• Senin, 25 November 2024

Asa Pemecah Batu Pinggir Way Jelai Tanggamus

Rabu, 28 Maret 2018 - 17.12 WIB
466

Kupastuntas.co, Tanggamus - Terbentur dengan keterbatasan ekonomi, dan sulitnya mendapat pekerjaan membuat sejumlah warga lingkungan Way Jelai, RT 08/03, Kelurahan Baros, Kecamatan Kotaagung, Kabupaten Tanggamus, menjadi pemecah batu split.

Warga yang berada disekitar Way Jelai ini rata–rata bekerja sebagai nelayan, buruh, sopir, pengojek dan pekerja serabutan. Sulitnya kehidupan dan sulitnya mendapat pekerjaan layak, membuat warga setempat memanfaatkan potensi batu Way Jelai, dengan menjadi pemecah batu split untuk bertahan hidup.

Batu Sungai Way Jelai memang terkenal kuat untuk bahan campuran bangunan, sehingga batuan hasil endapan sungai ini banyak dicari warga. Dengan harga kisaran Rp150 ribu per kubik, batu koral sungai Way Jelai ini lebih murah dengan kualitas yang bagus.

Kerasnya batu tidak sebanding dengan kerasnya hidup, mungkin itu perumpamaan yang layak dilayangkan warga pinggir Way Jelai ini. Meskipun hanya bekerja di pekarangan rumah, pekerjaan itu tetap bukan perkara gampang.

Memecah batu di bawah terik matahari membutuhkan tenaga dan kekuatan fisik. Bayangkan saja, sebuah batu harus dipecah menggunakan palu seberat 1--2,5 kilogram.

Berapa besar tenaga yang dibutuhkan untuk itu. Padahal ada ratusan bahkan ribuan batu yang harus dipecahkan. Ironisnya, pekerjaan seberat itu tidak hanya dilakukan oleh kaum pria, tetapi juga kaum perempun bahkan anak-anak.

Pekerjaan mereka bukan hanya memecah batu, tetapi juga mengawalinya dengan mengumpulkan satu demi satu batu di sungai Way Jelai, dengan cara berendam di dalam air, bahkan saat sungai banjir sekalipun.

Bagi mereka saat sungai banjir adalah berkah tersendiri, karena saat banjir datang itu berarti kiriman batu dari hulu sungai datang, tanpa mereka harus mencongkel batu di dasar sungai yang pada saat kemarau airnya keruh dan bau. Setelah batu pilihan terkumpul, pekerjaan selanjutnya adalah menganggkut batu ke tempat pembelahan.

Abih (65), salah seorang warga Jalan Bahari yang melakoni profesi sebagai pemecah batu split mengaku, pekerjaan memecah batu belah sudah menjadi salah satu penopang hidup keluarganya, sejak dia memilih “pensiun” sebagai penjual penarik becak. Usia tuanya membuat dirinya tak berdaya untuk mengayuh becak lagi.

Selain Abih, ada Junaidi (50), seorang warga yang sejak cacat tidak bisa mendengar dan tidak bisa bicara itu juga menjadi pemecah batu split. Junaidi menjadi tulang punggung menghidupi ibunya yang sudah lumpuh, adik dan keponakannya.

Pekerjaaan itu dijalani untuk mengimbangi kebutuhan hidup yang semakin hari kian mendesak, terlebih dengan terus melonjaknya harga kebutuhan pokok belakangan ini. Dalam bekerja, Abih, Junaidi dan warga lainnya termasuk anak-anak, tidak mengenal keadaan, panas, hujan mereka tetap bekerja.

Di usianya yang sudah uzur, sepatutnya Abih bisa hidup lebih tenang dirumah dengan mengasuh cucunya. Tapi, itu tak berlaku untuknya dan sejumlah warga miskin lainya diwilayaha itu. Setiap hari Abih dan warga lainnya memecahkan batu, pekerjaan itu dilakoninya dari mulai pagi sampai sore hari.

Abih, Junaidi dan warga lainnya mencari batu di pinggiran Sungai (Way) Jelai yang tak jauh dari rumah tempat tinggalnya dan mereka berjalan sambil menggendong batu dengan beban hampir 25 kilogram lantas dibawa ke saung yang berjarak sekitar 200 meter untuk mencapai lokasi tempatnya bekerja memukul batu hasil pungutannya itu.

Keringat mereka tidak sampai disitu. Abih, Junaidi dan warga lainya sesama profesi tersebut masih harus memukuli batu sampai kecil menjadi batu split. Batu split yang sering dipakai untuk bahan bangunan ini seperti pengecoran dasar maupun atap rumah dan gedung. Hanya dengan peralatan yang sederhana berupa palu dan penjepit yang terbuat dari karet. Tak ayal, kadang-kadang mereka pun merintih kesakitan akibat tangannya terpukul palu yang diayunkannya.

Apa yang menjadi kerja keras ini pun, ternyata tidak sebanding dengan hasil yang mereka dapatkan, untuk mendapatkan uang, ia harus mengumpulkan minimal setengah kubik batu split dengan harga Rp70 ribu dalam jangka waktu tiga sampai empat hari.

Penghasilan tersebut jelas jauh dari harapan mereka, apalagi untuk menutupi kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup. Sungguh ironis melihat keadaan pekerjaan Abih, Junaidi dan pemecah batu split itu, tapi apalah daya, itulah nasib yang harus mereka jalani. Mereka tak berkecil hati namun tetap bersyukur dengan rezeki yang mereka terima.

Jika untuk mendapatkan satu kubik batu split membutuhkan seminggu, dimana satu kubik dihargai Rp140 ribu, maka penghasilan Sandra sehari rata-rata Rp21 ribu. “Kalau mau dibilang cukup dengan uang segitu, ya mana mungkin cukup, tetapi ya dicukup-cukupinlah. Habis mau kerja apalagi,” kata Abih, Rabu (28/03/2018).

Meski berat, Abih, Junaidi tetap melakoni hidup dengan bersyukur dan tetap beribadah. Senyuman simpul selalu tetap menghiasi wajahnya yang sudah mulai keriput meskipun ditengah panas. Abih, Junaidi bersama warga lainya tetap menjalani pekerjaan dengan tenang. Harapan dan cita-cita mereka kepada anak-anaknya yang kini tengah duduk dibangku sekolah, menjadi tumpuan penyemangat saat lelah mendera.

"Harapan saya agar anak-anak bisa sekolah. Tapi kalau saya tidak mampu, ya apa boleh buat. Yang penting kami sudah usaha," kata Abih. (Sayuti)

Editor :