• Selasa, 22 Oktober 2024

Peringati Hardiknas, Beginilah Wajah Pendidikan di Pedalaman Tanggamus

Rabu, 02 Mei 2018 - 18.44 WIB
466

Kupastuntas.co, Tanggamus - Ratusan anak-anak di sejumlah pekon (desa) terpencil di Kecamatan Pematangsawa, Kabupaten Tanggamus, setiap tahunnya memilih putus sekolah. Penyebabnya selain faktor kesulitan ekonomi, juga buruknya infrastruktur dan jauhnya sekolah menjadi alasan utama mereka memilih putus sekolah.

Program sekolah gratis ternyata masih menjadi angan-angan semu bagi anak-anak disejumlah pekon (desa) di Kecamatan Pematangsawa, Kabupaten Tanggamus. Seperti Pekon Pesanguan, sebagian di Pekon Way Nipah, Teluk Brak, Karang Brak, Tirom, Kaurgading, Way Asahan, Martanda, Tampang Muda dan Tampang Tukha.

Mereka akhirnya memilih putus sekolah, karena terus dibelit permasalahan ekonomi keluarga. Jangankan untuk bersekolah, bisa mencukupi kebutuhan makan sehari hari saja, terasa sudah sangat melegakan.

Di Pekon Teluk Brak misalnya, sejumlah anak putus sekolah. Ada yang sejak kelas satu SMP sudah keluar, tetapi rata-rata saat lulus SD tak bisa melanjutkan ke jenjang SMP sederajat. Mereka kemudian banyak mengisi waktunya dengan membantu pekerjaan orang tua di ladang, ke laut atau merawat hewan ternak.

Bagi yang anak perempuan, selain membantu pekerjaan ibu, mereka umumnya menunggu “dilamar” atau disunting untuk kemudian nikah diusia dini. Kondisi ini menyebabkan angka perceraian pun sangat tinggi.

Sigit (49), salah satu warga Pekon Teluk Brak mengakui anak putus sekolah disebabkan faktor kesulitan ekonomi.

“Faktor ekonomi melatarbelakangi banyak anak-anak putus sekolah, karena jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan sehari-hari saja sulit. Ya memang sekolah sudah gratis, tetapi kan perlu uang juga untuk membeli seragam, alat sekolah, belanja dan lain sebagainya,” kata dia beberapa waktu lalu.

Panroyen, seorang aktivis peduli pendidikan Tanggamus yang beberapa kali mengunjungi desa-desa terpencil di Kecamatan Pematangsawa, membenarkan tingginya angka putus sekolah dan pernikahan dini diwilayah yang berbatasan dengan hutan TNBBS dan perairan Teluk Semaka ini.

Menurutnya, sarana pendidikan dasar hanya terdapat di pekon induk. Sementara warga yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari pertanian tinggal di dusun-dusun terpencil yang jaraknya puluhan kilometer dari pekon induk. Sedangkan untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama anak-anak harus menempuh jarak yang lebih jauh lagi. Karena diwilayah itu hanya ada tiga SMP yaitu di Pekon Pesanguan berupa SMP Satu Atap, kemudian di Pekon Karangberak dan Pekon Tampang.

Untuk mencapai ke sekolah memerlukan perjuangan berat. Mereka harus menempuh perjalanan puluhan kilometer selama berjam-jam, belum lagi kondisi jalan yang masih jalan tanah yang rusak parah.

“Bila hujan turun, anak-anak buka baju dan sepatu. Bahkan banyak yang tidak sekolah. Mereka tiba disekolah dengan letih, akibatnya sulit menerima pelajaran,” kata Panroyen.

Kupas Tuntas bersama Panroyen beberapa waktu lalu pernah mengikuti perjalanan anak-anak menempuh perjalanan ke sekolah mereka, mulai dari mendaki, jalanan licin dan becek, melewati semak, hutan belantara, menapaki jalan bekas binatang buas seperti gajah, dan babi hutan adalah perjuangan keseharian anak-anak diwilayah ini.

Sepatu mereka tidak bisa melindungi kaki mereka sepenuhnya, robek disana-sini sehingga jemari kaki terlihat walau terbungkus oleh sepatu.

Kadang mereka harus menyeberangi sungai yang dalam, muara yang sedang pasang. Melompati bukit sebagai jalan alternatif yang lebih dekat dari jalan yang lebih enak untuk dipakai sebagai jalan. Dalam usia mereka yang masih sangat belia, harus berjalan selama kurang lebih dua jam, berangkat pagi sekitar jam lima untuk mengejar waktu dimulainya belajar-mengajar di sekolah.

Belum lagi ketika cuaca tidak mendukung. Hujan turun sebagai sesuatu yang menakutkan, sebagai penghalang langkah mereka untuk terus sampai di sekolah dan pulang kembali ke rumah. Karena mereka juga harus melewati sungai yang pada saat hujan aliran menjadi deras.

Terkadang jalan yang mereka lalui terpotong oleh aliran air hujan. Melewati pematang sawah, dengan kilat yang menyambar. Belum lagi ketika harus mengikuti kegiatan ekstra di sekolah usai waktu pelajaran. Mereka harus pulang melewati bukit dengan berkawan gelap.

“Perjuangan mereka untuk sekolah sungguh luar biasa. Tetapi akhirnya mereka menyerah, karena kaki kecil mereka tidak sanggup lagi menempuh perjalanan. Apalagi ketika mereka beranjak dewasa, harus menempuh pendidikan ke Kotaagung, dengan biaya cukup tinggi dan menempuh perjalanan laut hingga empat jam,” ujar Panroyen.

Untuk itu Penroyen mendesak pemerintah lebih memacu mengembangkan sekolah satu atap disetiap SD yang ada diwilayah tersebut, sehingga tamatan SD bisA melanjutkan ke tingkat SMP.

“Selain itu pembangunan infrastruktur baik jalan dan jembatan adalah sangat perlu, agar terbuka akses mereka untuk menuntut ilmu, serta memudahkan warga menjual hasil bumi mereka yang akan menaikkan perekonomian mereka,” kata dia. (Sayuti)

Editor :