbuhnya.

Masih kata Dedi, banyaknya caleg perempuan yang tidak memenuhi syarat itu menggambarkan karena kaum perempuan tidak terakomodasi dengan baik dalam pencalegkan. Banyak yang layak dalam pencalegan namun karena biaya politik yang mahal, sehingga kaum perempuan memutuskan untuk memilih berkiprah ke pekerjaan lain. (Sule)

Editor :