• Senin, 25 November 2024

Praktik Rentenir Masih Marak di Tanggamus, Warga Mengaku Terpaksa

Senin, 19 Maret 2018 - 19.21 WIB
1000

Kupastuntas.co, Tanggamus - Para pelaku usaha kecil menengah (UKM) dan warga ekonomi lemah di Kabupaten Tanggamus, masih banyak yang mengandalkan bank plecit atau bank keliling untuk mendapat modal usaha mereka. Akibatnya, mereka terjerat oleh bunga pinjaman yang mencekik.

Para lintah darat itu beroperasi dengan cara berkeliling di pasar dan dari kampung ke kampung. Praktik rentenir berkedok bank keliling (bank plecitan) ini juga tak segan memakai nama koperasi simpan pinjam.

Praktek bank plecit di Kotaagung, Tanggamus mudah ditemukan. Mereka beroperasi dengan cara berkeliling di pasar dan dari kampung ke kampung.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sering menyebut kegiatan tersebut sebagai praktik rentenir berkedok bank keliling atau juga koperasi simpan pinjam.

"Soal rentenir atau bank plecit atau bank titil atau bank keliling itu mah sudah lama, mas. Sekarang saja sudah banyak pedagang yang terjerat utang dengan renternir karena keuangannya makin sulit," kata Tinah (30), pedagang sayur di pasar Kota Agung, Senin (19/03/2018).

Namun, masyarakat mengaku terpaksa meminjam uang dari praktik tersebut, karena cara itu paling terbilang mudah mendapatkan modal. "Kalau ke bank, harus ada agunan dan enjelimet banget,” imbuh Tinah.

Banyak sebutan masyarakat terutama masyarakat menengah kebawah bagi para rentenir itu. Ada yang menyebut bank tongol, yakni praktik bank gelap yang setiap saat tongal-tongol menawari pinjaman dan menarik tagihan. Ada pula yang mengistilahkan dengan "bank plecit" atau "bank cekik".

“Sebenarnya kami sangat mengharapkan suntikan modal tanpa diembel-embeli agunan dan sejumlah persyaratan yang menurut kami susah dibuat itu,” kata Yatmi (37), bakul ikan di Pasar Kotaagung.

Kondisi para pelakun UKM yang terbentur soal modal usaha ini tentu saja menjadi sasaran empuk bagi para rentenir. "Mereka biasanya datang menawari pinjaman, karena pas sedang butuh dana untuk tambahan modal, ya diambil saja,” ujar Parti (35), pedagang lainnya.

Parti mengaku sedang terlibat utang dengan rentenir sebesar Rp100 ribu. Ia berkewajiban setor Rp5 ribu per hari selama 24 hari berturut-turut. Artinya bunga yang dikenakan rentenir mencapai 20 persen.

"Saya terpaksa berutang karena butuh modal, karena modal yang ada sedikit demi sedikit mulai menipis. Karena untuk biaya sehari-hari, biaya anak sekolah dan sebagainya. Untung ada bank keliling, ya walau bunganya tinggi tapi tidak ada pilihan lain. Mau pinjam ke bank, ditolak karena tidak punya agunan dan surat izin usaha segala,” katanya.

Desi, warga Kelurahan Baros, Kota Agung mengatakan, pada dasarnya, dirinya meminjam uang ke bank keliling untuk tambahan modal usaha warung kelontongnya, tetapi tidak menutup kemungkinan ketika ada kebutuhan lain yang mendesak. Entah tradisi nyumbang di hajatan tetangga atau kerabat, kebutuhan biaya sekolah anak dan lainnya sehingga penggunaan uang berbelok.

“Kebutuhan dana untuk keperluan lain membuat perputaran uang yang semestinya untuk modal jualan jadi melenceng, otomatis mengganggu kewajiban angsuran rutin,” katanya.

Dikatakan Desi, mayoritas korban bank keliling adalah ibu rumah tangga. Mereka mudah mendapatkan uang tunai karena ketika akad kredit tak perlu diketahui suami. Karena proses peminjaman dari bank keliling yang mudah, banyak ibu rumah tangga yang terlilit utang. Bunganya pun selalu naik 20 persen setiap bulan.

Desi mencontohkan, bila berutang Rp1 juta, kreditor harus membayar Rp1,2 juta dalam sebulan. "Artinya, cicilan sebesar Rp40 ribu sebulan. Kalau dua bulan cicilan, kreditor harus bayar Rp1,4 juta. Semakin lama cicilan bunga semakin besar," ujarnya. (Sayuti)

Editor :