• Minggu, 02 November 2025

‎Di Balik Ngobarmas, Cerita Perjuangan Warga di Daerah Terisolasi Tanggamus

Sabtu, 01 November 2025 - 17.59 WIB
32

‎Di Balik Ngobarmas, Cerita Perjuangan Warga di Daerah Terisolasi Tanggamus. Foto: Ist.

‎Kupastuntas.co, Tanggamus - Suara mesin kendaraan terdengar lirih di tengah guyuran hujan dan jalan berlumpur di wilayah paling ujung selatan Kabupaten Tanggamus.

Di antara perbukitan dan jalur pesisir licin, rombongan aparat dan pemerintah kecamatan itu melaju perlahan menuju Pekon Martanda, Kecamatan Pematang Sawa, daerah yang masuk kategori Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T).

Rombongan tersebut diantaranya Kapolres Tanggamus yang didampingi antara lain Kasat Intelkam Iptu Arbiyanto, Kasat Polairud Fridy Romadhana Panca Rizky, Kapolsek Pematang Sawa Ipda Ahmad Rais, dan Camat Pematang Sawa Saifudin Sarif.

Perjalanan yang seharusnya hanya 30 kilometer itu ditempuh selama 11 jam, melewati jalan rusak berat dan tanjakan curam.

Tujuan mereka: menghadiri kegiatan Ngobarmas (Ngopi Bareng Kamtibmas) yang digelar di rumah Kepala Pekon Martanda, Sumartono, Jumat (31/10/2025).

‎Namun lebih dari sekadar kegiatan resmi, Ngobarmas kali ini membuka kisah nyata tentang perjuangan warga di daerah yang lama terisolasi.

Sekitar 40 warga hadir, mulai dari tokoh adat, tokoh agama, hingga perangkat pekon. Mereka datang bukan hanya untuk minum kopi, tapi untuk menyampaikan harapan yang sudah lama terpendam: keamanan, akses jalan, dan perhatian dari pemerintah.

‎Dalam forum dialog itu, Sumartono menyerahkan hibah tanah untuk pembangunan Pos Polisi Martanda, simbol harapan agar kehadiran negara bisa lebih terasa.

“Lahan ini sudah kami siapkan sejak 2016. Kami berharap pos polisi segera dibangun untuk memperkuat keamanan warga di wilayah pesisir,” ujarnya.

Rencana tersebut disambut baik oleh jajaran kepolisian dan pemerintahan kecamatan. Camat Pematang Sawa Saifudin Sarif mengatakan pihaknya akan membantu secara swadaya.

“Kami mendukung penuh, dan rencananya pembangunan pos akan dimulai tahun 2026,” katanya.

‎Martanda bukan satu-satunya daerah yang terisolasi di selatan Pematang Sawa. Ada delapan pekon lain yang juga mengalami hal serupa: Tampang Tua, Tampang Muda, Kaur Gading, Tirom, Way Asahan, Karang Brak, Teluk Brak, dan sebagian Way Nipah.

‎Untuk mencapai pusat kecamatan, warga sering lebih memilih jalur laut selama tiga hingga empat jam, ketimbang menembus jalan berlumpur yang memakan waktu hingga setengah hari.

“Sudah lebih dari 25 tahun kami menunggu jalan darat bisa tembus. Setiap musim hujan, kami seperti hidup terpisah dari kabupaten,” tutur Tohibin, warga Martanda.

‎Menurut data kecamatan, ada sekitar 7.000 penduduk di sembilan pekon selatan yang masih bergantung pada jalur laut untuk logistik, pendidikan, dan layanan kesehatan. Ketika hujan turun deras, wilayah ini sering terputus total dari akses darat.

‎Di tengah segala keterbatasan itu, kegiatan Ngobarmas menjadi tanda kecil dari kehadiran negara. Bukan hanya sekadar simbol, tapi wujud nyata perhatian terhadap daerah yang lama menunggu sentuhan pembangunan.

‎Salah satu warga, Heriza, berharap kunjungan ini bisa membuka jalan baru bagi perubahan.

“Semoga setelah ini pembangunan jalan bisa diprioritaskan pemerintah kabupaten. Kami ingin bisa membawa hasil bumi ke pasar tanpa harus menunggu kapal datang,” ujarnya.

Rencana pembukaan jalan tembus Way Nipah–Tampang Tua sebenarnya sudah lama digagas. Namun hingga kini, baru sekitar dua kilometer yang bisa dikerjakan karena keterbatasan alat berat dan kondisi medan yang sulit.

‎Bagi warga Martanda, kunjungan aparat ke desa mereka bukan sekadar agenda kerja, tetapi tanda bahwa mereka tidak dilupakan. Di tengah lumpur, jarak, dan medan berat, ada harapan baru yang tumbuh.

‎Perjalanan panjang menuju Martanda menjadi simbol sederhana namun berarti: negara, dengan segala keterbatasannya, tetap berusaha hadir di setiap jengkal tanahnya. (*)