• Selasa, 01 Oktober 2024

Alih Fungsi Hutan Menjadi Pemukiman Disinyalir Menjadi Penyebab Konflik Gajah-Manusia

Senin, 23 April 2018 - 18.53 WIB
2.7k

Kupastuntas.co, Tanggamus - Para perambah yang mendiami kawasan hutan lindung Register 39 Kotaagung Utara, di Blok 3 sampai blok 10, Pekon Gunungdoh, Kecamatan Bandar Negeri Semoung, Kabupaten Tanggamus, dihimbau untuk meninggalkan kawasan itu untuk menghindari konflik dengan gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus).

"Untuk menghindari konflik dengan gajah liar, kami menghimbau para perambah untuk meninggalkan kawasan hutan lindung Register 39. Karena kawasan itu adalah rumahnya gajah liar," kata Sekretaris Kabupaten Tanggamus, Andi Wijaya menyikapi serangan gajah liar di Blok 6, Pekon Gunungdoh, Kecamatan Bandar Negeri Semoung, Senin (23/4/2018).

Menurut Andi, gangguan gajah liar tersebut terjadi akibat orang yang masuk hutan. Perambahan hutan termasuk hutan lindung register 39 Kotaagung Utara, membuat gajah marah.

“Jadi wajar kalau gajah masuk kampung karena jalur lalulintas gajah telah rusak jadi perkebunan dan permukiman,” kata dia.

Andi menilai penanganan yang paling tepat adalah bukan mengusir gajah, tetapi mengusir manusia agar tak lagi masuk ke hutan. Sehingga terciptanya suasana gajah dan manusia bisa hidup berdampingan.

"Kami tidak akan melakukan pengusiran gajah liar itu, kalau itu kami lakukan (mengusir gajah), artinya kami melindungi perambah, itu salah. Dan persoalan gajah di Bandar Negeri Semoung ini beda dengan yang di Semaka, kalau yang di Bandar Negeri Semoung itu hutan lindung, kalau di Semaka itu tanah warga," katanya.

Untuk diketahui, kawasan hutan lindung register 39 Kotaagung Utara, mulai blok 3 sampai blok 10, Pekon Gunungdoh, Kecamatan Bandar Negeri Semoung, Kabupaten Tanggamus, telah berubah menjadi kebun dan permukiman warga, serta dikuasai orang-orang berduit.

Selama puluhan tahun, kawasan hutan lindung register 39 Kotaagung Timur ini telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan serta permukiman warga.

"Sementara pemerintah tidak punya nyali untuk menegakkan hukum terhadap para pelaku sehingga pencaplokan dan perusakan kawasan hutan lindung tersebut masih terus saja terjadi," ujar Ridwan, seorang aktivis lingkungan.

Menurut Ridwan, pengawasan terhadap kawasan tersebut masih sangat lemah, terlebih lagi sejak kewenangan pengawasan kehutanan saat ini ditangani provinsi.

"Penyerobotan kawasan hutan lindung register 39 ini semakin menjadi. Pengawasan semakin lemah, dengan selalu berdalih kurangnya dana dan personel yang ada," kata dia.

Selama ini, kawasan hutan lindung register 39 di blok 3 sampai blok 10 dikuasai sejumlah orang berduit. Sebut saja misalnya Aisyah di blok 5 yang memiliki sedikitnya 150 hektar lahan hutan yang telah berubah menjadi kawasan perkebunanan kopi, kakao dan lada.

Selain itu, Aisyah juga menjadi bos yang menampung semua hasil kebun warga di kawasan itu, baik kopi, kakao dan lada. Bahkan dia memiliki toko kelontongan dan sembako di kawasan hutan lindung tersebut.

Bukan itu saja, Aisyah juga mendirikan sebuah masjid megah yang diberi nama Masjid Aisyah bersebelahan dengan sebuah SD. Aisyah yang tercatat sebagai warga Gisting ini memiliki sebuah rumah mewah di Jalan Lintas Barat Pekon Gisting Atas, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus.

Rumah megah yang diakuinya menghabiskan dana Rp3 miliar tersebut, diakuinya dari hasil usahanya di kawasan blok Gunungdoh.

Selain Aisyah, sejumlah orang berduit yang notabene bukan warga sekitar hutan memiliki lahan luas. Diantaranya Randi di blok 5, Kemis di blok 3, Sungkono di blok 5, Mardi, Mulyanto dan Katiran di blok 6. Selain toko, masjid, sekolah dan pos Polisi. Disana juga berdiri rumah-rumah permanen.

"Padahal, aturan perundangan yang menyebutkan peruntukan kawasan tersebut sudah jelas, yaitu dilarang mendirikan rumah atau bangunan permanen," ujar Syafri, warga Pekon Gunungdoh.

Selain mereka, tercatat sedikitnya 2.500 kepala keluarga mendiami kawasan hutan lindung ini. Dimana sekitar 50 % lebih beranak-pinak dan menetap di kawasan ini, sedang sisanya adalah warga pendatang yang sesekali datang ke hutan untuk mengurus kebun mereka, terutama saat musim panen kopi.

Menurut sejumlah warga, lahan di kawasan inipun dikomersilkan. Nilainya sangat fantastis, untuk lahan belukar dihargai sampai Rp20 juta per hektar, sedangkan lahan yang telah menjadi kebun harganya berlipat-lipat antara Rp50 sampai Rp100 juta per hektar.

BENCANA MENGANCAM

Akibat puluhan ribu hektar hutan lindung di Kabupaten Tanggamus dirambah dan dijadikan lahan perkebunan kopi, kako dan lada serta permukiman warga, menyebabkan ekosistem hutan berubah dan tanah tidak mampu menahan air, sehingga, banjir yang berasal dari luapan air sungai tidak dapat dihindari.

Dampaknya sejumlah kecamatan di Kabupaten Tanggamus seperti Kecamatan Semaka, Bandar Negeri Semoung, Wonosobo dan Kecamatan Kotaagung selalu menjadi langganan kebanjiran disebabkan meluapnya Way Semaka serta beberapa anak sunghai lainnya.

Sehingga kerugian mencapai ratusan juta bahkan miliaran rupiah. “Bencana banjir dan longsor yang selalu terjadi diwilayah Tanggamus disebabkan rusaknya hutan di daerah ini," kata Ikhsan, aktivis lingkungan lainnya. (Sayuti)

Editor :