• Minggu, 23 November 2025

Politik Anggaran dan Cara Metro Lindungi Pekerja Rentan, Oleh : Arby Pratama

Minggu, 02 November 2025 - 20.14 WIB
41

Arby Pratama (Wartawan Kupas Tuntas). Foto: Arby/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Di tengah iklim fiskal yang kian ketat dan godaan politik pembangunan yang sering terjebak pada proyek-proyek berwujud beton, Pemerintah Kota Metro justru memilih jalur yang berbeda, yaitu menaikkan anggaran perlindungan sosial bagi pekerja rentan. 

Kenaikan 8,38 persen untuk BPJS Ketenagakerjaan bukan hanya catatan administratif, melainkan pernyataan moral bahwa anggaran bukan sekadar alat belanja, tetapi instrumen keberpihakan terhadap manusia yang bekerja di balik kemajuan kota.

Dari Rp1,69 miliar menjadi Rp1,84 miliar pada tahun anggaran 2025, kebijakan ini menegaskan arah baru dalam politik anggaran Metro. Ini bukan tentang nominal, tapi tentang nilai bahwa martabat pekerja tidak bisa dinegosiasikan, dan kesejahteraan tidak boleh menunggu giliran setelah proyek rampung.

Dalam banyak kasus, politik anggaran di daerah masih terjebak pada paradigma lama yaitu mengukur keberhasilan dari serapan dan pembangunan fisik. Tapi Metro mengambil langkah yang berani dengan cara menggeser fokus dari beton ke perlindungan sosial, dari pembangunan infrastruktur menuju pembangunan manusia.

Inilah bentuk politik anggaran yang sesungguhnya, dimana anggaran yang berpihak pada peluh rakyat. Ketika pemerintah memilih melindungi guru honorer, petugas kebersihan, tenaga kontrak, dan buruh harian, sejatinya ia sedang menegakkan pilar keadilan sosial yang sering diabaikan.

Kenaikan anggaran BPJS Ketenagakerjaan itu menjadi bukti bahwa Metro tak hanya ingin menumbuhkan ekonomi, tetapi juga memperkuat rasa aman sosial warganya. Sebab, tidak ada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan bila manusianya hidup dalam ketakutan terhadap risiko hidup dan pekerjaan.

Dalam struktur tenaga kerja di daerah, kelompok pekerja rentan menempati posisi vital sekaligus rapuh. Mereka menggerakkan pelayanan publik, menjaga kebersihan kota, membangun infrastruktur, dan menghidupkan ekonomi informal. Namun selama ini, mereka sering tak terlihat dalam kebijakan.

Kini, dengan tambahan alokasi ini, sekitar 7.400 pekerja telah terdaftar dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Angka itu bukan sekadar statistik, di baliknya ada ribuan keluarga yang kini memiliki harapan baru, bahwa jika musibah datang, mereka tidak akan dibiarkan sendirian.

Santunan kematian, biaya pengobatan, hingga beasiswa bagi anak korban kecelakaan kerja adalah bentuk nyata dari keberpihakan itu. Metro telah membuktikan bahwa perlindungan sosial tidak hanya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi juga bisa menjadi roh kebijakan daerah.

Menambah anggaran di sektor nonfisik di tengah tekanan fiskal adalah langkah yang tidak populer. Namun di situlah letak nilai politiknya. Keberanian Metro menaikkan porsi anggaran BPJS Ketenagakerjaan adalah sinyal bahwa pemerintah daerah ini memiliki keberanian moral dan keberanian untuk memprioritaskan manusia di atas angka, empati di atas serapan.

Dalam konteks politik anggaran, keputusan ini menunjukkan bahwa Pemkot Metro mulai menata ulang paradigma pembangunan, dari mengejar output menuju menciptakan impact sosial. Karena sejatinya, anggaran publik adalah alat untuk memperkuat rasa aman, bukan sekadar memperindah tampilan kota.

Metro telah menunjukkan bahwa pembangunan yang beradab bukan hanya tentang tinggi gedung atau panjang jalan, melainkan tentang seberapa jauh pemerintah melindungi warga yang paling lemah. Di saat banyak daerah berlomba memoles citra infrastruktur, Metro memilih untuk merawat fondasi sosial dengan pekerja yang setiap hari memastikan roda kota tetap berputar.

Langkah ini mencerminkan keberanian untuk keluar dari arus utama politik pragmatis. Sebab membela pekerja rentan tidak memberikan popular vote cepat, tetapi memberikan fondasi kepercayaan yang dalam, fondasi bahwa pemerintah hadir bukan hanya untuk mengatur, tetapi untuk melindungi.

Kenaikan anggaran BPJS Ketenagakerjaan di Metro patut menjadi contoh bagi daerah lain, bahwa politik anggaran bisa digunakan untuk memperjuangkan kesejahteraan sosial, bukan sekadar mempercantik laporan pembangunan.

Ke depan, konsistensi menjadi kuncinya. Data pekerja rentan harus terus diperbarui, mekanisme klaim harus mudah diakses, dan transparansi penggunaan dana harus dijaga agar kebijakan ini tak sekadar menjadi simbol, tapi sistem yang hidup.

Metro kini sedang menulis bab baru dalam perjalanan politik lokal, bab di mana keberpihakan sosial dijadikan ukuran keberhasilan, bukan pelengkap.

Karena sejatinya, pemerintah yang baik bukan hanya yang membangun gedung tinggi, tetapi yang mampu memastikan bahwa pekerja yang membangunnya tidak jatuh tanpa pelindung ketika nasib sedang tidak berpihak.

Kebijakan ini menyentuh akar dari apa yang disebut sebagai “politik kemanusiaan”. Ia menjawab pertanyaan mendasar, untuk siapa anggaran daerah disusun dan untuk siapa pembangunan dilakukan. 

Metro menjawabnya dengan tindakan, bukan retorika. Dan di situlah nilainya ketika pemerintah menempatkan peluh rakyat sebagai prioritas anggaran, maka di situlah martabat kota dinaikkan.

Kenaikan 8,38 persen anggaran BPJS Ketenagakerjaan itu mungkin tampak kecil, tapi di dalamnya tersimpan filosofi besar, bahwa kesejahteraan bukanlah hasil kebetulan, melainkan buah dari keberanian memihak pada yang sering tak terdengar suaranya.

Metro telah memulai jalan baru, jalan di mana anggaran tidak lagi sekadar alat administrasi, melainkan pernyataan moral: bahwa manusia, bukan proyek, adalah inti dari pembangunan. (*)