• Kamis, 30 Oktober 2025

‎Revolusi Sunyi Birokrasi Metro, Bayar yang Bekerja dan Singkirkan yang Malas, Oleh: Arby Pratama

Kamis, 30 Oktober 2025 - 14.55 WIB
94

Arby Pratama Wartawan Kupas Tuntas di Kota Metro. Foto: Dok.

‎Kupastuntas.co, Metro - Rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Metro menyalakan mesin kejujuran baru di tubuh birokrasi nampaknya bakal menimbulkan beragam tantangan. Pasalnya, bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang rajin bakal tersenyum di akhir bulan, dan yang malas mulai gelisah.

Ketika Pemerintah Kota Metro berani mengambil langkah untuk menautkan Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) dengan kinerja faktual berbasis unggahan bukti kerja bulanan, sesungguhnya yang dilakukan bukan sekadar pembenahan administrasi.

‎Ini adalah bentuk revolusi senyap dalam birokrasi, sesuatu yang selama bertahun-tahun hanya dibicarakan di ruang seminar dan dokumen reformasi, tetapi jarang benar-benar dijalankan di lapangan.

‎Langkah ini layak diapresiasi. Karena untuk pertama kalinya, Pemkot Metro lewat komando Walikota dan Wakil Walikota menegaskan bahwa era kerja seadanya, tapi TPP tetap cair sudah berakhir.

Kini, ASN dituntut menunjukkan bukti kerja, bukan sekadar kehadiran.

‎Sistem Key Performance Indicator alias KPI bulanan bukan hanya soal angka, tapi cara baru mengembalikan marwah ASN sebagai pelayan publik yang sesungguhnya.

Namun, setiap reformasi pasti melahirkan perlawanan, dan Metro kini sedang menapaki jalur yang terjal.

‎Kebijakan yang akan diberlakukan tahun 2026 itu bakal langsung mengusik kenyamanan sebagian ASN yang selama ini menikmati zona aman birokrasi dan hadir tanpa target, bekerja tanpa capaian, namun tetap menerima tunjangan penuh.

‎Mereka inilah yang kemungkinan besar akan menjadi sumber resistensi pertama. Mereka akan mengeluh diam-diam di grup WhatsApp kantor, mencari celah untuk memperlambat sistem pelaporan, bahkan mungkin menggiring opini seolah kebijakan ini terlalu memberatkan.

‎Bagi oknum ASN yang malas, KPI bulanan adalah ancaman eksistensi. Karena untuk pertama kalinya, "malas" punya konsekuensi finansial.

‎Namun perlawanan tidak berhenti di situ. Kupas Tuntas membaca potensi gelombang penolakan yang lebih halus namun tak kalah berbahaya, yaitu datang dari oknum legislatif dan tokoh masyarakat yang secara personal atau emosional terikat dengan ASN malas tersebut.

‎Akan ada anggota dewan yang mulai menggiring narasi bahwa “kebijakan ini tidak manusiawi”, “membebani ASN”, atau “tidak sesuai keadilan sosial”.

Padahal di balik mikrofon, ada kepentingan keluarga yang terganggu aliran TPP-nya. Begitu pula beberapa tokoh masyarakat yang mungkin ayah, ibu, atau pasangannya ASN bisa ikut terpicu, memanfaatkan pengaruh sosialnya untuk mendiskreditkan kebijakan ini dengan bahasa moralitas yang dikaburkan.

Perlawanan lain datang dari mental birokrasi lama yang takut perubahan, takut transparansi.

Beberapa pejabat menengah mungkin masih menyimpan cara pandang konservatif, bahwa kinerja cukup dinilai dari loyalitas, bukan produktivitas.

Padahal, dalam dunia yang makin menuntut efektivitas, loyalitas tanpa hasil kerja hanyalah romantisme masa lalu.

‎Dan di titik inilah keberanian kepemimpinan menjadi taruhan. Kebijakan TPP berbasis bukti kerja bukan sekadar administrasi digital, tapi ujian karakter bagi seluruh ASN dan pimpinan OPD.

Apakah mereka siap jujur pada realitas kinerja, atau tetap nyaman dalam budaya basa-basi.

‎Penulis menilai, Metro sedang mengajarkan pelajaran besar bagi kota lain di Indonesia, bahwa reformasi birokrasi sejati tidak cukup dengan slogan dan seremonial, tapi dengan mengubah cara menghitung kinerja dan memberi penghargaan.

Ketika ASN tahu bahwa setiap rupiah TPP harus ditukar dengan bukti kerja nyata, maka lahirlah birokrasi yang sehat, adil, dan produktif.

Kota Metro sedang membangun budaya meritokrasi, sesuatu yang selama ini hanya kita dengar dari podium kementerian.

‎Namun agar kebijakan ini tidak berhenti di tengah jalan, pemerintah perlu menutup celah manipulasi data dan intervensi internal. Sistem digital pelaporan harus transparan, bisa diaudit, dan mudah diakses oleh atasan maupun publik.

Dan yang paling penting, pemimpin tertinggi daerah tidak boleh goyah menghadapi tekanan politik maupun sosial.

‎Karena dalam setiap revolusi birokrasi, yang paling berbahaya bukanlah oposisi dari luar, tapi sabotase dari dalam. Metro sudah memulai langkah besar.

Kini tinggal sejauh mana keberanian itu dijaga, dan seberapa kuat kejujuran dijadikan mata uang baru di tubuh ASN.

‎Jika berhasil, Kota Metro bukan hanya bersih dari ASN malas, tapi juga melahirkan generasi birokrat baru yang tak lagi bekerja karena gaji, melainkan karena harga diri. (*)



‎Arby Pratama Wartawan Kupas Tuntas di Kota Metro. Foto: Dok.